Selama nyaris 10 jam Lucia membersihkan kamar lantai dua yang lebih pantas disebut gudang. Karena terlalu kotor, butuh waktu yang cukup lama untuk membersihkannya.
Meskipun Bibi Joana membantunya, namun karena faktor usia, Bibi Joana hanya bisa membantu sebisanya. Karena lahir dan tumbuh sebagai gadis yang sangat kuat, bagi Lucia, membersihkan tempat seperti ini bukan masalah besar untuknya.
"Wah...sudah bersih, kau hebat !" puji Bibi Joana sembari membawa nampan berisi segelas jus jeruk segar.
"Hahahaha...cukup menguras tenaga, tapi setelah dibersihkan ternyata kamar ini luas sekali ya ?"
"Kau boleh memakai seluruh ruangan di lantai dua ini kalau kau mau."
"Benarkah, Bi ? apa Bibi tidak mau menyewakan pada orang lain juga ?"
"Pada siapa ? kau tahu sendiri daerah ini tidak terlalu ramai, sudah tujuh tahun tidak ada orang yang mau menyewa. Lagi pula karena Bibi sudah cukup tua, Bibi tidak mau menyewakan kamar pada sembarang orang"
"Begitu ya ?"
"Karena di lantai dua ini ada dua kamar tidur, jadi kau bisa memakai keduanya."
"Apa boleh begitu ? bagaimana jika ada kerabat Bibi yang datang menginap ?"
"Hahaha...itu sangat jarang terjadi, di lantai satu sudah ada empat kamar dan dua diantaranya kosong. Jika ada kerabat yang datang mereka bisa tidur di kamar itu, tapi hal seperti itu sangat jarang. Sudah sore, Bibi mau masak makan malam, lebih baik kau mandi dan setelah itu kita makan malam bersama."
"Baik !" setelah Bibi Joana turun ke lantai satu, Lucia menarik nafas panjang sambil menatap ruangan yang cukup luas dengan dua kamar tidur dan satu kamar mandi.
Lucia melangkah menuju balkon dan menggeser pintu kaca yang sedikit macet. Angin musim semi berhembus membawa aroma bunga plum dan pinus yang membuatnya seolah kembali ke masa lalu.
Dari tempat ini, Lucis bisa melihat Danau Milliam Blue dan rumah lamanya yang terlihat sedikit berubah. Di ujung jalan, terlihat pula rumah yang paling besar sekaligus paling mencolok, rumah milik Bryan si tuan muda sombong dan menyebalkan.
"Apa mereka masih tinggal di sini ?" batin Lucia. Rindu yang sudah lama ia simpan, kini muncul ke permukaan.
Bagian paling menyenangkan dari masa kecilnya adalah keempat sahabatnya itu. Mereka bertemu setiap hari, mereka adalah teman main di rumah sekaligus teman mainnya juga di sekolah.
Sudah sangat lama sejak terakhir mereka bertemu, Lucia yang pergi tanpa mengucapkan perpisahan mungkin saja sudah dilupakan.
Melihat matahari yang mulai terbenam, Lucia masuk dan menutup pintu kaca. Ia mengambil jaket dan juga dompetnya sebelum turun ke lantai satu.
"Kau mau pergi ?" tanya Bibi Joana yang tengah memotong kentang dan wortel di dapur.
"Iya, saya akan ke mini market untuk membeli perlengkapan mandi. Apa Bibi ingin membeli sesuatu ?"
"Apa ya ? ehm... sepertinya garam sudah mau habis. Kalau begitu tolong belikan garam ya ?"
"Baik, ada lagi, Bi ?"
"Tidak ada, sudah pergi sana ! diluar sudah mulai gelap !"
"Kalau begitu saya pergi sebentar ya, Bi ?"
"Iya, hati-hati. Kau masih ingat tempatnya'kan ?"
"Masih !"
Lucia berjalan sambil melirik pemandangan di sekelilingnya yang tidak banyak berubah, padahal sudah 12 tahun berlalu.
Di persimpangan jalan, Lucia hanya perlu menyebrang di dekat tiang lampu merah dan ia akan langsung sampai di pusat pertokoan, termasuk mini market yang terkenal cukup lengkap.
"Selamat datang !" sapa seorang pegawai wanita yang berdiri di belakang meja kasir.
Lucia menatap pegawai wanita itu sekilas, wajahnya terasa tidak asing. Rambutnya yang pirang dengan wajah berbintik dan tubuh yang lumayan berisi.
"Sepertinya aku kenal dia," batin Lucia. Wanita itu tersenyum ramah padanya saat Lucia yang tak sadar terus melirik kearahnya.
Setelah mengambil keranjang belanja, Lucia langsung berjalan ke rak bagian perlengkapan mandi dan mengambil benda-benda yang dibutuhkannya seperti sampo, kondisioner, sabun, sikat dan pasta gigi, kemudian ia berjalan ke bagian rak bumbu-bumbu dapur untuk mencari garam.
"Peralatan mandi sudah, garam pesanan Bibi sudah, cemilan dan minuman dingin juga sudah. Ya, sepertinya sudah semua !" gumamnya sembari melangkah menuju kasir yang terlihat sepi tanpa antrian.
Lucia menyerahkan keranjang berisi belanjaannya yang cukup banyak kepada petugas kasir. Lucia langsung membaca tanda pengenal yang terkalung di leher wanita ini.
"Olivia Atkinson...hah ?"
"Apa ada yang kurang ?" tanya wanita itu.
"Maaf, apa boleh saya tanya sesuatu ?"
"Iya, ada apa ?"
"Apa kamu Olivia Atkinson yang dulu sekolah di SMA St.Louis ?"
"Ah...iya benar, ada apa ?"
"Wah...ternyata benar, kau Olivia ya ? kau tidak ingat aku ?" tanya Lucia dengan senyum lebarnya, berharap wanita ini masih mengingatnya.
Olivia menatap Lucia dengan lekat, mencoba mengingat kembali sosok wanita cantik yang berdiri di hadapannya saat ini.
"Ehm...apa kita saling mengenal ?"
"Aku Lucia, Lucia Peterson yang tinggal di depan Danau Milliam Blue. Dulu kita pernah tersesat saat berkemah !"
"Lucia ? Lucia yang tomboy itu ?"
"Ahaha...iya benar !"
"Lucia ? kau Lucia Peterson ?" raut wajah ragunya berubah histeris setelah mengingat sosok Lucia Peterson si "trouble maker"
"Kau sudah ingat sekarang ? apa kabar Olive ? lama tidak bertemu ?"
"Kabarku baik, tapi bukannya kau pindah ke Amerika saat SMA ?"
"Iya, aku kembali ke Lancaster kemarin. Kau bekerja di sini ?"
"Ya begitulah, kau sudah bertemu dengan Bryan dan yang lainnya ?"
"Belum, apa mereka masih tinggal di Nothingville ?"
"Tidak satu pun dari mereka berempat yang masih tinggal di kota ini. Aku dengar, Bryan sudah menjadi presiden direktur di perusahaan kapal pesiar milik ayahnya"
"Be...benarkah ? tapi kalau dia sepertinya tidak mengejutkan lagi, dari dulu dia memang sangat kaya"
"Iya benar, kalau Chris tadi siang aku bertemu dengannya !"
"Chris ? dia di kota ini ? apa dia di rumah orang tuanya ? aku ingin bertemu"
"Aku rasa dia masih di sini, tadi siang dia masuk ke mini market membawa putrinya untuk membeli es krim"
"Chris sudah menikah ya ?"
"Kau tidak tahu ? kalian tidak pernah bertukar kabar ?"
"Ehm...tidak..." jawab Lucia ragu.
"Bukannya dulu kalian sangat dekat ?"
"Iya, tapi aku pergi tanpa mengucapkan perpisahan pada mereka. Jadi, kami tidak pernah saling berhubungan lagi"
"Sayang sekali ya ? Chris terlihat sangat tampan, aku sampai salah mengira, seingatku dulu Chris yang paling pemalu dan kikuk"
"Hahahaha...iya benar, seperti apa dia sekarang ? pasti tingginya tidak bertambah'kan ?"
"Tidak, justru dia tinggi. Mungkin sekitar 180 cm lebih, tubuhnya juga atletis, pokoknya sangat tampan." Membicarakan pria tampan membuat Olivia mulai bersemangat dengan pembicaraan ini.
Apalagi kondisi mini market yang sedang sepi, jadi mereka bisa berbincang lebih lama.
"Apa Chris juga membawa istrinya ? aku penasaran seperti apa istrinya."
"Istrinya Chris sudah meninggal !"
"Apa ? meninggal ?"
"Iya, aku dengar istrinya meninggal saat meliharkan putrinya. Aku datang ke pesta pernikahannya, istrinya sangat cantik. Aku dengar, istrinya Chris itu putri pemilik rumah sakit ternama dan kebetulan Chris bekerja sebagai dokter ahli bedah di rumah sakit itu."
"Begitu ya ? aku benar-benar tidak tahu..." wajah Lucia berubah sendu, kenyataan bahwa ia sudah melewatkan banyak hal membuat dirinya sangat menyesal.
"Coba saja kau datang ke rumah orang tuanya, siapa tahu Chris masih di sana !"
"Dia tinggal di mana sekarang ?"
"Chris tinggal di London bersama putrinya dan orang tua mendiang istrinya."
"Begitu ya ? baiklah, nanti aku akan coba mampir ke rumahnya. Mudah-mudahan dia masih mengingatku, hahaha..."
"Kau sangat cantik Lucia, aku benar-benar tidak percaya tadi !"
"Benarkah ? hahaha...terima kasih, kalau begitu aku pulang dulu ya ?"
"Oh iya, Lucia tunggu !"
"Iya, ada apa ?"
"Kau tidak mau datang ke acara reuni SMA ?"
"Reuni ? memangnya ada ?"
"Iya, kemarin aku mendapat undangannya. Reuninya dilaksanakan di aula sekolah kita hari sabtu nanti pukul enam sore. Sebaiknya kau ikut juga !"
"Tapi, aku'kan tidak diundang. Rasanya tidak enak kalau aku..."
"Jangan bicara begitu, kau tidak diundang karena tidak ada yang menyimpan nomor ponselmu. Lagi pula, Jonathan yang menjadi panitia acara berpesan untuk menyampaikan undangan pada teman-teman lain yang tidak mendapat undangan secara langsung"
"Baiklah, nanti akan aku pikirkan..."
"Tidak ! pokoknya kau harus datang. Kita bisa pergi berdua, kau tinggal di mana ?"
"Aku tinggal di rumah Bibi Joana."
"Bibi Joana mantan pegawai restoran burger ?"
"Iya benar !"
"Baiklah, kalau begitu minta nomor ponselmu. Nanti akan aku hubungi !" Lucia yang bingung dengan undangan mendadak ini hanya bisa mengangguk setuju persis seperti orang yang sedang dihipnotis.
Setelah bertukar nomor ponsel, Lucia pun pamit dengan informasi baru yang memenuhi kepalanya saat ini. Sebenarnya, Lucia juga ingin bertanya tentang Pietro dan juga Leo. Apalagi, Pietro bisa dibilang sebagai sahabat pertamanya karena rumah mereka yang bersebelahan dan Leo adalah soulmate Lucia dalam melakukan hal-hal konyol dan gila.
Lucia mengangkat kepalanya, memandang langit yang mulai gelap. Di atas langit, jutaan bintang terlihat sangat indah. Lucia terpana, ini adalah pemandangan malam yang sangat ia rindukan. Kenangan disaat Lucia dan Pasukan Nothingville duduk di atas bukit Rosemary di malam hari hanya untuk menikmati indahnya langit yang dipenuhi bintang.
***