"Selamat siang pemirsa, kembali lagi bersama kami di lintas siang hari ini. Sebuah bom kembali meledak dan menyasar sebuah kota yang merupakan bagian dari negara Netral Alten, yaitu Eternia.
Tidak ada korban jiwa atau kerusakan yang berarti dalam kejadian itu, lantaran ledakan berhasil dihentikan oleh seseorang yang diduga sebagai Peculiar. Sebuah ras hasil dari evolusi baru manusia.
Bukti rekaman amatir yang direkam memperlihatkan detik-detik bom itu meledak, lalu seketika menghilang. Bunga api sempat muncul bersamaan dengan angin dan bunyi suara keras ditambah oleh gelombang kejut yang memecahkan beberapa kaca. Tapi itu semua terhisap ke dalam tubuh anak yang sedang mengunci pergerakan dari orang yang diduga sebagai pelaku pengeboman. Sebagaimana seperti yang terlihat dalam video barusan.
Kami tidak tahu identitas anak itu karena sedetik kejadian usai, dia melakukan apa yang disebut orang sebagai teleportasi dan menghilang tanpa jejak. Menurut kepolisian setempat, identitas anak itu masih tidak diketahui hingga saat ini.
Pelaku bom sendiri berhasil diamankan tidak lama setelah anak itu menghilang. Menurut laporan yang kami terima baru-baru ini, pelaku adalah seorang anggota dari kelompok separatis penyihir New Light bernama Dinan Abelano. Polisi berpendapat jika pelaku akan langsung dibawa ke penjara Infernum setelah melakukan proses interogasi oleh pihak satuan khusus GPD yang baru saja datang ke lokasi.
Sekian lintas berita hari ini. Saya, Andrea Deega, salam lintas siang."
Saluran televisi seketika berganti dengan kartun animasi anak. Di sofanya, Galih menghela nafas panjang. Hampir dirinya ketahuan oleh awak media. Jika begitu, hidup nyaman yang dia inginkan akan kandas seketika.
Sebenarnya dia terpaksa mengeluarkan kekuatannya. Jika tidak, maka korban yang berjatuhan akan lebih banyak lagi. Benda yang disebut sebagai Bom mana itu bukanlah bom biasa pada umumnya. Benda itu lebih buruk daripada bom buatan manusia. Prinsipnya sama seperti bom biasa, tapi dengan ledakan yang terbilang gila. Jika saja Galih tidak ikut campur dan membiarkan bom itu meledak, Eternia akan menjadi tinggal kenangan. Tidak akan ada yang tersisa dari kota itu selain debu dan pasir halus.
Mata Galih melirik ke arah bungkusan hamburger yang tadi dibelinya. "Haah... aku jadi tidak nafsu makan." Ujarnya sembari beranjak meninggalkan sofa dan berjalan ke arah kulkas.
Tangannya menggenggam pegangan pintu kulkas itu dan membukanya. "Kita lihat... soda, soda, soda, dan beberapa kaleng soda. Ah sial, aku hanya punya soda. Tidak masalah, lagipula aku tidak bisa mati. Apalagi karena kebanyakan soda." Kata Galih santai. Dia mengambil satu kaleng soda cola dan membukanya.
Selagi mulutnya meminum minuman itu, dia kembali berjalan ke arah sofa dan duduk di sana. Tangannya menggapai Smartphone yang tergeletak di meja kecil di depannya dan mulai memainkan benda itu.
Ping!
Suara Smartphone bergema ke penjuru ruangan. Satu pesan muncul pada layar benda itu. Galih yang sedang asik memainkan game harus teralihkan oleh pesan tersebut. Matanya menyipit saat melihat satu nama yang dikenalinya sebagai sahabat dekatnya. Ibu jari Galih menekan pesan itu dan menampilkan isinya secara cepat.
[ Hei, kawan. Aku melihat berita itu di TV. Itu gila, bung! Aku hampir mati menahan nafas karenanya. Apalagi saat aku melihatmu. ]
Galih terdiam sejenak. Lalu tidak lama kemudian dia mulai mengetik. [ Itu bukan aku. ]
Ping!
Suara penanda jika pesan baru datang terdengar. Galih meneguk soda itu lagi, lalu kemudian membuka pesannya.
[ Oh ayolah. Jangan berbohong Galih. Aku tahu itu kau. Tidak ada yang bisa menyerap Bom Mana seperti itu. Bahkan untuk Peculiar Tipe 4. Itu sudah jelas kau. ]
Jari Galih menari di atas layar Smartphone dan mulai mengetik balasan pesan tersebut. [ Lalu kau mau apa? memberitahu semua orang? percayalah mereka tidak akan percaya. ] Dan pesan terkirimkan.
Ping!
[ Hei, bukan bermaksud seperti itu. Hanya terkejut saja. Ini tidak seperti kau yang biasanya. Rela membuang kekuatan seperti tadi demi kejadian sepele. ]
Galih kembali mengetik. [ Jika tidak darurat aku juga tidak mau. Aku tidak tahu jika dia penyihir tipe 3. ]
Ping!
[ Yeah, mereka memang menyusahkan. Kau tahu, karena bisa melakukan sihir hanya dengan kata-kata. ]
Galih menyeruput kaleng soda itu lagi. [ Yeah, menurutku juga begitu. ] Dia lalu bangkit dari sofa itu dan berjalan ke arah balkon apartemennya. Sembari bersandar pada pagar di balkon, Galih kembali membaca pesan temannya yang baru datang.
[ Ada waktu luang? kita bisa mengobrol lebih banyak. ]
Lama Galih menatap pesan itu, sampai akhirnya dia mulai mengetik. [ Tentu. Di mana? ]
Ping!
[ Bagus XD, kita bertemu di McNolan. Pastikan kau datang jam 3 sore nanti. ]
Galih tertawa kecil melihat pesan temannya. [ Kau serius ingin bertemu jam 3? kau lupa soal bom itu? ]
Ping!
[ Ah itu tidak masalah. Kan ada kau. ]
Galih hanya bisa geleng-geleng kepala sembari tersenyum simpul. [ Baiklah aku akan datang. ]
Ping!
[ Oke, sampai ketemu lagi. ]
Setelah itu temannya tak menulis pesan lagi. Galih kembali menyeruput soda terakhirnya. Tangannya melirik jam yang duduk nyaman di pergelangan tangan kanannya. 14.05, itu berarti dia masih punya waktu 1 jam. Tidak masalah untuknya. Jarak lokasi pertemuan dengan apartemennya terbilang dekat. Dia bisa ke sana dalam hitungan menit. Tidak akan sampai memakan waktu lama. Paling lambat mungkin 15 menit. Itu jika dia tidak terlibat masalah seperti saat siang tadi.
Galih lalu berjalan menuju kamarnya bermaksud untuk ganti baju. Namun suara ketukan di pintu membuatnya terhenti sejenak. Pertama dia menghiraukannya. Namun suara ketukan semakin kencang tiap detiknya dan membuat Galih geram. Langkahnya segera berganti cepat dan mulai berjalan menuju pintu masuk. Dia menggenggam knob itu dan memutarnya. Pintu seketika terbuka dan memperlihatkan seorang gadis kecil berpakaian putih lusuh, dengan rambut seputih salju tengah tertidur di depan pintu masuknya. Gadis itu mendengkur pelan dan terlihat sangat damai.
Mata Galih memperhatikan lekat setiap jengkal dari gadis itu. Pakaiannya yang berupa daster panjang putih nampak kotor oleh debu dan tanah. Tubuhnya nampak kurus dengan bekas luka di tangan dan kaki anak itu. Bahkan wajahnya juga tak luput dari bekas luka. Keadaannya semakin diperparah dengan beberapa pengekang rantai yang terpasang padanya. Seperti di kedua lengan, kedua kaki, serta lehernya.
"Jangan... sakit...." Igaunya tiba-tiba.
Galih terdiam lama. Lalu dia kemudian mengangkat tubuh gadis kecil itu dan membawanya masuk ke dalam apartemennya. Galih membaringkan tubuh gadis itu di atas sofa dengan perlahan. Langkahnya dengan cepat bergerak ke arah kulkas dan mengambil satu botol air dingin dari sana. Dia lalu kembali ke tempat gadis itu tertidur atau lebih tepatnya pingsan, dan meminumkan botol air dingin tadi perlahan pada mulut anak itu. Tentunya dengan menggunakan tutup botol tersebut.
Hampir saja jantung Galih copot karena secara tiba-tiba, gadis itu bangkit dan merebut botol air di tangan Galih. Lelaki itu hanya bisa geleng-geleng kepala saat melihat gadis kecil itu meminum dengan sangat ganas. Dia cuma bisa terdiam dan menyaksikan. Seorang gadis kecil bisa meminum satu botol air mineral ukuran besar tanpa jeda sekalipun. Sungguh sesuatu yang tidak bisa dipercaya. Gadis itu pasti sangat haus hingga bisa meminum seperti seekor kuda nil.
"Bagaimana, sudah baikan?" tanya Galih.
Gadis kecil itu menghentikan aktivitas minumnya dan menutupi wajahnya dibalik botol besar tersebut. Dia mengintip dari balik sana dan mengangguk perlahan. Tanpa disadari gadis itu, suara perut yang kelaparan terdengar dari arah perutnya. Dengan cepat dia kembali menutupi wajahnya yang memerah karena malu.
"Kau juga lapar? sebentar." Tangan Galih menggapai bungkusan berisi hamburger yang tak jadi dia makan di atas meja di belakangnya. Galih lalu memberikan bungkusan itu dan membuka isinya. "Ini, makanlah. Masih hangat dan masih baru."
Gadis itu terlihat ragu-ragu menerima pemberian Galih.
"Ayo makanlah. Tidak apa-apa, kau boleh memilikinya. Lagipula aku masih kenyang." Ujar Galih sembari tersenyum. Dia membuka bungkusan yang menutupi makanan itu dan tersembulah sebuah hamburger panas yang lezat. "Ayo ambilah." Bujuknya lagi.
Suara perut yang keroncongan kembali terdengar kala aroma lezat dari hamburger menghampiri hidung gadis itu. Walau masih dalam keadaan ragu-ragu, dia memberanikan diri menggapai hamburger dari tangan Galih dan mulai memakannya dengan lahap. Wajahnya yang terlihat senang menandakan jika makanan itu sangat lezat. Itu sudah pasti. Mana ada yang tidak suka dengan hamburger. Apalagi makanan itu dibeli dengan harga murah.
Galih tersenyum puas. Tapi di samping itu ini menjadi peluang baginya. Melihat mood gadis itu yang semakin baik, dia bisa mulai menggali identitas gadis itu. Siapa dia, darimana dia berasal, dan kenapa dia bisa ada di depan pintu apartemennya. Galih harus tahu itu agar sesuatu yang tidak diinginkan dan merepotkan tidak terjadi. Galih lalu memulainya dengan menanyakan nama gadis itu terlebih dulu.
"Namamu siapa gadis kecil?" Tanyanya lembut.
Gadis itu menelan satu lagi gigitan besar hamburger dan mulai menjawab. "A... aku tidak tahu...."
"Tidak tahu?" Ulang Galih bingung.
Gadis itu hanya mengangguk pelan. "Tapi kata mereka aku biasa dipanggil Ariela."
Galih terpikat pada satu kata yang dia ucapkan. "Mereka? siapa itu mereka?"
Gadis bernama Ariela itu menggeleng. "A... aku tidak tahu...." Katanya lirih.
Galih menghela nafas. Petunjuk tentang anak ini belum cukup. Dia sepertinya mengalami gangguan ingatan. Ini membingungkan. Di satu sisi Galih ingin tahu siapa gadis ini dan kenapa dia datang ke tempatnya. Tapi di sisi lain dia juga tidak bisa memaksakan anak ini.
"Mungkin dengan cara itu." Galih berujar. Dia menempelkan satu tangannya pada dahi si gadis dan mulai memejamkan mata berkonsentrasi.
Ariela hanya kebingungan dengan sikap Galih. Sikap lelaki itu juga sekaligus membuatnya agak takut. "A... apa yang ingin Kakak lakukan...?"
"Tenang, ya. Aku hanya ingin mencari sesuatu." Galih mencoba membaca pikiran anak itu. Dia berkonsentrasi dan berkonsentrasi. Tetapi meski sudah berusaha keras, Galih masih tidak bisa membaca isi pikiran gadis ini. Ada semacam pelindung yang melindungi pikirannya. Dan pelindung ini sangat kompleks. Bahkan Galih yakin jika Peculiar Tipe 4 sekalipun akan kesusahan menjebol pelindung ini. Kemungkinan "mereka" yang disebutkan Ariela sudah menyiapkan hal ini jika sewaktu-waktu Ariela tertangkap. Yah, itu mungkin berguna bagi Peculiar Tipe 4, atau Penyihir bertipe sama. Tapi tidak dihadapan Galih. Pelindung seperti ini, hanyalah mainan untuk anak kecil baginya. Akan tetapi ada satu lagi masalah yang membuat Galih tidak bisa mengakses pikiran Ariela.
Pelindung itu langsung tersambung ke saraf otak Ariela. Itu berarti jika Galih masih tetap berusaha menjebol pelindung itu, maka "pin" pada pelindung akan terlepas dan memicu ledakan kecil yang membuat otak korban meledak. Galih memutuskan untuk melepaskan kekuatannya. Kelihatannya situasi ini tidak mudah. Siapapun "mereka", pastilah anggota dari sebuah organisasi besar. Jika tidak, mereka tidak akan memasang pelindung sekompleks ini. Tapi kenapa Ariela? anak itu hanyalah gadis kecil yang kebingungan. Bahkan dia punya luka untuk membuktikannya. Ini menjadi lebih rumit untuknya. Identitas gadis kecil ini masih samar-samar. Dia harus mencari cara untuk melepaskan pelindung sialan itu tanpa membunuh Ariela jika ingin menggali lebih jauh. Atau bisa saja dia membantu Ariela mengingat ingatannya sedikit demi sedikit.
"Sepertinya ini butuh waktu." Ujarnya.
Galih berdiri dan melihat jam di tangannya yang menunjukkan pukul 14.12 PM. Sudah hampir waktunya. Dia harus bergegas jika ingin sampai di tempat pertemuan tepat waktu. Namun baru dia ingin melangkah menuju kamarnya, tangan kecil gadis itu menarik lengan jaketnya dan menghentikannya.
"Jangan pergi...." Ucapnya lirih. "Me... mereka ada disini, mereka bisa datang kapan saja. Tolong jangan biarkan aku sendirian. Aku tidak ingin kembali ke sana."
Galih kembali tertarik. " "Ke sana"? apa maksudmu dengan "ke sana"?"
"uuuhhh... aku... aku tidak tahu...." Ucapnya bingung.
"Memangnya ada apa di sana? kenapa kau tidak mau kembali?" tanya Galih.
"Me... mereka kejam. Mereka selalu menyakitiku. Mereka memasukkan berbagai hal ke dalam tubuhku dan itu sangat menyakitkan."
Galih mendengarkan sembari duduk di samping gadis itu.
"Jika aku tidak mau menuruti mereka, mereka pasti menyiksaku. Mereka juga melakukan hal-hal lain yang membuatku selalu kesakitan. Pokoknya mereka itu sangat kejam."
"Kenapa mereka berbuat seperti itu padamu?"
"Aku tidak tahu. Setiap kali aku menanyakannya pada mereka, mereka hanya memberikan jawaban yang sama."
"Jawaban apa?"
"Kata mereka, "kau adalah ciptaan terbesar kami. Semua yang kami lakukan padamu hanyalah cara agar kau menjadi yang terkuat dari semua orang yang ada di dunia ini. Mereka yang diberkati energi bernama Mana, adalah sebuah kesalahan yang harus di hilangkan. Dan kau akan membimbing kami menuju masa depan. Masa dimana ras bernama Penyihir musnah dari muka bumi ini.". Begitulah yang mereka katakan." Ungkap gadis itu.
Disampingnya, Galih hanya terdiam mendengar cerita Ariela. Memusnahkan ras Penyihir!? ini gila. Itu bisa menyebabkan perang skala besar. Meskipun Galih tidak yakin apakah Ariela bisa dipercaya atau tidak, tapi mengingat pelindung yang bersarang pada otaknya, dia rasa itu sudah cukup sebagai bukti kuat kenapa Galih harus percaya pada Ariela. Bagaimanapun juga ancaman seperti ini tidak bisa dianggap remeh. Keberadaan Ariela mau tidak mau harus dirahasiakan. Hal ini tidak boleh diketahui oleh siapapun. Terutama oleh ras yang bersangkutan. Kalau mereka tahu jika ada senjata pemusnah yang bisa mengakhiri ras mereka, maka itu sudah cukup untuk memulai perang dunia. Masa-masa seperti ini sangat cocok untuk memicu api dikedua belah pihak. Apalagi fakta banyaknya praktek adu domba yang ingin membuat kedua ras dominan itu mendeklarasikan perang satu sama lain.
Galih tidak akan membiarkan itu. Dia tidak akan membiarkan hidup normal yang dia idamkan hilang begitu saja. Galih harus menyembunyikan Ariela. Dia harus menjaga anak itu agar tidak jatuh ke tangan kedua belah pihak. Entah itu pihak yang berusaha menyulut api, atau pihak yang tengah siap untuk disulut.
"Haah... bisakah aku hidup dengan damai?" keluhnya. Mata Galih lalu melirik Ariela yang sedang memandangnya dengan bingung. "Oke Ariela, untuk sementara kau tinggal denganku sampai aku bisa memahami situasinya."
"Benarkah Ariela boleh tinggal?" Tanyanya.
"Yeah, kau boleh. Tapi hanya sampai orang-orang yang mengejarmu lenyap, setelah itu urusan kita selesai. Kau paham?"
Ariela mengangguk senang.
"Kalau begitu tunggu disini. Aku akan ganti baju dulu. Ada acara yang harus aku datangi."
"A... Ariela boleh ikut...?" Tanya Ariela gugup.
"Tentu saja. Tapi diam dan jangan melakukan hal lain. Aku tidak ingin sesuatu yang merepotkan terjadi." Kata Galih. "Oh ya, kau sepertinya perlu baju baru. Aku rasa ada beberapa di lemari. Sebentar aku ambilkan."
Lelaki itu lalu masuk ke kamarnya. Selang beberapa detik, Galih kembali dengan sebuah baju putih bersih dan celana jeans pendek kecil. "Ini adalah pakaian dan celana milik mendiang adikku. Dia sudah meninggal beberapa tahun lalu karena penyakit. Kurasa dia tidak keberatan jika ini kuberikan padamu." Ujarnya. "Aku akan menaruh pakaian ini di kamar. Pergilah mandi dulu, setelah itu berpakaian. Aku akan menunggumu disini."
Ariela menganggukkan kepala perlahan. Dia berjalan ke arah Galih dan berhenti di hadapannya. Tatapan mata gadis itu menatap Galih ragu.
"Ada apa? aku tidak akan meninggalkanmu. Lagipula ini rumahku, bagaimana bisa aku meninggalkan rumahku sendiri." Kata Galih meyakinkan.
Dengan masih agak ragu-ragu Ariela masuk ke kamar Galih. Sementara Ariela mandi di kamar mandinya, Galih meletakkan pakaian itu di kasurnya dan dia berjalan keluar menuju sofa. Cukup lama Ariela mandi. Sekitar 14 menit berselang, barulah pintu kamar terbuka dan memperlihatkan seorang gadis manis yang cantik dengan pakaian lucu berupa kemeja putih lengan pendek dengan celana jeans ketat biru tua selutut.
"Hei, pakaian itu sangat cocok padamu." Kata Galih senang. "Kau mengingatkanku pada seseorang." Lelaki itu lalu bangkit dan berjalan menghampiri Ariela.
"Baiklah, sekarang giliranku untuk mandi. Kau tunggu di sini sebentar. Aku akan--" Belum sempat Galih menyelesaikan kata-katanya, Ariela tiba-tiba saja memeluknya.
"Hei, ada apa? aku tidak akan lama. Aku hanya---"
"Mereka di sini." Ucap Ariela pelan.
"Huh?!"
"Mereka ada di sini. Mereka ada di depan pintu. Dan sebentar lagi mereka akan menerobos masuk."
"Apa yang kau---"
Benar saja apa yang dikatakan Ariela. Karena tidak berapa lama berselang, sebuah ledakan besar menghancurkan pintu masuk apartemen Galih.
DUAAAAR!!!!
Bersambung....