Chereads / MochaChino / Chapter 4 - Depresi

Chapter 4 - Depresi

Dengan cepat aku menangkis pisau dari tangan Mocha, sedikit terkena tak masalah punggung tanganku berdarah.

"Apaansih lo, No, gue mau mati aja, biarin gue ikut Mama" Mocha yang sudah kehilangan akal tak berfikir panjang bahwa apa yang sudah di lakukannya adalah keliru.

"Gue nggak rela lo mati sia-sia begini Cha, apa lo gak mikir masa depan lo, apa lo gak mikir betapa sedihnya Mama lo ngeliat anaknya mengambil jalan pintas begini" suaraku yang sengaja ku kuatkan menambah kesan 'danger' agaknya. Mocha terdiam sejenak, dia memilih menangis dan memelukku erat sekali

"Lo juga ga bakal ninggalin gue kan, No?" tanyanya masih dalam dekapanku

"Enggak Cha, gue gak bakal ninggalin lo, gue dan mama gue bakal selalu ada buat lo," aku yang sedikit terbawa suasana berusaha menahan air mata dengan menatap langit-langit kamar Mocha.

"bagus ya lampu lo, cha"

"lo kalau mau nangis, nangis aja No, gak usah di tahan segala," aku tertunduk malu menatap Mocha yang menatapku,

"gue kok jadi se drama ini ya gara-gara lo," kataku yang tak dapat menahan air mataku, Mocha tersenyum singkat lalu kami menangis bersama.

"Lo tinggal di rumah gue ya," kataku memelas

"gue janji gue ngasih lo apa aja yang lo mau"

"kalau gitu, lo jadi pacar gue, mau?"

"apaan sih, Cha. Garing banget bercanda lo"

Lalu akhirnya, dia mau untuk ku ajak pulang bersamaku.

Setibanya di rumah Mama membawa Mocha ke kamarnya, aku mengobati lukaku di ruang keluarga.

"kenapa tanganmu, No" tanya mama yang datang tanpa tahu kedatangannya

"bukan apa-apa Ma, cuma kena pisau ketika Chino motong buah tadi" aku terpaksa membohongi Mama, akan menjadi masalah besar jika aku mengatakan kalau Mocha ingin melakukan percobaan bunuh diri.

Setelah 7 hari kepergian tante Irene, Mocha masih menjadi pemurung, dia sudah tak seperti dulu yang hobi bergonta-ganti pacar, ia juga tak makan kalau aku atau mama tak mengingatkan, aku sangat kehilangan Mochaku, mungkin karna Mocha sangat dekat dengan tante Irene, sampai ia lupa melanjutkan hidup, membenahi dirinya yang sudah tak karuan.

Siang itu aku dan Mama sedang bersantai di belakang rumah, berbincang-bincang perihal pekerjaan pertamaku. Sebelum hari kelulusan aku memang sudah melamar pekerjaan di sebuah perusahaan ternama, tak ingin menyusahkan agar aku dapat mandiri dan pastinya membahagiakan mamaku. Dan hasilnya aku diterima bekerja di salah satu perusahaan ternama itu, kerja keras dan doa tak pernah menghianati hasil.

"Tan, Mocha mau melanjutkan kuliah Mocha di London." Mocha yang entah dari mana datangnya menyelinap perbincangan kami, sontak saja Mama terkejut.

"Apa kamu sudah memikirkan baik-baik? Atau kamu gak sebaiknya kuliah pascasarjana di sini saja Cha, kan ada Chino yang akan menjagamu jika kamu kuliah di sini." Aku mengerti betul maksud mama yang berusaha menahan Mocha agar tak pergi, namun Mama juga tak ada hak sepenuhnya untuk melarang Mocha yang keras kepala.

"Enggak Tan, Mocha udah berfikir matang buat ini semua, Mocha mau bahagiain Mama di sana" pintanya dengan sedikit gugup, wajahnya harap-harap cemas.

"Yasudah, jika itu memang yang kamu mau, tante hanya bisa mendoakan yang terbaik buatmu, Nak." Aku mengerti mama tak rela membiarkan Mocha sendirian di negeri orang, tapi Mama juga ingin Mocha melanjutkan hidupnya seperti dahulu.

Besoknya aku dan Mama mengantar Mocha ke bandara, tak dapat di pungkiri aku tak ingin Mocha pergi meninggalkan ku, dia ingin aku berjanji tak meninggalkanku tapi dia yang meninggalkanku di sini, tak ada sahabat seperti kita Mocha, aku pasti merindukanmu.

Aku membantu Mocha membawakan kopernya, sedangkan Mama menggandeng tangannya erat, Mama sangat menyayangi Mocha lebih dari aku menyayanginya, aku tahu itu.

"Secepatnya kabari tante ya, sayang, kalau kamu sudah sampai, jangan lupain kita disini, jaga dirimu baik-baik , Nak." Mama mengelus pelan rambut Mocha yang panjang, raut wajah Mama terlihat sendu seperti tak ingin di tinggalkan.

"Pasti Tan, Mocha pergi dulu ya, maafin Mocha kalau banyak salah sama tante dan sering ngerepotin Tante." Dia pun tak sungkan memeluk mama,

Aku hanya memperhatikan dua orang yang saling menyayangi dan berarti di hidupku, Mocha menatapku dengan tatapan penuh makna, dia melangkah ke arahku lalu menyergap tubuhku keras dan memelukku erat sekali sampai aku sendiri kesulitan bernafas.

"Awas lo kalo gue pulang udah sombong ya!" ucap Mocha mengancam, aku paham Mocha mencoba menghiburku sedangkan dirinya belum sembuh total.

Aku hanya tersenyum simpul berusaha tak menjatuhkan air mata yang sedaritadi sudah kutahan. Tampaknya malam ini aku bakal hujan air mata.