"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakatuh," sapanya.
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh," sahut kami serentak.
"Sebelumnya perkenalkan, nama saya Arif Hakim. Saya menjadi guru baru di sini, mengajar Bimbingan Konseling. Nama panggilan saya waktu kecil itu Arif, tapi sekarang beralih. Kalian bisa memanggil Pak Hakim. Tidak perlu dengan nama lengkap yang bertele-tele ini. Sekarang saya tinggal di Pasuruhan Lor. Ada pertanyaan?"
"Belum."
Perkenalan yang baru saja selesai, tapi sudah membawa kesan akrab. Aku sendiri bisa sampai merasakan ada hal yang berbeda, cara berbicara yang santai tidak membuat kami tertekan. Semoga saja tidak seperti guru yang lain. Akhlak dan budi pekerti luhur harus ada dalam diri seorang guru, yang mana mereka dijadikan teladan, panutan, tingkah lakunya ditiru oleh murid-muridnya.
***
Saat jam istirahat, aku dan Puji menuju depan gerbang sekolah. Kami rela berdesakan demi mendapatkan sebungkus bakwan kawi dan beberapa buah cireng crispy. Puas rasanya ketika lidah ini sudah berhasil dimanjakan dengan makanan itu. Sungguh nikmat tiada tara, uang hasil kerja keras sendiri bisa untuk membeli jajanan favorit. Baru saja kami hendak masuk kelas, entah sejak kapan mereka di sini.
"Bos, gue jajan dulu, ya. Permisi," ucap Tyo pada Devan.
"Eh! Beliin gue dua!" ucapnya pada seseorang, sepertinya adik kelas.
"Tapi, aku nggak ada uang lebih. Kalau kakak mau jajan ya beli dong."
Devan emosi seketika, anak itu dibawa ke suatu tempat. Kami mengikuti, hingga ke gudang dekat toilet sekolah.
"Udah berani nasehatin gue ya? Sialan, lo! Mau mati, ha? Tenang, gue udah siap ngantar kepergian lo. Pisau ini tajam kok," bisiknya menyeringai dan mengacungkan sebilah pisau tajam.
"Masih berani? Sini nggak?"
"Sampai kapanpun, aku tidak sudi menjadi budakmu!"
"Lancang!" teriaknya geram penuh amarah.
"Aw. Sakit, kak," lirihnya saat dicekik Devan.
"Jangan kasar sama anak kecil dong! Kalian gimana sih? Diliatin aja, bukannya ditolongin."
"Kalian berdua udah ngehalangin rencana gue. Titin! Awas Lo! Hukuman buat kalian!" bentaknya sambil merampas jajanan kami dan menampar pipiku. Bahkan tak segan ia menendangku. Tanpa rasa bersalah mereka berlari menuju kelas.
"Woy! Jangan lari kamu!" seruku.
Aku mengejar Devan sampai tak sengaja menabrak seseorang hingga barang bawaannya terjatuh berserakan. Mau tidak mau aku harus menolong orang yang tak sengaja kutabrak. Untung saja tidak ditanya apa yang sudah terjadi di antara kami.
"Maaf, saya tidak sengaja," kataku lirih sembari membereskan barang-barang yang terjatuh.
"Iya, Mba. Lain kali lebih hati-hati, ya!"
Dheg. Suaranya tidak asing. Spontan aku mendongak, ternyata orang tersebut adalah Bapak Hakim. Manik mata kami bertemu, beradu pandang beberapa detik saja membuatku panas dingin ternyata. Saling melempar senyum, membuatku tak bisa berkutik.
'Ya Allah. Kok gugup gini ya? Astaghfirullah. Jangan sampai detak jantungku yang kencang ini ketahuan deh.'
"Eh, m...maaf. Aduh, maafin saya, Pak. Jadi rusak deh bukunya."
Aku merasa bersalah, sedih, menyesal karena kurang hati-hati. Ditambah mendadak gugup seperti ini, ingin rasanya segera pergi. Tapi tatapan teduhnya membuatku merasakan ketenangan. Sejuk. Air mata haru hampir menetes, tapi segera kuseka. Aku bukan anak cengeng. Buat, bukan alay.
"Iya, Mba. Kalau masalah buku kan murah, gampang lah."
"Tapi tulisannya jadi ada yang rusak."
"Saya masih ada salinannya kok. Tenang. Bukunya nggak usah diganti, lagipula ini bukan sengaja kan?"
"I-iya, sih. Ya udah, makasih ya, pak. Maaf. Kalau begitu, kami permisi. Assalamu'alaikum."
Tanpa menunggu jawaban darinya, kami bergegas menuju kelas.
***
"Tin, ke Bu Alfinda, yuk! Ini nggak bisa dibiarin. Sudah termasuk kekerasan fisik. Lagian kamu, masa nggak ngelawan? Apa jadinya coba kalau sampai dia...."
"Ji, ilmu beladiri bukan untuk kekerasan. Aku juga nggak kenapa-kenapa. Aku nggak jajan juga nggak apa-apa. Ya udah, ayo."
"Bu! Assalamu'alaikum, Bu Fin. Bisa bicara sebentar?"
"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakatuh. Ayo kit ke ruangan ibu."
Setelah kuceritakan kejadian tadi, beliau langsung menyuruh kami untuk melibatkan BK. Baiklah. Kami menuju ruang BK.
"Assalamu'alaikum, Pak," ucap kami.
"Maaf, bisa bicara sebentar? Ada kasus di sekolah ini."
Beliau mengisyaratkan agar kami duduk.
"Pak, sekarang ini Devan semakin berani berulah. Sudah tidak bisa dibiarkan begitu saja, banyak siswa yang merasa terganggu, termasuk kami. Ini sudah termasuk kekerasan fisik, bahkan saya pernah dicekik saat di jalan. Benda tajam tidak lupa dimainkan."
"Astaghfirullah. Begini saja, ini dijadikan bahan penyelidikan. Setelah banyak bukti yang terkumpul, baru dibongkar. Kalian mau bantu saya?"
"Siap, Pak," jawab kami kompak.
***
Aku mengorek informasi dari wali kelas Devan, juga beberapa guru dan temannya. Menurut informasi dari para guru, Devan anaknya ramah kepada guru. Di kelas juga ceria, tidak banyak ulah, hanya saja sedikit nakal di luar kelas juga memiliki geng. Sangat berbeda dengan yang kualami, di mana Devan cenderung brutal. Sebisa mungkin aku merahasiakan ini dari warga sekolah. Sikapnya yang sulit ditebak harus dihadapi dengan hati-hati dan dengan persiapan. Prediksi pin harus dipikirkan, semua harus siap dengan apa yang harus dilakukan ketika hasil tidak sesuai dengan yang diharapkan. Jangan sampai membahayakan diri sendiri, apalagi orang lain. Jangan sampai banyak korban berjatuhan, yang mungkin mereka tidak bersalah.
***
Aku berjalan menyusuri kelas-kelas. Langkahku terhenti setelah mendengar sesuatu. Devan sedang tertawa riang di kelas. Jauh berbeda dengan sikapnya di luar kelas. Saat di dalam kelas tanda-tanda kenakalannya tidak nampak sedikitpun. Semua bisa tertipu dengan senyum dan tawa.
"Bro, kalo yang gituan mah gue jagonya. Nih, liat. Gimana?"
"Widih, mantap, Van."
"Iya lah, gue gitu. Emang lo. Ngga bisa apa-apa."
"Nge-fly nih...."
"Bercanda, bro," katanya diiringi tawa yang tertahan dan akhirnya meledak.
Seorang guru lewat dan melihat kejadian itu. Devan segera mengangguk ramah, diikuti temannya. Membuat guru itu tersenyum menggelengkan kepala. Pandangan Devan terpaku. Ah, tertuju padaku. Dia melihatku. Aku segera bersembunyi, tapi ada yang menyeretku dari belakang dan menutup wajahku. Dia membawaku ke halaman belakang.
"Heh! Mau lo apa sih? Lo ngintai gue ya?"
"Van, aku nggak ngintai kamu kok. Aku kebetulan lewat dan nggak sengaja lihat kamu. Oh iya, kamu pinter akting juga ya. Sifat kamu beda jauh, bertolak belakang. Kenapa kamu nggak ikut ekskul teater?"
"Jangan banyak bacot, Lo!"
'Plak.'
"Ehm. Masih mau sekolah di sini nggak?"
"Kamu baik-baik saja kan?" tanyanya.
"Alhamdulillah, Pak."
"Bisa ikut saya ke ruangan sekarang?"
***
"Pak, sebaiknya bapak hati-hati dengan anak itu. Dia anak seorang pejabat dan orangtuanya bisa melakukan apa saja."
"Bukan berarti peraturan tidak bisa ditegaskan, kan? Lagipula, kenapa kamu tidak melawan tadi? Saya dengar kamu atlet silat."
"Ilmu silat itu bukan untuk melukai orang lain, Pak. Juga, saya sedang menyelidiki anak itu, untuk memecahkan kasus di sekolah ini."
"Tapi kan tadi terdesak, lho. Kasus apa sih? Bakat jadi detektif sepertinya kamu."
"Itu belum seberapa kok, Pak. Hehe. Ya, kasus yang menimpa dan merugikan banyak orang. Selain itu saya, sama teman saya, sedang mengamati sikap Devan, yang bertolak belakang dan aneh."
"Kasus yang menarik untuk diselidiki. Boleh kami gabung? Mmm, maksudnya saya dan Pak Yusuf."
"Boleh, kok."
"Alhamdulillah, terima kasih. Saya ingin menambah pengalaman mengamati karakter orang, dan memecahkan misteri. Rasanya ada kepuasan tersendiri kalau berhasil."
'MaaSyaaAllah, pemikirannya. Mantap, Pak.'
***
"Ji, guru BK mau gabung ke tim kita. Siap-siap, kita susun rencana baru. Kita"
"Alhamdulillah. Bagus, deh. Bismillah."