Iris merasakan rasa sakit yang semakin menjadi-jadi di dadanya, akarnya runtuh ke tanah, Alita menoleh dengan panik, ia mendapati sang penyihir tengah berlutut memegangi dadanya sambil meringis kesakitan.
"Iris!"
Alita mendengus, sang penyihir tidak bisa diandalkan sekarang, ia melihat Andreas yang lagi-lagi mengayunkan pedangnya ke arah mereka.
Gadis vampir itu mengusak rambutnya kasar, ia mendelik, tubuhnya perlahan-lahan diselimuti bayangan hitam kekuningan, ia berubah menjadi kelelawar raksasa, melayang ke atas langit dan mengepakkan sayapnya, menukik ke arah saudara tirinya.
Iris mengerang di tanah, rasa sakit semakin menyebar ke seluruh tubuhnya, panas membara, tangannya mencakar tanah, menggores kukunya hingga berdarah-darah, ia meringkuk penuh kesakitan.
Alita tidak punya waktu meladeni kesakitan Iris. Andreas tidak memberinya waktu untuk berhenti, saudara tirinya itu terus mengayunkan pedang yang berisi kekuatan penyihir putih, sekali dua kali sayapnya tergores, membuat mati rasa dalam sekejap.
"Adikku tersayang, kenapa kau tidak membantu kakakmu ini saja? Kita bersama-sama memenggal kepala Thomas." Andreas berceloteh sambil terbahak-bahak, matanya yang bersinar penuh kegilaan, bajunya penuh dengan noda darah kehitaman milik Alita.
Alita menghindari tikaman pedang Andreas, ia terlambat, sayapnya ditusuk dengan kasar oleh Andreas. Gadis vampir itu jatuh ke tanah, ia kembali menjadi sosok gadis vampir yang kepalanya terkulai tak berdaya.
Sayapnya perlahan menghilang berubah menjadi sepasang tangan yang ditusuk oleh Andreas.
"Aku tidak akan membantumu," ujar Alita dengan suara bergetar, ia tidak mampu lagi menggerakkan seujung jaripun, seluruh tenaganya habis.
Andreas terkekeh pelan, mencabut tikaman pedangnya. "Aku berubah pikiran, mengakhiri hidupmu sekarang akan membuat ibu senang."
Saudara tirinya itu mengangkat pedangnya tinggi-tinggi, seringai di wajahnya semakin lebar penuh nafsu membunuh yang menggila, Alita hanya memejamkan matanya dengan pasrah.
"ARGH!!"
Iris menjerit nyaring, Andreas mengerutkan keningnya dan menoleh ke arah Iris, Alita menolehkan kepalanya dengan pelan untuk melihat keadaan Iris.
Penyihir itu kembali menjerit nyaring, tangannya menjambak rambutnya sendiri dengan kasar, ia berlutut dan menghantamkan kepalanya sendiri ke tanah berulang-ulang.
"Dia sudah gila," hina Andreas dengan senyum lebar, seolah mendapat tontonan menarik, ia menarik pedangnya dari Alita, menuju ke arah Iris.
Morgan mendengar jeritan Iris dari kejauhan, ia hendak menyusul Lunanya, namun Kyle menahannya dengan kedua sayap baja itu, sang serigala menggeram dan menggigit sayap Harpy itu dengan brutal.
Iris bertingkah layaknya orang gila, ia masih menjerit-jerit seakan-akan kehilangan kesadaran. Kepalanya penuh darah dan tanah, rambutnya yang panjang itu menyebar di tanah, diinjak oleh Andreas.
"Wah, sangat berisik, kamu akan kupenggal terlebih dahulu."
Andreas mengayunkan pedangnya ke kepala Iris, Alita membulatkan matanya, suaranya parau itu berteriak. "Iris!"
"Mau memenggal kepalaku?" Iris mendongak dengan wajah yang penuh darah, ia tertawa dan menangkap pedang Andreas.
"Apa … Apa yang kau lakukan?" Andreas memekik, pedang yang berisi kekuatan penyihir putih itu tiba-tiba meleleh, jatuh ke tanah menyisakan gagangnya.
Tangan Iris tidak berdarah, tapi memunculkan asap berwarna merah pekat yang sangat panas, Andreas membeku.
"Kau yang akan kupenggal lebih dulu." Iris menyeringai lebar dibalik wajahnya yang berlumuran darah, rambutnya mengambang di udara, diliputi dengan asap merah.
"Siapa kau?!" Andreas langsung mundur melihat penampilan mengerikan Iris, ia tersandung kakinya sendiri dan jatuh ke tanah dengan mata terbelalak.
Iris terkekeh, hawa disekitar perlahan-lahan naik, terasa panas menyengat. Alita menganga lebar, terlalu kaget dengan Iris.
"BLAR!"
Asap itu menghantam tanah dan menghasilan suara dentuman keras, Iris menggumamkan sesuatu. Suara Iris menjadi lebih dingin dan terdengar jahat, ia mengangkat tangannya ke arah Andreas, laki-laki itu melompat dengan penuh ketakutan.
Alita melihat tanah yang terkena asap merah itu, berlubang besar dan meninggalkan hawa panas. Ia gemetar, rasa takut tiba-tiba menjalari tubuhnya.
"Pengganggu …." Iris kembali bergumam, ia menyatukan kedua telapak tangannya, asap merah itu semakin membesar, membentuk gulungan kabut yang sangat panas, semakin lama semakin besar dan melingkupi seluruh area, Andreas, Alita, Morgan, Kyle dan para Harpy mematung menatap sekitar.
Mereka bersama Iris terperangkap dalam gulungan kabut itu, Alita menutup matanya, ketika ia membukanya lagi, ia melihat cahaya yang menyilaukan diikuti dengan suara ledakan yang sangat nyaring.
Telinganya berdengung, pandangannya memburam, ia tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya. Pandangan terakhir yang samar-samar dapat ia lihat adalah kaki panjang Iris melangkah dengan pelan melewati tubuhnya yang terkulai di tanah dalam diam.
Lalu setelah itu hening, ia tidak melihat apa-apa lagi, sunyi dan sepi, seolah-olah pertarungan telah usai.
***
Thomas mengedipkan matanya, di depannya sebuah rambut putih panjang menjuntai melewati wajahnya, bahunya yang kecil itu tiba-tiba diremas dengan erat, kuku-kuku yang tumpul itu menusuk kulitnya, Thomas mendongak.
Di belakangnya seorang laki-laki tinggi berambut putih panjang, ia memakai baju jubah putih. Raut wajahnya terlihat tidak bersahabat, mulutnya terkatup dengan rapat.
Dia penyihir putih.
"Anak kelinciku sudah pergi terlalu jauh …." Suara dingin keluar dari mulutnya, matanya yang putih itu terlihat kosong dan tidak memiliki cahaya, berkedip dengan lambat.
"Aku …." Thomas hendak membuka mulutnya lagi, tubuhnya kaku, berdiri dengan kedua kakinya yang membeku.
Ia tidak tahu apa yang terjadi, beberapa detik yang lalu ia merasakan tubuhnya terhempas dari kuda, jatuh berdebam ke tanah, namun ketika ia membuka matanya lagi, ia sudah berdiri pinggir laut yang gelap, ombak berdebur di bawah kakinya, air laut yang dingin itu menerpa kakinya hingga ke lututnya.
"Aku penasaran," lanjut Penyihir Putih itu dengan mata memicing, Thomas mendongak dengan perlahan, mata mereka berdua bertemu.
Bibir penyihir agung itu terangkat, membentuk seringai tipis.
"JLEB!"
Thomas membelalakkan matanya, sebuah pedang menusuk tepat di jantungnya, ia terbatuk mengeluarkan darah segar.
Padahal kedua tangan sang penyihir itu masih berada di bahunya, mencegahnya tidak bergerak. Tetesan darah jatuh mengenai ombak yang berdebur di bawah kakinya, rasa sakit dan ngilu berkumpul menjadi satu, bocah itu terbatuk lagi.
"Khek!" Pedang itu ditarik dengan kasar, Thomas jatuh ke atas pasir laut, ia memengangi dadanya yang berlubang, aroma amis darah menusuk ke hidungnya.
"Bersikap baiklah, aku hanya ingin kepalamu." Penyihir putih menjambak rambut Thomas, pedang yang berlumuran darah itu diletakkan di leher bocah itu, ia menggoresnya sedikit, membuat darah mengucur dari sana.
Thomas gemetar hebat, tubuh bagian bawahnya terendam air laut, rasa dingin yang membuatnya membeku, darahnya terus mengucur dengan deras, bercampur dengan air laut, menghitam.
Pedang itu berayun, siap memenggal kepala Thomas, bocah itu merasakan waktu bergerak lambat seketika, matanya terbuka lebar, tetesan darah bercampur air laut jatuh merembes membasahi bajunya.
"Apa kau punya kata-kata terakhir?" Penyihir putih membungkuk, bersuara tepat di telinga bocah itu dengan setengah berbisik.
Thomas mengatupkan bibirnya yang sudah berlumur darah, matanya menatap nyalang sang penyihir agung, ia meludah dan mengenai wajah laki-laki itu.
"Aku akan membunuhmu," ucap Thomas sambil terkekeh, ia lalu terbatuk lagi.
Penyihir Putih tersenyum namun sedetik kemudian wajahnya menggelap, pedang dileher Thomas bergerak, ingin memotong kepalanya.
"Aku yang akan membunuhmu!"
Sebuah bayangan merah muncul dan menyerang Penyihir Putih, suara air bergejolak, terpecah belah, sang penyihir agung itu menoleh dinding putih transparan melindunginya dari serangan Iris.
Mata Iris menyala semerah darah, kedua tangannya diliputi dengan asap berwarna merah, terlihat panas dan membara. Ia terlihat seperti bukan Iris, seperti seorang monster yang haus darah.
"Miguel, kita bertemu lagi."