Wisuda adalah hari membanggakan untukku, karena aku tau mama sangat memimpikan untukku menjadi seorang sarjana, kurasa semua orangtua begitu. Yang menambah nilai plusnya aku masuk sebagai jajaran mahasiswa lulusan dengan nilai cumclaude.
Hari ini adalah hari yang membanggakan untukku, aku dan Mama sengaja pergi dulu tanpa mengajak Mocha, karena aku telah menyiapkan kado khusus untuknya. Tapi, setibanya di gedung tempat wisuda aku melihat Mocha berdiri sendirian di sana. Tanpa tante Irene. Mama segera turun menghampiri Mocha.
"Cha, Mamamu belum datang?" tanya Mama pada Mocha.
"Belum nih Tan, Mama bilang tadi bakal nyusul karena ada yang harus di selesaikan dulu, tapi kok sampai jam segini belum juga datang ya Tan, di telepon juga nggak di angkat" wajah sedih Mocha tampak sangat jelas sekali, cemas menunggu kedatangan tante Irene, dia selalu menatap jarum jam yang melekat di pergelangan tangannya.
"Kan masih ada tante Cha, mungkin Mamamu agak telat datangnya," ucap Mama mencoba menenangkan Mocha.
Beberapa jam sudah di lalui hingga acara selesai, tante Irene belum juga datang, Untung lah Mama mendampingi Mocha dengan sabar, raut wajah Mocha begitu gelisah hingga aku sendiri pun juga merasa khawatir dengan keberadaan tante Irene sekarang. tak tahu harus bagaimana menenangkan Mocha.
Tak lama kemudian dering ponsel Mocha berbunyi, ia meminta izin keluar sebentar dengan Mama, Mama yang tau Mocha sedang tak baik menemaninya keluar. Tak lama acara selesai, aku buru-buru mencari keberadaan Mama dan Mocha, begitu mendapati aku menghampiri mereka, aku begitu terkejut menatap Mocha, dia memeluk erat Mama. Mocha terisak meneteskan air mata dan teriak memanggil Mamanya.
"kenapa Cha, Irene kenapa?" tanya Mama mencoba menenangkan Mocha yang sudah banjir air mata.
"Mama tan. .Mama .. Kecelakaan" ucapnya terisak-isak.
Saat itu pertama kali aku melihat Mocha menangis, wajahnya pucat, sorot matanya seperti kosong, toga yang di kenakannya menjadi saksi bisu betapa berharganya Tante Irene di hidupnya, salah satu alasan Mocha kuliah ya karena Tante Irene, karena Tante Irene ingin melihat Mocha menjadi wanita yang sukses.
Mocha juga salah satu mahasiswi yang meraih nilai cumclaude, ia juga mendapati beasiswa s2 nya di luar negeri, London.
Kota dimana sudah menjadi impian Mocha untuk menetap disana dengan Tante Irene. Begitu juga Tante Irene, beliau adalah seorang ibu mandiri, Papa Mocha meninggal saat usia Mocha 15 tahun. Tentu saja, Mocha menjadi manja karena sangat di manja oleh orangtuanya terlebih Mocha adalah anak tunggal.
Tante Irene meneruskan usaha almarhum suaminya, begitulah ia membantu Mamaku untuk bekerja bersamanya.
Sesampainya di rumah sakit, Mocha menggenggam erat tanganku ia seperti sudah tak sanggup berjalan, nafasnya tersengal karena menangis di perjalanan, Mama yang berusaha tegar mencoba menguatkan diri dan mencari dimana keberadaan tante Irene sekarang.
"Dimana sekarang keberadaan teman saya sus, Irene Anindita," ucap mama kepada salah satu petugas rumah sakit yang sedang berjaga
"sebentar ya bu, saya cari dulu" petugas itu mengotak-atik komputer nya untuk mencari keberadaan tante Irene sekarang.
"Ibu, pasien atas nama Irene Anindita sekarang sudah di bawa ke kamar jenazah, saat dalam perjalanan ke rumah sakit, almarhumah sudah menghembuskan nafas terakhirnya, ruang jenazah ada di sudut lorong kanan." petugas menjelaskan perihal kepergian Tante Irene.
Mama, aku dan Mocha syok bukan main, Mocha pingsan tak dapat membendung ketakutannya, lalu dengan sigap Mama memanggil suster agar segera membawa Mocha untuk di pulihkan.
Jelas aku dan Mama belum siap melihat jenazah tante Irene yang terbaring di sana, tak kuasa aku meneteskan air mata dan memeluk Mama, Mama menangis sejadinya di pelukan ku, kami sangat kehilangan tante Irene, juga sedih melihat Mocha yang sekarang sebatang kara.
Mocha yang sudah tersadar begitu bingung dimana ia sekarang.
"Mama mana, Tan?" tanyanya pada Mama seperti kebingungan, Mama hanya diam membisu sambil menghapus air mata yang masih terasa di pipinya.
"Mama mu udah tenang di sana, Cha," ucapku menyadarkan, aku tahu Mama tak tega mengatakan semua itu pada Mocha.
Mocha teringat, dia telah menyadari Mamanya sudah tiada berlari tergopoh mendatangi kamar jenazah dan melihat Mamanya, juga masih dengan baju wisuda nya ia memeluk Tante Irene erat sekali.
"Ma, bangun Ma, Mocha udah buktiin ke Mama, Ma, Mocha udah sarjana, udah dapet beasiswa Ma, Mocha sudah wujudkan keinginan Mama, Ma." dengan terbata-bata ia melampiaskan isi hatinya, air matanya terus mengalir, membuat aku merasa iba dengannya saat ini.
"Cha, ikhlasin Cha, Mama mu sudah tenang di sana" ucapku memberanikan diri, mengusap punggung kepala Mocha.
Mocha hanya membisu dengan air mata terus mengalir, Mama keluar tak kuasa melihat Mocha, berinisiatif mengurus segala kepentingan yang harus di selesaikan.
Sepulangnya dari pemakaman, Mocha menjadi sangat berbeda, tak seperti dulu yang riang dan ceria, kini dia lebih suka menyendiri, tak ingin berbaur dengan teman ataupun pacar-pacarnya. Ia memutuskan kontak dengan semuanya. Tak ingin merepotkan, Mocha ngotot memilih tinggal sendiri di rumahnya, dia tak ingin kenangannya bersama tante Irene terusik, mama yang mencoba membujuk juga tak di hiraukan, sifat keras kepala Mocha agaknya masih menetap.
Tiga hari setelah kepergian almarhumah tante Irene, aku berinisiatif datang untuk sekedar menghibur Mocha juga menilik kondisinya, aku membawa serantang makanan pesanan Mama pada Mocha, rumah yang hanya berjarak 5 cm itu terlihat sepi seperti tak berpenghuni, untung saja aku masih menyimpan kunci cadangan rumah ini yang di titipkan tante Irene dulu kepada Mama. Aku sengaja membuka pintu dengan cara mengendap-endap, namun aku malah melihat kejadian tak terduga, Mocha mencoba melukai dirinya sendiri.