"Itulah mengapa kita berjodoh..."
Rose terdiam, ada getaran yang ikut bersama dengan kalimat yang dikatakan oleh William sehingga sesuatu terasa menyentak hatinya.
Jodoh... Faktanya mereka sudah menikah sejak kemarin dan apakah itu artinya mereka telah berjodoh?
Sepuluh hari yang lalu William datang melamarnya tanpa ada pendekatan sebelumnya lalu sekarang William sudah menyandang status sebagai suaminya.
Itukah yang dinamakan sebagai berjodoh, walaupun lima tahun ia bersama menjalin kasih dengan Rayhan tapi semudah membalikkan telapak tangan, hubungan mereka kandas begitu saja hanya karena kedatangan William yang tiba-tiba datang mengusik.
"Mengapa kamu menjadi sering melamun sekarang? Aku lebih menyukai kamu marah-marah padaku dari pada tenggelam dalam pikiranmu sendiri." Ucap William, tangannya membelai hangat pipi Rose dengan lembut.
"Karena semua ini sangat membingungkan sekaligus menyakitkan." Jawab Rose sambil menyingkirkan tangan William dari wajahnya.
"Aku ingin istirahat Will, tolong jangan menggangguku." Ucap Rose yang tiba-tiba saja menjadi tidak bersemangat lalu merebahkan tubuhnya dan berbalik miring membelakangi William.
William mengerti, mengerti hanya itulah satu-satunya cara agar ia tidak menambah kesedihan Rose.
Tanpa membantah, William melangkah keluar dari dalam kamarnya. Siapapun akan merasa patah hati jika tiba-tiba terpisahkan dengan kekasih yang sudah lama bersama, begitupun jika posisinya berbalik, jika Gwen menikahi pria lain, tentu saja William akan merasa patah hati.
Tapi takdir berkata lain, selain Gwen ada Rose dan Rayhan yang harus ikut terluka karena keegoisannya, William hanya ingin bertemu kembali dengan adik kandungnya.
Entah dimana dia sekarang, apa dia hidup dengan layak, apa dia tumbuh dengan baik? Bagaimana keadaannya sekarang? Semua bagaikan kotak hitam misteri dimana William tidak dapat menemukan petunjuk apapun tentang keberadaan adiknya.
Mengingat akan adiknya tiba-tiba saja ia mengingat tentang kondisi Rayhan, Rayhan dan adiknya sepertinya seumuran, jika saja pertemuan mereka tidak serumit ini, mungkin William akan bersikap baik kepadanya.
****
William mengetuk pintu kamar yang ditempati Rayhan namun tidak ada jawaban. William hanya ingin memberikan pakaian ganti kepada Rayhan, ia tahu jika pria itu tidak membawa pakaian lain selain apa yang dikenakannya sementara sebelumnya Rayhan duduk di bawah derasnya hujan yang mengguyur.
William tidak lagi mengetuk pintu kamar Rayhan, mungkin Rayhan butuh waktu sendirian tapi meskipun begitu William tetap tidak bisa merasa tenang.
"Ray..." William belum selesai memanggil Rayhan ketika pintu kamarnya terbuka begitu ia memutar kenop pintu.
Pintu kamar tidak terkunci, kondisi kamar yang gelap membuat William kesulitan untuk melihat, sambil meraba-raba dinding, William menyalakan lampu dan ternyata Rayhan sedang berbaring di atas tempat tidur.
"Sepertinya di tertidur." Gumam William dalam hati.
Sambil melangkah mendekat dan meletakan pakaian miliknya diatas meja, William membi berkata "Ganti pakaianmu atau kamu bisa demam." Ucap William sambil lalu, ia tidak ingin terdengar perduli kepada Rayhan yang mungkin akan diartikan lain oleh Rayhan.
Tapi Rayhan tetap tidak kunjung bangun.
"Jangan salahkan aku jika kamu sakit." Ucap William bergegas pergi.
"Kakak..."
Deg, detak jantung William seakan berhenti, Rayhan merancau dan memanggil kakak, hatinya terasa pilu seketika karena suaranya terdengar seperti panggilan adiknya dulu jika ia sakit tapi William berusaha mengabaikan perasaan akrab itu dan berpikir mungkin Rayhan hanya merindukan kakaknya jadi ia melanjutkan langkahnya.
"Jangan tinggalkan aku..."
Suara petir seolah menyambut rancauan Rayhan, William tidak kuasa lagi mengabaikan Rayhan yang membuatnya semakin merindukan adiknya.
"Kakak... Aku merindukanmu."
William melihat air mata Rayhan mengalir disudut matanya yang terpejam. Wajahnya pucat dan keringat memenuhi wajahnya bahkan hingga membasahi lehernya.
"Kakak..."
Seperti ikut terpanggil, William mengulurkan tangannya untuk menepuk dada Rayhan lembut seolah ia tengah menenangkannya.
"Aku disini..." Sahut William, hatinya terenyuh, matanya memanas, Rayhan terlihat menderita, entah apa yang di impikannya tapi semua ini semakin membuat William teringat kepada adiknya. Apakah adiknya juga akan memanggilnya penuh kerinduan dalam tidurnya?
"Jangan pergi, jangan tinggalkan aku, aku mohon jangan pergi..."
Air mata William tidak kuasa menetes, seperti teriris, hatinya terasa sakit mendengar rancauan Rayhan.
"Aku disini tenanglah..." Sahut William lirih.
Perlahan ketegangan diwajah Rayhan mengendur.
William tidak mengerti, ia merasa hangat ketika Rayhan memegangi tangannya erat seperti ini seolah ia tidak ingin kehilangannya.
Rayhan mungkin sangat mencintai Rose tapi kakaknya lah yang hadir dalam mimpinya itu artinya kakaknya memiliki tempat yang lebih istimewa. Andai saja adiknya merindukannya juga seperti Rayhan merindukan kakaknya, seketika William merasa iri.
Rayhan demam, dan layaknya seorang kakak yang merawat adiknya, William mengompres kening Rayhan agar suhu tubuhnya menurun tidak lupa ia juga menggantikan pakaian Rayhan sebelumnya, tepat setelah Rayhan kembali tidur dengan tenang.
Merawat Rayhan membuatnya kembali teringat ketika ia merawat adiknya dulu.
"Sudah tahu hujan tapi masih saja main bola di luar, kan sekarang sudah sakit, aku juga yang repot!" celoteh William kecil sambil mengompres kening adiknya yang demam.
"Ya sudah tidak perlu merawatku. Bila aku mati aku bisa bertemu dengan ayah dan ibu di surga dan hanya tinggal kakak sendirian." Sahut adiknya yang masih cerewet bahkan ketika demam.
"Kamu tega meninggalkanku sendiri?"
"Soalnya kamu tidak mau merawatku."
"Hey, aku kurang merawat seperti apa? Dalam setahun ini berapa kali kamu sakit dan aku selalu melakukan hal membosankan ini. Mengompres keningmu sangat menjenuhkan." Protes William sambil meletakan kembali handuk dingin di kening adiknya.
"Itulah tugas seorang kakak."
"Lalu apa tugasmu? Membuatku cemas?"
"Kamu cemas padaku?"
"Tidak..." Sahut William berbohong, ia menyesal karena sudah pasti adiknya akn merasa terbang melayang karena secar tidak langsung William mengatakan jika ia sangat menyayangi adiknya.
"Tadi aku dengar kamu mengatakan seperti ini 'membuatku cemas'."
"Aku tidak mengatakan hal seperti itu, untuk apa kau mencemaskan mu!"
"Hey aku tidak tuli, kakak cemas bukan? Kakak cemas padaku, benar bukan kakak lebih menyayangiku..."
"Tentu saja aku adalah kakakmu bodoh!"
"Tentu saja, siapapun akan merasa bangga memiliki adik tampan sepertiku."
"Jangan mulai lagi, kamu sedang sakit tapi masih saja cerewet..."
William tidak kuasa menahan senyumnya mengingat ia dan adiknya selalu bertengkar dalam hal apapun tapi meskipun begitu mereka saling menyangi.
Rasa sayang itulah yang membuat William tidak dapat melupakan adiknya bahkan ketika Jackson menghipoterapinya agar melupakan seluruh kenangannya bersama dengan adiknya tapi meskipun ia masih dapat mengingat wajah adiknya ketika kecil dna setiap kenangan yang mereka lalui tapi William tidka dapat mengingat siapa namanya bahkan William sendiri lupa siapa nama aslinya sebelum Jackson memberikannya nama William Alexander.
"Apa begitu menyenangkan melihatku sakit?"
William menoleh kearah Rayhan yang ternyata sudah terbangun tanpa disadarinya.
"Begitukah caramu berterimakasih kepada orang yang telah merawatmu ketika demam?" Tanya William sambil meletakan kembali handuk dingin keatas dahi Rayhan.
"Aku tidak memintamu merawatku!"
"Aku tahu tapi aku tidak ingin menambah hantu di mansion ini karena aku tidak merawatmu ketika sakit."
"Aku tidak akan mati semudah itu, aku akan mendapatkan Rose kembali."
"Kalau begitu kamu harus memperhatikan kesehatamu. Aku tidak suka melawan orang lemah." Ucap William seraya beranjak bangun.
"Makanlah buburnya selagi hangat dan jangan sampai kamu tidak meminum obatnya." Lanjut William ketika diambang pintu.
Rayhan menoleh kearah mangkok bubur yang masih terlihat menguap dengan segelas air putih dan beberapa obat penurun demam.
"Pastikan kamu meminum obatnya karena aku tidak ingin melakukan hal membosankan itu lagi, mengompres kening mu sangat menjenuhkan!" Ucap William sebelum menghilang dibalik pintu yang tertutup.
"Aku tidak ingin melakukan hal membosankan itu lagi, mengompres keningmu sangat menjenuhkan." Kenapa kalimat itu begitu sama persis seperti apa yang selalu kakaknya katakan saat ia sakit dulu?
.....