Tanpa terasa tiga hari sudah berlalu begotu cepatnya, Mocha sudah meninggalkan ku dan kembali lagi ke London.
Selama tiga hari pula, aku dan Mocha menghabiskan waktu bersama walau sudah sangat berbeda, aku tetap ingin berada di dekatnya lebih dari yang aku inginkan di dunia ini. Ketidakmampuanku untuk memperbaiki keadaan menjadi seperti dahulu, begitu menyakitkan bagiku. Kurasa, saat itulah aku sadar bahwa aku sangat mencintainya.
Tahun-tahun berikutnya aku lebih sering menghubungi Mocha, dia tampak lebih ceria dari biasanya, sekedar menanyakan kabar dan aktivitas nya hari itu. Malam ini katanya Mocha akan berbicara penting padaku, di usianya yang sudah 29 tahun kurasa Mocha tak lagi ingin bercanda. Aku yang penasaran dengan apa yang ingin di sampaikannya padaku merasakan hal ganjil di diri Mocha. Bukan mocha namanya kalau harus basa-basi jika ingin bicara, perihal apa ini? Aku terus bertanya-tanya.
Dering handphone ku sontak membuat jantung berdebar, kenapa aku bisa sekefikiran ini dengan keseriusan seorang Mocha?
"Ha- Halo," aku berusaha mengeluarkan sepatah kata dengan sedikit gugup
"Are you oke, Chino? " tanyanya dari sambungan telfon, memangnya aku begitu mudah di tebak ya, kalau lagi salting.
"Gue cuma lagi capek." Kataku menyangkal agar tak ketahuan.
"Gue mau nikah, No, gue udah nemu pendamping gue" terdengar suara riuh di sana, entah di mana dia sekarang tapi aku merasa dia sedang berada di club malam.
"Oh, ya, good luck Cha, ntar sekalian gue kasih tau ke Mama, ya " jawabku asal bicara, hatiku seperti di robek. Mataku menjadi panas. Kali pertama aku mengalami patah hati yang teramat dalam.
Aku memutuskan sambungan begitu saja, lantaran aku tak dapat menahan emosiku yang memang sudah meluap seperti ingin tumpah. Rasa apa ini, kufikir Mocha sudah berubah, ya, Mocha memang sudah berubah, berubah jauh dari yang aku bayangkan. Sebaiknya, aku memendam perasaan cinta ini dengan bersikap seperti biasa pada Mocha. Jadi, ini sebabnya dia ingin bicara serius denganku.
Mocha menikah dengan lelaki yang sama sekali belum ku kenal, dan aku tak menyukainya.
Lain halnya denganku, Mama yang kuberitahu mengenai kabar ini teramat bahagia, Mocha sudah dapat menjalani hidup dengan normal seperti yang diharapkan.
"Kapan mau nyusul Mocha, No?" timbrung Mama kala kami sedang sarapan pagi itu.
"Belum kefikiran Ma, lagian juga Chino belum punya pacar," aku yang sedang mengunyah makanan entah mengapa langsung terbatuk begitu Mama menanyakan perihal menikah dan pasangan.
"Harusnya kamu belajar dari Mocha, dia pintar, tegar, mandiri, cantik pula, siapa yang menolak menjadi suaminya." ucapan mama pagi itu seperti petir yang menyambar tepat di hatiku, ngena banget.
"Iya-ya Ma, Chino berangkat dulu." Aku yang tak ingin melanjutkan perbincangan dengan sigap mengambil langkah cepat untuk segera pergi ke kantor. Namun, tak lupa pula aku mencium tangan Mama meminta restu dan doa.
Di kantor aku sama sekali tak bisa bekerja, fikiranku lari entah kemana, lalu ragaku hanya duduk di kursi empuk itu saja. Otakku yang ku perintah untuk berfikir agar tak mengingat Mocha malah memikirkan sebuah ide.
"Gue akan nyusul lo, Cha, gue akan mastiin kalo pasangan lo lebih baik dari gue"
Tekad ku sudah bulat untuk menemui Mocha di London, hitung-hitung liburan, uang yang selama ini ku tabung berguna juga untuk kepentingan mendadak seperti ini.
Sepulangnya dari kantor, aku membicarakan masalah ini secara pro dan kontra pada Mama, yang hasilnya Mama menyetujui aku menemui Mocha menjelang pernikahannya.