Pagi yang cerah dengan senyuman mentari menghangatkan ibu pertiwi. Belaian lembut sang bayu melenakan kalbu. Seiring dengan senyum syukur atas nikmat-Nya. Bergegas aku menuju sekolah. Sebagai siswa baru, semangat baru tentu mengembang selalu. Ya, setelah dinyatakan naik ke kelas XII oleh pihak sekolah di desaku, kami memutuskan untuk pindah ke kota dan melanjutkan kelas XII di sana. Kini aku resmi dinyatakan sebagai siswa kelas XII di sebuah SMA kecil yang hanya terdiri dari enam ruang kelas itu. Meskipun belum lama di sekolah ini, banyak yang sudah kukenal dari MPLS yang dipandu oleh anggota OSIS. Setiap ada siswa baru, sekolah ini memang akan mengadakan MPLS khusus siswa baru. Semua siswa diwajibkan memakai name tag, itu mempermudah dalam mengenal satu sama lain. Dengan seragam dari sekolah baru, aku merasa lebih nyaman. Bahannya tidak terlalu tipis. Modelnya sesuai dengan keinginanku. Lebih leluasa untuk berjalan cepat atau berlari.
Puji, dia adalah temanku sejak kecil. Kami sama-sama pindah sekolah dengan alasan ekonomi. Kedua orangtuaku hanya seorang pedagang. Penghasilannya hanya cukup untuk kebutuhan sehari-hari nan sederhana karena sebagian ditabung. Bahkan, tidak jarang beliau dijadikan tempat pinjam uang oleh tetangga yang pengembaliannya entah sampai kapan. Puji tinggal bersama Kak Annisa, saudara kandung satu-satunya. Sampai di kota, mereka bekerja di sebuah toko milik orangtuaku. Toko kecil yang dikelola dari uang yang diberikan tetangga sebelum pergi ke kota. Bukan pemberian, tepatnya pengembalian atas pinjamannya. Beruntung kami termasuk bagian dari siswa berprestasi. Berbagai perlombaan pernah kami ikuti dan berhasil menjadi juara. Jadi, pendidikan kami terjamin. Di sini, kami tinggal di kontrakan yang tak jauh dari sekolah. Kami selalu bersama ke manapun, sampai banyak orang yang menganggap kami kembar.
"Eh, Tin! Sendirian aja, lo?" kata Devan sinis, sembari mengacungkan pisau dan menatap tajam ke arahku.
Aku mengernyitkan dahi, mencoba memahami apa maksud dari ucapannya. Gerak-geriknya sedikit ngeri, tapi aku harus berani. Apa kata dunia jika seorang pesilat takut menghadapi tantangan? Aku memang pernah mengikuti pencak silat, meskipun tidak lama, karena kesibukanku.
"Udah, nggak perlu sok lugu! Iya, gue bilang lo sendirian aja, nggak sama pacar. Heran gue, banyak loh yang pengen jadi pacar lo, tapi ditolak semua. Normal?"
"Devan, aku bukan abnormal. Prinsipku nggak pacaran, kasihan orangtua menanggung beban dosaku. Lagipula, Islam kan melarang pacaran, karena mendekati zina. Iya, kan?"
"Apapun, terserah. Dasar jomblo! Mana sini pajak jomblonya?"
Devan pun setengah memaksa menggeledah barang bawaanku. Iya, barang bawaan. Barangkali ada yang bisa dijadikan pajak untuknya.
"Sialan. Anak sekolah apa bukan, sih? Masa nggak bawa duit atau sejenisnya? Buku doang isinya," ejeknya lantang di depan teman-teman lainnya.
Aku tak mau kalah, "Justru anak sekolah itu bawa buku buat belajar. Bukan bawa duit buat foya-foya. Duit aja masih minta, gayanya selangit," sindirku lantang.
Para saksi yang tidak suka dengan perlakuan Devan diam-diam menertawakannya, tertawa dalam diam, takut menyulut emosi Devan.
"Apa lihat-lihat? Sini duit kalian!"
Yang dimintai justru tak bergeming. Bagaimana tidak, tampangnya yang seperti preman memang lumayan mengerikan.
Pasukan, periksa tasnya!" ucapnya memerintah anak buahnya.
'Kalau saja aku tidak buru-buru, tidak akan kubiarkan uang mereka dirampas. Heran deh. Orang seperti itu bisa menjadi anggota OSIS. Teladan apa yang sudah diberikan?'
Aku berjalan melewati kelas-kelas, hendak menuju perpustakaan. Seketika aku berbalik arah, mendengar Puji, teman dekatku, juga ditodong Devan.
"Oke, hari ini gue maklumi. Tapi mulai besok, setiap pagi, kalian harus setor uang, kasih ke gue. Kalau nggak setor, sebilah pisau yang memesona ini sudah siap mengelus leher dan menuliskan sejarah kehidupan kalian. Paham? Hahaha."
Devan menyeringai tajam, seperti orang kerasukan, membuat mereka takut melawan. Ditambah posturnya yang tinggi besar membuat nilai tambah sebagai preman sekolah. Tatto pun tak lepas dari tangannya, yang tertutup lengan panjang sehingga hanya diperlihatkan saat menjalankan aksinya. Mau tidak mau mereka harus menyetorkan uang kepada Devan. Beruntung aku memiliki sedikit ilmu beladiri yang dipelajari sejak SMP, jadi masih bisa sekadar melawan kenakalannya. Tapi ancaman Devan membuat banyak siswa yang tetap takut dan tidak bisa berkutik. Mereka tetap menyerahkan uang dengan berbagai alasan. Puji pun demikian, ia takut kalau suatu saat dilukai, ia terpaksa memberikan uang kepada Devan, kecuali saat bersamaku.
Aku heran dengan sekolah ini, tepatnya kecewa. Pengawasan yang kurang ketat dari pihak sekolah membuat kejadian seperti ini semakin menjadi. Lapor? Sudah kukatakan, mereka takut ancaman Devan. Cukup cerdik untuk preman seusia Devan, ia melancarkan aksinya saat pagi dan sore hari, dimana tempat cukup sepi.
Hari ini belum ada kegiatan belajar mengajar karena kali pertama masuk setelah libur panjang. Para siswa dipulangkan lebih awal. Aku memanfaatkan waktu luang ini untuk membahas masalah tadi pagi dengan Puji.
"Ji, bagaimana kalau kita laporkan kejadian tadi?" tanyaku memulai pembicaraan.
"Kamu yakin, Tin? Bukan apa, secara tadi ancamannya itu loh, ngeri. Kamu juga kelihatannya takut gitu. Risiko, Tin. Hiii, takut aku," jelasnya.
"Emang aku agak ngeri sih, tapi bagaimana dengan yang lain? Bagaimana kalau seandainya kamu jadi mereka? Apakah kamu tidak sedih kalau dibiarkan dalam bahaya?"
"Iya, deh. Tapi kita harus ada rencana yang matang, tidak boleh gegabah. Minimalkan orang yang terlibat, karena ini sekolah favorit. Ok?"
"Oke. Jadi, besok kita lihat perkembangannya. Kalau semakin menjadi-jadi, terpaksa kita harus melibatkan pihak sekolah."
"Siap. Nanti kita bahas di WhatsApp. Pulang, yuk!"
***
'Srekkk...srekkk....'
'S-su-suara itu? Seperti...mengikutiku.'
Aku menoleh ke belakang. Sepi. Tiba-tiba bulu kudukku berdiri. Jantungku berdegup kencang. Dadaku naik turun seiring napasku yang terengah-engah. Keringat dingin mulai mengucur dari sekujur tubuhku. Tangan dan kaki bergetar hebat, membuat raga hampir menggelepar. Puji pun tampak lebih takut, wajahnya pucat pasi. Kuberanikan untuk menyapa terlebih dahulu sosok yang tengah bersembunyi itu.
"Siapa kamu? Aku tahu, kamu sedang bersembunyi di balik rerumputan itu. Kalau berani, muncullah di hadapanku! Jangan menjadi pecundang!"
Seorang berjubah hitam muncul bersama anak buahnya dari persembunyiannya.
"Ternyata peka juga pendengaran lo. Hiii, serem. Hahaha. Berhubung kita sudah bertemu, sepertinya ini waktu yang tepat," katanya diiringi senyum getir.
"Maksudmu?" tanyaku tidak mengerti.
"Ikut aku, yuk!" serunya dengan menarik paksa tanganku.
Mau apa dia? Aku mau dibawa ke mana? Erat sekali genggamannya. Apa-apaan ini?
"Van! Sebenarnya ini mau ngapain sih? Lepasin nggak?"
Aku memberontak, tapi Devan tetap tidak bergeming. Tiba-tiba ....
"Titin, lo bisa diem nggak? Apa susahnya sih tinggal ngikut aja?"
"Tapi nggak perlu pegang tangan, kan?" sergahku.
"Eh, lo denger baik-baik. Kalo lo nggak nurut apa kata gue, gue nggak segan buat nyakitin lo, temen lo, atau siapapun yang deket sama lo. Ngerti nggak lo!" ancamnya dengan suara yang meninggi dan sedikit seram.
Aku menatapnya tajam, berharap dia tidak berbuat nekat. Ternyata aku salah. Dia justru mencekik leherku beberapa saat. Aku kurang sigap mengelak saat Devan hendak mencekik sehingga hampir kehabisan napas. Diperlihatkannya pisau kecil itu padaku, tapi tak sampai melukaiku.
"Ingat itu!" teriaknya lalu menghilang dari pandanganku.
"Tin, kamu nggak apa-apa, kan?"
"Nggak, Ji. Aku...pu...lang... dulu, ya," ucapku dengan napas yang masih tersengal-sengal.
***
"Assalamu'alaikum," ucapku setelah mengetuk pintu rumah.
"Wa'alaikumussalam. Dari mana saja kamu baru pulang? Nggak lihat jam? Enak ya, anak sekolah sekarang bisa main-main."
Seorang wanita paruh baya yang tak lain adalah ibuku mulai mengintrogasiku.
"Maaf, Ma. Titin tadi ngurus kasus temen sama Puji. Itu juga karena udah banyak yang merasa dirugikan dan tidak banyak yang mau menangani."
"Terserah kamu, deh. Ya udah, makan dulu sana. Keburu dingin," timpalnya ketus.
Itulah orangtuaku. Kalau belum saling mengenal mungkin terkesan cuek, tapi aku masih merasakan kasih sayang mereka, dengan cara yang berbeda.
Selesai dengan rutinitas sepulang sekolah, aku beristirahat di kamar. Tiba-tiba benda mungil itu berbunyi. Panggilan suara via WhatsApp masuk dari Puji. Segera kupasang headset agar suara dari seberang sana tidak menggangu.
"Tin, aku ada info, tapi belum pasti sih...."
"Info apa? Jangan nggantung gitu, deh."
"Sepertinya Devan akan membuat rencana besar untuk meneror para siswa. Bukannya curiga, kita harus waspada kalau saja informasi itu benar. Kita tidak tahu kapan itu terjadi, mungkin tiba-tiba saja ada kejadian seperti itu saat kita sedang tidak ada persiapan. Jadi, apa rencana kita selanjutnya?"
"Tetap tenang, dan mau tidak mau kita harus melaporkan ke pihak sekolah. Besok kita berangkat lebih awal, kamu ikut denganku untuk menjadi saksi, aku akan melaporkan ke pihak sekolah."
"Baiklah, aku setuju. Sampai ketemu besok."
Klik. Sambungan diputus oleh penelepon di seberang sana. Kutunaikan shalat maghrib lalu mengaku sembari menunggu waktu 'isya. Setelah shalat 'isya, aku belajar sebentar.
'Ya Allah, rasanya.... Kuatkan, Ya Rabb.'
Malam ini, aku susah tidur karena teringat akan informasi dari Puji. Pikiranku tertuju pada kasus itu, apa yang harus kukatakan besok? Apa yang akan terjadi setelah aku melapor? Akankah kasus ini selesai setelah mereka mengetahui dan menangani? Pikiran dan firasat buruk mulai menghantuiku, mengganggu istirahat malamku. Nyamuk pun nampak setia mengelusi kulitku yang tak mulus itu, mencari celah untuk menghisap darah segar dari tubuhku. Kasur yang empuk pun tak cukup menghangatkan tubuh, hawa dingin masih terasa menusuk tulang. Aku mulai mengolesi tubuhku dengan minyak angin aromatherapy kesukaanku. Yap, alergi dingin mendatangi diriku kembali setelah sekian lama menghilang. Entah jam berapa aku tertidur lelap setelah menelungkupkan wajah ke bantal.
"...Asshalatu khairum minannaum..."
Suara adzan menggema dari masjid yang terletak di dekat rumahku. Dengan mata yang masih menahan kantuk, aku shalat dan bersiap ke sekolah.
"Ji, kamu sudah siap? Kita berangkat sekarang. Pertemuan di pertigaan, sambil membahas rencana selanjutnya."
Sebuah pesan kirimkan, centang dua biru.
"Siap, Bos"
***
05:45 WIB
Pagi-pagi buta kami sudah sampai di sekolah. Guru dan karyawan belum banyak yang datang. Kulihat Pak Husen berada di depan ruang guru. Beliau adalah wali kelas XII IPS. Kami cukup dekat sejak diadakannya MPLS.
"Assalamu'alaikum, Pak," sapaku.
"Wa'alakumussalam warahmatullah. Ada apa, Tin? Itu siapa?" jawab Pak Husen seraya menunjukkan jari telunjuknya ke arah Puji.
"Ini teman sekelas saya, Pak. Namanya Puji. Bisa ke tempat lain, Pak? Ada hal serius dan rahasia yang ingin saya bicarakan."
"Baiklah, ke perpustakaan saja."
Kami menuju perpustakaan, menuju kursi di sudut ruangan.
"Begini, Pak. Devan, siswa kelas XII IPS, bapak pasti tahu. Kemarin, dia dan teman-temannya membuat kerusuhan di sekolah...."
"Ya. Ya, saya sudah tahu itu. Perlu kamu ketahui, sudah sejak lama dia berulah. Pernah pihak sekolah sampai memanggil orangtuanya. Tapi apa? Beliau tidak terima. Keluarganya Devan itu orang terpandang. Sangat disayangkan, itu membuat kelakuan mereka semena-mena. Kami sebagai pihak sekolah minta maaf, karena kenyamanan belajar kalian terganggu. Kami sudah berulangkali konflik dengan mereka, malah akhirnya salah satu dari kami secara bertahap masuk penjara. Tentu dengan rekayasa mereka," jelasnya dengan raut sedih.
'Diluar dugaan. Kukira ini baru pertama terjadi. Ternyata, oh, ternyata....'
"Ini tidak bisa dibiarkan, Pak."
"Mereka terlalu banyak akal bulusnya, Tin. Entah dengan cara apa lagi...."
"Tapi kejahatan harus dimusnahkan. Kami siap membantu."
"Terima kasih. Tapi sebelumnya saya minta maaf, saya tidak bisa turun tangan langsung membantu kalian. Kedok saya sudah terbongkar sebagai salah satu guru yang tidak terima akan perlakuan Pak Putra dan Bu Vina, orangtuanya Devan. Jadi, saran saya jangan menjadi pemberontak. Jadilah penyelidik, selidiki mereka, termasuk Devan. Tolong, selidiki kasus ini. Pihak sekolah sekarang seperti sudah tidak peduli lagi, bantu kami, Tin. Susun rencana dengan baik karena mereka sangat licik. Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk meminta bantuan saya. Oh, iya. Mungkin kamu bisa konsultasi dengan kepala sekolah sebelum bertindak."
"Baiklah. Saya akan membantu menyelesaikan kasus ini. Terima kasih atas informasi dan sarannya. Kalau begitu, kami izin ke kelas. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam warahmatullah."
***
'Teeettt...teeettt...teeettt....'
Bel masuk berbunyi nyaring. Semua siswa sudah berada di kelas. Mungkin sebentar lagi guru-guru menyusul masuk.
"Assalamu'alaikum."
Seseorang memasuki kelas XII MIPA. Seorang pria yang bisa dibilang cukup muda, dengan penampilan sederhana. Siapakah dia?