Seusai shalat, masih berbalut mukena, aku termenung di atas sajadah panjang. Pikirku pun melayang, teringat kejadian tadi. Mulai dari berteduh bersama hingga pulang bersama. Kesan jangan ditanya, tentu menyebalkan karena dipaksa dan harus mengalah untuk meminta maaf meskipun mungkin tidak bersalah. Berkali-kali aku menghembuskan napas kasar. Bergegas kubereskan perlengkapan shalat dan membenamkan diri ke kasur tercinta. Tangan menempel di dada, seketika getaran terasa. Tak terasa bulir bening ini menitik, diliputi rasa bersalah dan entah rasa yang lain. Kalau teringat sikapnya, kadang rasanya selalu tersenyum dan tertawa dan mungkin juga kesal. Tatapannya teduh, perkataannya tidak menyakitkan. Apakah aku mulai jatuh cinta? Ah, anak sekolah kok seperti ini. Sadar, woy! Astaghfirullah, ampuni hamba.
***
Aku masih teringat kejadian kemarin, bahkan di sekolah. Sampai tak sadar kalau sudah berkali-kali dipanggil Puji sehingga dia menepuk punggungku.
"Ngelamun, senyum-senyum sendiri, kesambet? Haha. Ada kejadian apa sih?"
"Sembarangan aja kalo ngomong. Ya, antara kesel dan lucu sih."
"Aku tahu kok. Karena kejebak hujan berujung kejebak perasaan, kan? Eh."
"Sotoy!"
"Sudahkah Anda mengetahui berita lelayu hari ini?"
"Puji! Jangan bercanda, deh! Emang siapa yang meninggal?"
"Adik kelas yang waktu itu diganggu Devan. Ingat? Aku curiga, seperti ada sesuatu."
"Innalillahi wa Inna ilaihi raji'un. Udah, jangan curiga terus, nggak baik."
Tak bisa dipungkiri, keadaan anak itu seperti menunjukkan bahwa ia meninggal dalam ketidakwajaran. Tapi mengapa mereka diam saja? Seolah tidak terjadi apa-apa? Mereka tahu atau tidak? Apa mereka tidak mengamati? Atau mencoba berpikir positif bahwa itu sama sekali tidak ada hubungannya dengan ini? Belum bisa dijadikan bukti memang, tapi perasaanku tidak enak. Puji juga curiga. Benarkah ada yang ikut campur dalam kejadian ini?
"Apa yang kamu curigai atas meninggalnya adik kelas itu? Dibunuh?"
"Iya. Kita perlu bukti tambahan. Aku juga merasa akan ada kejadian lagi yang berhubungan dengan ini. Bisa jadi bukti."
"Ehm. Mungkinkah Devan?"
Meninggal dalam keadaan tidak wajar. Meskipun pihak keluarga sudah mengikhlaskan, aku tetap harus membuktikan apa yang sebenarnya terjadi. Saatnya Four Holmes beraksi. Kami meminta izin untuk mendokumentasikan luka pada tubuh Dea, adik kelas itu, untuk menjadi bukti dalam penyelidikan nanti.
"Lebih baik kita bagi tugas. Titin mengorek informasi dari Devan dan beberapa orang yang menurutmu mencurigakan dan bisa dijadikan tersangka, Puji mencari informasi dari teman korban, saya dan Pak Yusuf akan mengawasi sekitar. Saya rasa itu yang terbaik saat ini. Bagaimana?"
"Setuju," jawab kami.
***
"Van, apa kamu tahu sesuatu tentang kematian Dea?"
"Nggak, tuh. Gue aja heran, mencurigakan."
"Tapi, bukannya kamu nggak suka dan sering ngganggu Dea? Jadi, ada kemungkinan kamu…."
"Lo nuduh gue? Mana buktinya? Jangan nuduh sembarangan, ya! Lo nggak tahu siapa gue? Denger baik-baik. Gue nggak akan njelasin apapun sebelum ada bukti."
"Heh! Jangan asal ngomong kamu, ya! Aku cuma tanya, bukannya nuduh. Ditanya baik-baik malah tersinggung, dasssarrr.... Aku ngomong gini juga karena ngerasa kalau kamu tahu sesuatu, kalau nggak tahu ya udah sih nggak usah sewot gitu. Bikin emosi aja. Emang ada peraturannya nggak mau njelasin sesuatu sebelum ada bukti?"
"Ya nggak mungkin lah lo ngomong gitu ke semua orang. Lagian yang harusnya ditanya ya teman sekelasnya, bukan gue yang bahkan kenal aja nggak."
"Ya mana aku tahu kalau kamu kenal apa nggak sama dia. Kita aja nggak temenan, malah rasa musuh!" ungkapku kesal lantaran Devan seenaknya berbuat padaku.
Belum ada informasi tambahan, seperti semua berhasil dijalankan dengan rapi tanpa jejak. Teman sekelas Dea pun tidak tahu-menahu, cukup misterius. Gerak-gerik mencurigakan belum tercium aromanya. Tapi aku yakin, 'Sepandai-pandainya manusia, suatu waktu ia akan melakukan kesalahan juga.'
***
Kami mulai memeriksa sekeliling tempat dimana Dea ditemukan dalam keadaan tidak bernyawa. Sebuah toilet di pojok sekolah ini sudah jarang dipakai, kotor. Hampir tidak ada jejak, hanya kulihat seutas tali tambang yang tergantung di langit-langit kamar mandi. Mungkinkah…?
"Tin, di situ ada kursi," tunjuknya pada ruangan sebelah.
"Di belakang kamar mandi ada ini," katanya dengan menunjukkan benda, alat untuk memotong tambang.
"Coba bawa sini kursinya."
"Pak, sepertinya kursi itu digunakan pelaku untuk naik dan gantung diri. Di langit-langit kamar mandi ada tali tambang. Tapi menurut saya Dea tidak sekuat itu untuk gantung diri. Di kursi tadi juga jejak sepatunya ukuran besar. Kalian tahu sendiri, Dea itu kecil. Kalau dia memakai sepatu dengan ukuran sebesar itu dia kesulitan berjalan. Sedangkan menurut informasi dari teman sekelasnya, Dea berlari lincah hari itu, sebelum ditemukan meninggal. Ada kemungkinan, Dea digantungkan oleh seseorang. Melihat pintu yang rusak ini, mungkin juga sebelum kejadian pintu dikunci lalu didobrak. Mmm…," kucerna kembali analisisku, takut ada kesalahan.
"Setuju. Hipotesis sementara seperti itu. Kita tidak boleh lengah, amankan bukti! Penyelidikan akan berlanjut."
Sekilas terlihat benda yang membuat rasa penasaranku kambuh. Tanpa pikir panjang, diam-diam aku memastikan apa yang terlihat. Sebuah benda tajam berlumur darah, mungkinkah ini juga digunakan untuk melancarkan aksinya?
***
"Selamat siang, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" sambut seorang polisi dengan ramah.
Kami sudah mantap untuk mengusut tuntas kasus ini dan bekerja sama dengan kepolisian, atas izin dari pihak keluarga korban tentunya.
Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, saya sudah membawa beberapa bukti. Sembari menunggu untuk mendapatkan bukti yang lebih kuat, saya rasa akan lebih aman jika bukti yang sudah ada dititipkan di sini. Kami membutuhkan bantuan pihak kepolisian untuk menyelidiki kasus ini.
***
Sekian hari tidak ada hal aneh, aura detektif mendadak menguasai diriku. Entah apa yang merasukiku, angin berembus perlahan membawaku ke tempat kejadian. Tiba-tiba tercium bau anyir darah yang memikat hidung. Rasa penasaran mengalahkan rasa takutku. Meskipun ditemani degup jantung yang kencang, dengan mengucap bismillah, pintu kubuka perlahan dan apa yang terjadi?
"Aaargh."
Sebuah teriakan yang tercekat, serak-serak basah. Sejak kapan? Apakah pelakunya adalah orang yang sama dengan sebelumnya? Apa tujuannya? Apa salah mereka?
"Hi, team. Come here quickly. Look!" kataku memanggil seraya menunjuk pada sesosok makhluk.
"Parah. Benar-benar lebih parah dari sebelumnya. Ayo, kita masuk," kata Puji dengan tak segan menarik lenganku.
"Ternyata ini sumber bau anyir tadi."
"Jadi, Bapak Hakim juga sudah merasakan sejak tadi?" gayaku seakan sedang berwawancara.
"Iya, tapi saya masih ragu, makanya saya berniat setelah sekolah sepi akan ke sini lagi," katanya sembari mengamati kembali tempat kejadian.
"Tin, kamu lihat itu? Jejak kaki."
"Eh, iya, Pak. Ini bisa mejadi barang bukti. Tapi, bagaimana mengamankannya?"
"Sudahlah, kita urus jasadnya dulu."
***
Aku merenung sendiri di sebuah taman. Mengingat bentuk dan ukuran jejak tadi, sudah jelas bukan Devan yang melakukannya, mungkin. Tapi siapa? Ah, mending belajar. Memikirkan hal yang belum jelas hanya membuat kepala pusing.
"Beberapa hari yang lalu, korbannya kelas X IPS. Sekarang kelas XI MIPA. Mmm...," ucap Pak Yusuf dengan nada menggantung.
"Apa mungkin pelakunya kelas XII?" pikirku dalam hati yang entah mengapa bisa terucap.
Jumlah siswa kelas XII tidak sedikit. Bagaimana caranya agar segera terungkap? Rasanya tidak mungkin jika harus diperiksa satu demi satu. Itu akan membutuhkan waktu yang lama. Ini sudah yang kali kedua. Namun, sama sekali belum ada titik terangnya. Informasi yang ada masih terasa kurang untuk dijadikan petunjuk. Ah, aku tahu!
***
"Sebelumnya, mungkin kalian sudah mengetahui bahwa di sekolah ini telah terjadi hal yang tidak kita inginkan. Oleh karena itu, mohon kerjasamanya. Diberitahukan bahwa mulai besok pagi, kegiatan belajar mengajar diliburkan untuk sementara waktu."
"Yesss, libuuurrr."
"Yah, kenapa harus libur, Pak?"
"Liburnya sampai kapan, Pak? Kalau kelamaan libur kita juga bete."
"Semua, harap tenang. Jadi, keputusan ini bertujuan agar tidak terlalu banyak korban dan agar lebih mudah untuk keperluan penyelidikan. Selain itu, agar keadaan menjadi lebih tenang. Sekolah ini tidak boleh sampai tutup hanya karena berbagai masalah yang mengancam keselamatan siswa. Sampai kapan diliburkan, tidak ada yang tahu pasti. Yang jelas, sampai kondisi aman. Setelah ini, kalian bisa pulang."
Sepertinya kepala sekolah pun sudah mulai bertindak tegas. Pihak kepolisian sudah dikerahkan untuk mengawasi keadaan sekolah. Kami menunjukkan sebuah tempat yang sudah lama tidak dijangkau oleh warga sekolah yang tidak lain adalah kamar mandi di bagian belakang sekolah, tempat kejadian.
Ternyata dia benar-benar pintar, ya. Lagi-lagi, kami disuguhi pemandangan yang cukup membuat tercengang. Seorang siswi ditemukan dalam keadaan terjerembap di lantai kamar mandi dengan jilbab yang sudah tidak menutupi kepalanya dan lengan yang terbuka. Miris. Dahi penuh dengan semburat merah darah yang sudah hampir mengering. Baju dan jilbab putihnya sudah tidak bersih lagi. Tubuhnya nampak tak terurus. Luka yang sudah mengering bisa diperkirakan bahwa pelaku melancarkan aksinya saat langit masih gelap.
"Ini sudah benar-benar keterlaluan. Pak, kita harus bergerak cepat. Beberapa orang yang dicurigai harus segera diintrogasi. Saya sudah mencurigai Devan, tetapi belum ada bukti untuk menjadikan tersangka. Ada kemungkinan orang yang terlibat dalam hal ini lebih dari satu," ucapku serius yang ditanggapi anggukan oleh mereka.
Hari ini diadakan pertemuan secara tersembunyi demi terkuaknya misteri. Kami menjadikan ruang BK sebagai markas karena tempatnya yang kedap suara untuk mengecilkan kemungkinan bocornya misi rahasia.
Aku dan Puji mencari data-data siswa yang menjadi korban. Berbagai tempat tak luput dari penglihatan kami, tak terkecuali di sudut ruangan. Tumpukan berkas dari ratusan bahkan ribuan siswa cukup melelahkan. Apalagi saat mencari data siswa kelas XII, pandangan mata sudah mulai kabur karena fokus dalam waktu yang cukup lama, ditambah lagi berkas tersebut tidak tersusun rapi.
Beberapa jam sudah berlalu. Akhirnya, kami menemukan apa yang dicari. Perlahan kami meneliti secara rinci data tersebut. Ada yang menarik. Devan baru berulang tahun yang ke-15 beberapa bulan yang lalu. Dalam hasil tes IQ-nya pun menunjukkan hasil jenius. Beberapa siswa lain pun demikian, namun perbedaan yang ada pada Devan cukup mengagetkanku.
***
Setelah shalat Isya, aku duduk santai di kamar. Tak lupa aku mengunci pintu agar lebih leluasa merenung dalam kesendirian. Detik demi detik telah berlalu. Hampa. Pikiranku tak menentu. Kacau. Suara burung malam bersahutan. Suasana yang kian mencekam tak menyurutkan keberanianku. Meskipun bulu kudukku sempat berdiri, merinding, tetapi aku bukan pengecut.
'Tidak ada gunanya takut dengan setan. Dia juga makhluk Allah, bahkan tidak lebih baik daripada manusia.'
Malam semakin larut, entah mengapa rasanya semakin resah. Netra tak kuasa terpejam hingga saat semua manusia telah menikmati rajutan mimpi dalam kasur empuk yang menghangatkan itu.
"Ah, iya. Kenapa nggak kepikiran dari tadi, ya? Dulu kan aku sempet curiga sama beberapa orang kalau dia psikopat. Jadi, aku bisa nyari orang buat mbantuin aku buat mastiin dia itu psikopat atau bukan. Setelah itu, langsung mencocokkan bukti yang ada dengan tersangka," gumamku bermonolog mengisi sepinya malam.
Tiba-tiba....