"Jadi.."
"Kau akan menunggunya?"
Rangga memandang lurus ke arah tumpukan bunga aster dengan berbagai warna. Memberikan kesan meriah disekitar batu dingin dan gundukan tanah yang masih basah.
"Menurutmu?"
"Kau pasti menunggu"
Ucap Rangga yakin, kesedihan menguar jelas di suaranya.
Tentu saja Rian akan menunggu Nirwani kembali ke pelukannya. Dia hanya perlu bersabar beberapa puluh tahun atau mungkin beberapa ratus tahun lagi. Tapi yang pasti, sampai kapanpun dia akan tetap menunggu.
"Lalu kau?"
Kali ini Rian-lah yang bertanya kepada Rangga.
Sang putri mahkota yang tak lain dan tak bukan adalah adiknya sudah mengetahui fakta sebenarnya yang terjadi. Rangga tersenyum getir, berjongkok dan meraih salah satu bunga aster yang gugur dari tangkainya. Ingatan kemarin kembali berkelebat.
"Memutuskan pertunangan?"
"Kenapa?"
Rangga menatap gadis di depannya dengan tatapan tak percaya.
Sementara Dhea tak bergeming sedikitpun, masih memainkan gelas dengan jari-jemarinya. Rangga sudah menyadari ada yang aneh dari Dhea saat dia mengajak Rangga untuk bertemu. Bahasa yang gadis itu gunakan mendadak formal, pun Rangga merasakan nada sedih di setiap kalimat Dhea.
"Ayolah Dhea, beri tahu aku alasannya"
Rangga berusaha menggapai tangan Dhea. Tapi gadis itu langsung menarik tangannya.
"Alasan apalagi yang anda butuhkan.."
"Yang mulia, Dirawardhana?"
"Dhe.. Dhe.. Dhea.."
Ucapan terakhir Dhea yang penuh kesedihan seketika membuat tubuh Rangga bergetar. Akhirnya apa yang dia takutkan terjadi. Gadis itu mulai mengingat masa lalunya.
"Kenapa yang mulia? Apa anda terkejut aku mengingat semuanya?"
"Dhea.."
"Pramudhita yang mulia. Bukankah kau suka memanggilku dengan nama itu?"
Senyum getir muncul di sudut bibir Dhea,
"Bahkan disaat kau memberi perintah untuk membunuhku juga kau memanggilku dengan nama itu"
Ucap Dhea lirih.
Jantung Rangga mencelos begitu mendengar perkataan Dhea. Padahal dia selalu berharap Dhea tak tahu masa lalunya dan berjanji akan membahagiakan gadis itu dengan sebaik-baiknya. Tapi, sepertinya takdir sedang menunjukkan hukuman yang sebenarnya untuk Rangga.
"Yang mulia, bukankah menurutmu aku sangat bodoh?"
Dhea memandang Rangga dengan tatapan sedih,
"Bahkan setelah perlakuanmu dulu kepadaku, aku masih tetap jatuh cinta kepadamu di dunia ini"
"Entahlah yang mulia, rasanya aku ingin memaki takdir sekarang"
Sama seperti yang Dhea katakan, Rangga juga ingin memaki takdir sekarang. Kenapa takdir begitu jahat mempermainkan mereka?. Membuat kisah cinta mereka berakhir tragis di masa lalu dan lagi-lagi saling mencintai di masa kini.
Dhea menarik nafas dalam-dalam, berusaha sekuat mungkin mencegah air mata turun membasahi pipinya. Dengan gemetaran dia mengulurkan tangan, memberikan cincin yang kini tak lagi terpasang di jari manisnya.
"Percayalah yang mulia, ada banyak pembalasan yang ingin kulakukan kepadamu sekarang. Tapi, aku tak bisa melakukannya. Cinta bodohku yang bahkan begitu besar di masa kini benar-benar menghalangi semua dendamku"
"Jadi.. Satu-satunya yang bisa kulakukan adalah meninggalkanmu, karena sebelum aku mati dulu, aku sudah berjanji untuk tak akan jatuh cinta kepadamu lagi"
Rangga hanya bisa menerima uluran tangan Dhea dengan tatapan kosong dan tubuh yang juga gemetaran.
"Selamat tinggal yang mulia, semoga kita tak perlu jatuh cinta lagi di masa-masa selanjutnya"
Dhea perlahan pergi. Meninggalkan Rangga, masa lalu dan masa kini-nya beserta dendam yang mulai perlahan mengikis.
Selamat tinggal yang mulia..
Selamat tinggal..
***
Tahun silih berganti, begitu pula musim. Tanpa disadari, sudah bertahun-tahun berlalu. Rian memandangi rintik hujan yang perlahan menderas di sebuah cafe yang terletak di depan SMA. Matanya terus tertuju ke arah gerbang sambil menyesap kopi panas yang entah sudah gelas keberapa.
Wajahnya seketika berbinar saat melihat gerombolan gadis keluar dari gerbang. Dengan cepat dia meraih payung ungunya, setengah berlari menuju kerumunan itu dan berhenti tepat di depan salah seorang pelajar.
"Ayo, pulang"
Ucapnya hangat. Senyum lembutnya terlihat begitu menenangkan dengan kedua lesung pipi yang menyembul malu-malu, membuat siswi-siswi lain mulai berbisik kagum. Mereka berkali-kali menoel bahu gadis dengan badgename bertuliskan 'Nirwani' di dadanya.
Dengan kesal Nirwani segera berjalan, menyeret Rian untuk menjauhi kerumunan temannya yang mulai menggila.
"Om.."
Gerutunya kesal setelah memastikan tak ada siapapun disekitar mereka.
"Berhentilah muncul di depan sekolahku"
Gerutunya sebal yang justru terlihat sangat imut di mata Rian.
"Kenapa? Apa kau malu?"
Tanya Rian dengan nada jenaka.
Nirwani menggelengkan kepalanya, dia langsung menatap ke samping dengan ekspresi malu-malu
"Nggak.."
"Aku cuma takut kalau sainganku bertambah banyak"
Ucapnya pelan, membuat Rian sontak memeluk tubuhnya dengan erat.
Di sisi lain..
"Maaf nona, bunga ini berapa harganya?"
Seorang pria dengan jas hitam rapi memegang bunga anyelir berwarna pink yang sedari tadi menarik matanya.
Sebenarnya dia bukan pecinta bunga, tapi entah kenapa bunga itu sedari tadi menarik perhatiannya. Hari ini adalah hari ulang tahun ibunya yang ke-55, oleh sebab itulah dia sengaja datang ke toko bunga ini.
"Wah, untuk kekasih?"
Seorang wanita cantik menghampiri pria itu, senyum ramah terkembang di wajahnya.
Sementara pria itu hanya bisa terdiam. Jantungnya mendadak kencang. Kali pertama dalam kehidupannya yang sudah menginjak usia 29 tahun dia merasakan debaran seperti ini.
"Tuan? Tuan?"
Panggil wanita itu sambil mengerutkan alisnya heran.
Entah dorongan darimana, pria itu tiba-tiba mengangkat bunga di tangannya.
"Tidak"
"Ini untukmu"
Ucapnya dengan penuh perasaan.
Wanita itu terplongo sejenak, sebelum akhirnya tertawa terkekeh melihat tingkah laku pria yang terus memandangnya. Entah kenapa dia merasa familiar dengan pria yang berdiri di depannya.
"Wah, jangan menggoda saya tuan. Harganya 189.000 untuk buket kecil. Jadi anda mau beli bunga buat kekasih anda?"
Tanya wanita itu lagi sambil meraih bunga yang ada di tangan pria itu dan mulai berjalan menuju meja kasir.
"Ti..tidak, untuk ibuku"
"Oh"
"Pilihan yang unik"
Wanita itu tertawa kecil.
"Mau dibuat kartu ucapan?"
Tanyanya lagi.
Pria itu mengangguk,
"Dari Rangga. Isinya ucapan selamat ulang tahun"
"Oh, baiklah"
Wanita itu mulai sibuk menulisi kartu ucapan sekaligus menghias buket anyelir yang ada di tangannya.
Wajah cantiknya yang begitu serius membuat sebuah perasaan mendesak di hati Rangga semakin menjadi-jadi
"Kalau namamu, siapa?"
Tanya Rangga tiba-tiba, membuat wanita itu memandang bingung ke arahnya.
"Maaf, terlalu tiba-tiba ya"
Ucap Rangga canggung.
Wanita itu menggelengkan kepalanya, tersenyum pelan lalu menjawab
"Namaku Dhea"
Wajah Rangga langsung berbinar begitu Dhea merespon pertanyaannya. Mereka lalu mulai mengobrol bahkan saling bertukar kontak.
Dhea lalu menyerahkan buket yang sudah selesai kepada Rangga.
"Tapi, apa kau tau arti anyelir pink dalam bahasa bunga?"
Rangga menggelengkan kepalanya. Satu-satunya bahasa bunga yang Rangga tahu hanyalah mawar merah, yang berarti cinta.
Wanita itu tergelak sejenak, sebelum menjawab dengan senyum lebar di wajahnya
"Aku tidak akan melupakanmu"
Ya, aku tidak akan melupakanmu..
~~~
Kau berjanji ini yang terakhir
Kita akan saling menjauh
Kau bilang cintaku terlalu menyakitkan hingga kau tak mampu
Bertahan, kau bilang sungguh berat
Sekalipun aku bersedia memikul bersamamu
Kau meminta waktu untuk sendiri
Melupakan semua duka
Pergilah cintaku
Lepaskan dukamu, lalu kembalilah engkau disisiku
Yakinlah perasaanku kan setia menunggu
Bahkan bila hingga akhir waktu
Maka biarkanku tetap menunggu
Karena aku yakin cinta, sejauh apapun kau pergi
Cintaku, pasti bisa bawa kau kembali
Jadi biarkan aku..
Menunggumu..
Iringan musik mulai terdengar, bersamaan dengan layar yang mulai menampilkan gambar-gambar para aktor dan aktris beserta staff.
***
"Jadi, ratingnya bagaiman?"
Farel menggigit bantal yang ada di tangannya. Matanya masih memandang layar yang mulai menampilkan nama-nama staff yang sepertinya tiada berakhir.
Pras hanya mendengus sambil mulai menscroll layar smartphone di tangannya. Seketika matanya membelalak saat melihat daftar yang menampilkan rating sinetron.
"Ya ampun"
Teriak Pras dengan suara tertahan.
Wajah Farel seketika memucat. Dengan cemas dia memandang Pras yang masih membelalakkan matanya.
"Buruk ya?"
Tanyanya panik.
Pras tak menjawab pertanyaan Farel, tangannya mengangkat smartphone miliknya agar Farel bisa melihat dengan jelas.
Mata Farel mulai menyusuri rating dari tengah. Ekspresinya seketika sedih saat tak menemukan judul sinetron mereka hingga 5 judul teratas.
"Nggak masuk rating sama sekali ya"
Ucapnya, terduduk lemas.
Pras langsung membelalakkan matanya kesal. Dengan kekuatan penuh, di langsung memukul tangan Farel.
"Apanya? Lo rabun senja atau begimana?"
"Kita peringkat 1 coeg"
"Bahkan sinetron pelakornya emak-emak aja kalah"
Teriak Pras histeris.
Begitu mendengar teriakan Pras, Farel langsung mencondongkan tubuhnya. Wajah pucatnya seketika sumringah begitu melihat
'Gerandong : Panglima Perang Menyedihkan' berada di daftar teratas dengan angka fantastis.
"Huaaa. Luar biasa"
"Kita sukses Pras, kita sukses"
Teriak Farel sambil memeluk Pras erat-erat.
Sekalipun biasanya Pras selalu kesal dan selalu mengomeli Farel, kali ini dia dengan senang hati memeluk Farel.
Ini kali pertama mereka sebahagia ini.
Akhirnya, sinetron dengan Farel Fahrezzy sebagai peran utamanya mendapatkan posisi 1 dalam perolehan rating.
Akhirnya sang idol yang selalu dijuluki 'Modal Tampang Bakat 0' mulai berjaya.
"Kita harus telepon Rara, Rel"
Ucap Pras setelah mereka puas berpelukan bak personel teletubies.
Wajah Farel seketika berubah masam,
"Ah iya"
Jawabnya malas setelah teringat seseorang yang ikut andil dalam kesuksesan sinetron yang dia bintangi.
Siapa lagi kalau bukan Rarana Anindita? Penulis nyentrik yang sering bikin Farel sakit kepala.