Malam belumlah larut, suara binatang malam bersahutan dari kejauhan dan suara gemericik air terjun terus terdengar, suara api yang terletak tak jauh dari mereka terus berderak dan cahaya mulai redup karena tidak ada satu pun yang menambahkan kayu bakar ke dalamnya.
Iris hampir tidak bisa memejamkan matanya malam ini, ia tidur di samping Morgan dan Alita tidur di atas pohon jauh dari mereka berdua dengan wujud kelelawarnya, sedangkan Michelle masih terlihat menyedihkan di dalam kurungan akar yang dibuat oleh Iris.
Serigala wanita itu diam-diam merutuk Morgan yang memperlakukanya seperti anak anjing, ia ingin lari tapi tidak berdaya menembus akar sihir yang Iris miliki, alhasil ia membalikkan tubuhnya dan mengubur kepalanya dalam-dalam di antara kedua lututnya.
"Iris," gumam Morgan saat menyadari jika suara berisik yang membuatnya setengah sadar dari tidurnya ini berasal dari penyihir di sebelahnya. "Tidurlah."
Iris menggigit bibirnya, ia meringkuk dan menarik selimut menutupi tubuhnya, pemandangan di atasnya ini adalah langit dengan bulan sabi yang setengahnya tertutup awan. Mereka tidur di reruntuhan rumah yang tadi Morgan hancurkan dengan ekornya.
Morgan tidak merasakan gerakan Iris di sampingnya, ia menyamping dan melihat jika penyihir itu memunggungi dirinya, tangannya terulur menggulung rambut Iris di jarinya.
"Maafkan aku, Iris."
Iris yang tidak tidur itu menoleh ke arah Morgan, matanya bertemu tatap dengan manusia serigala itu.
"Morgan. Kau sudah meminta maaf tadi."
"Aku hari ini menyakitimu." Morgan menyentuh bahu Iris, meski luka itu sudah tidak ada lagi di sana tapi masih segar di ingatannya bagaimana darah itu mengucur dengan deras di sana.
"Morgan, tidak perlu menyesali apa yang terjadi." Iris memegang tangan Morgan, melihat mata laki-laki itu hatinya menjadi luluh, ia mungkin tidak akan bisa membenci apa yang akan dilakukannya nanti.
"Tapi tetap saja," lanjut Morgan lagi, tangannya bergerak menggenggam tangan Iris. "Aku bahkan tidak bisa menghentikan diriku sendiri untuk tidak menyakitimu."
Morgan merasakan penyesalan dalam hatinya.
Serigala besar yang ada di dalam tubuhnya sudah lama tidak muncul saat ia berada di sekitar Iris, ia merasa jika pengendalian dirinya sudah bagus, tapi ternyata ia salah.
Morgan tidak tahu mengapa, mungkin Iris memiliki sesuatu yang membuatnya merasa nyaman dan wujud serigalanya menjadi normal kembali.
"Morgan, tidak apa-apa." Iris tersenyum dengan lembut. Ia mengusap lengan laki-lak itu, seolah ia sedang menenangkan seorang bayi besar. "Aku tidak akan membencimu karena hal sepele seperti ini."
Manusia serigala itu menganggukkan kepalanya dengan pelan, ia mengulurkan tangannya dan menarik Iris mendekat ke arahnya, ia memeluknya dengan erat.
"Tenanglah, hal seperti itu tidak akan terjadi lagi di masa depan."
Morgan benci mengakuinya, tapi semua hal yang pernah ia rasakan pada Giselle seakan tidak ada artinya dibandingkan dengan perasaannya pada Iris.
Semua yang terjadi hari ini, bagaimana Michelle menggunakan dirinya dan memanfaatkan bayang-bayang wajah Giselle padanya untuk menyerang Iris seakan memadamkan semua perasaan Morgan pada Giselle.
Morgan sadar, Giselle sudah tiada, semua kenangan yang ia miliki itu hanyalah kenangan, Giselle tidak akan pernah muncul dan berdiri di hadapannya lagi. Sebaliknya Iris masih berdiri di hadapannya, tersenyum padanya dan memeluknya.
Morgan memejamkan matanya, ia diam-diam mendaratkan bibirnya ke rambut Iris.
"Kau harus menjadi Lunaku," katanya kemudian.
Iris mendongak menatap Morgan, ia tidak menyangka jika Morgan masih mengingat janjinya dan tetap bersikukuh menjadikan dirinya Luna miliknya. Ia membuka mulutnya ingin protes tapi Morgan langsung menyentuh bibirnya dan mencubitnya.
"Aku tidak menerima bantahan, oke? Sekarang tidurlah." Morgan menarik selimut menutupi mereka berdua, angin malam bertiup ke arah mereka. "Empat jam lagi kita harus menyusul Thomas."
Morgan egois, itu memang benar. Miliknya adalah miliknya, Iris harus menjadi Lunanya cepat atau lambat, ia akan memastikan itu.
Ada pun bocah itu, Morgan hanya mengikuti Iris, jika ia tidak selamat maka Morgan tidak akan menyesalinya, cukup hanya ia dan Iris maka semuanya akan baik-baik saja.
Terlalu merepotkan jika mereka harus mengurus Thomas sepanjang hidup mereka.
Iris menganggukkan kepalanya dengan patuh, ia berbaring dengan nyaman di samping Morgan. Ia menutup kepalanya dengan selimut, membiarkan Morgan yang memeluknya erat.
Malam yang panjang itu masih berlalu, di sisi lain Litzy yang berwujud seekor gagak itu mendarat di sebuah ranting pohon yang sudah mati ia melihat sebuah bangunan berwarna putih besar yang terbuat dari beton, di sebelahnya terdapat kandang kuda dan beberapa perkakas dibiarkan tergeletak di sana, asap mengepul dari dalam rumah dan dari balik jendelanya cahaya lilin bersinar dengan samar, tak jauh dari bangunan itu ada sebuah pagar tanaman yang memberi pemisah antara daerah Selatan dan daerah Barat.
Di halaman beberapa orang yang masih memakai baju besi mereka tengah bersenda gurau, ada sebuah api unggun di sana berisi sebuah hewan yang dipanggang di atasnya, seorang wanita yang masih memakai baju besi itu terlihat telaten membolak-balik dagingnya.
"Kalian benar-benar tidak akan membawanya malam ini?" tanya Eros dengan kening yang berkerut. Ia bersandar di dinding rumah dan menampakkan wajah cemberutnya pada seorang Orc, ketua pemimpin perbatasan ini.
Eros ingin kembali dan melihat Michelle, ia merasakan sesak di dadanya, sepertinya Lunanya tidak sedang baik-baik saja menangani Morgan.
"Tidak bisa," sahut Orc itu dengan acuh, ia memakai rompi besi dan sebuah tombak ia pegang di tangannya kanannya. "Dalam situasi seperti ini kita bahkan tidak tahu mana lawan mana kawan, semuanya sedang tidak stabil terutama di ibukota. Saat ini orang-orang yang ingin memberontak pada Ratu Valerie mulai bermunculan."
Eros menghela napas, ia sebenarnya tidak ingin ikut ke ibukota, tapi mengingat bayarannya belum dilunasi mau tidak mau ia harus bersabar malam ini.
"Dia masih hidup bukan?" Seorang Elf dengan rambut panjang mengintip dari sebuah jendela yang diberi teralis besi, di punggungnya masih tersampir sebuah panah.
Di dalam ruangan sana, sesosok anak berambut putih meringkuk di sudut, tubuhnya terlilit rantai dan ia diam tidak bergerak.
"Tentu saja, aku tidak melakukan sesuatu yang akan merugikan diriku sendiri." Eros mendengkus dan ikut melihat ke dalam jendela. "Pangeran kalian itu begitu diam dan lemah, dia mungkin sudah tahu kalau hidupnya tidak akan lama lagi."
Eros tidak berbohong, Thomas bahkan tidak mengeluarkan sedikit pun teriakannya ketika ia mencambuk dan mengikat seluruh tubuhnya dengan rantai, laki-laki itu hanya diam dan pandangan matanya kosong, ia bahkan tidak melawan saat Eros menyeretnya menuju pos para prajurit perbatasan.
Thomas seperti orang tanpa jiwa, Eros menebak mungkin ia terguncang karena beberapa hal, tapi itu tidak menjadi persoalan bagi dirinya, ia hanya perlu menukar Thomas pada para prajurit perbatasan dan mendapatkan imbalan.
Mereka terus berbincang hingga mereka tidak menyadari jika seseorang masuk ke dalam dengan kakinya yang ringan dan mengguncangkan tubuh Thomas dengan kakinya. Bocah itu mengerutkan keningnya, tapi enggan membuka matanya untuk melihat siapa yang datang.
"Yang Mulia? Apakah anda suka seperti ini?" tanya sosok itu lagi, suaranya terdengar lembut dan tidak asing, ia berjongkok dan berdecak pelan.
"Berhentilah berpura-pura," lanjut suara lembut itu lagi. Jari-jarinya menusuk punggung Thomas, tidak keras tapi cukup untuk membuat seorang anak meringis. "Yang Mulia benar-benar terlihat menyedihkan."
Thomas membuka matanya, ia tidak dapat bergerak karena rantai ini masih melilit erat tubuhnya, ia ingin sekali berbalik dan melihat siapa orang yang sedang berjongkok di belakangnya ini.
Semua luka dan kesakitannya ini membuat Thomas merasakan harga dirinya terasa diinjak-injak, ia masih ingat dengan jelas bagaimana manusia serigala itu menatapnya dengan pandangan merendahkan dan menyeretnya sepanjang jalan menuju kemari, ia merasa sangat sengsara.
Jari-jari itu berhenti menusuk dan naik ke lehernya, Thomas dapat merasakan kuku yang panjang menusuk lehernya, seakan ingin mencengkeramnya.
"Apa saya perlu membantu anda?" tanyanya lagi. "Untuk membalaskan semua rasa sakit dan penghinaan ini."
Suara lembut ini benar-benar tidak asing, Thomas pernah mendengarnya di pemukiman manusia serigala, orang ini adalah orang yang juga menemuinya dan memaksanya minum!
"Siapa kau sebenarnya?"
Orang itu kembali berdecak pelan. "Yang Mulia tidak perlu tahu siapa saya, sekarang mari saya membantu anda."
Setelah berkata itu Thomas tiba-tiba merasakan pandangannya menjadi gelap dan telinganya berdengung.