Morgan sengaja menjauhkan Thomas dari serigala putih yang ada di depannya ini, manusia itu terlalu lemah, terlebih lagi ia tidak ingin Thomas tahu masalah pribadinya.
Mereka dalam sekejap berada di tempat yang cukup jauh, Morgan kembali berubah ke wujud manusianya diikuti dengan serigala putih itu.
Seorang wanita cantik dengan rambut sebahu berdiri, kulitnya kuning langsat, matanya kemerahan, seperti mata serigalanya menatap Morgan dengan wajah datar.
"Morgan, aku menemukanmu."
"Giselle," gumam Morgan dengan suara lirih, ia mendekat dengan cepat dan menyentuh wajah wanita itu, air matanya mengalir turun tanpa bisa dicegah.
Wanita itu memegang tangan Morgan, ia menggeleng pelan dengan desahan napas berat.
"Aku Michelle."
Morgan menautkan alisnya, ia tidak menghiraukan tangan wanita itu dan terus menyentuhnya. Wanita itu tidak menolah sentuhan tangan Morgan, sebaliknya ia mengusap air mata yang membasahi pipi laki-laki itu dengan punggung tangannya.
"Aku Michelle," ulangnya lagi.
Morgan terkekeh dengan parau, ia menggelengkan kepalanya dan menarik tubuh wanita itu ke dalam pelukannya, ia menangis tergugu.
"Maafkan aku … Giselle … maafkan aku ….'
Michelle terdiam, memejamkan matanya dalam pelukan Morgan, tangannya merengkuh pinggang laki-laki itu, balas memeluk dengan erat.
Giselle adalah saudara kembar Michelle, ia juga merupakan Luna milik Morgan. Michelle sudah lama meninggalkan packnya untuk mengembara setiap pelosok kerajaan Megalima, hatinya hancur ketika mengetahui packnya dibantai dalam semalam.
Semuanya tewas, termasuk saudara kembarnya. Hanya Morgan yang hidup, dijadikan kambing hitam dari pack serigala yang lain. Michelle bersyukur ia dapat bertemu dengan Morgan, satu-satunya keluarga dari packnya yang tersisa.
Ia tahu rasa cinta Morgan pada Giselle teramat dalam, semua orang di pack pun tahu seperti apa itu.
"Giselle, kau masih hidup." Morgan terus bergumam dan mengusap-usap kepala Michelle dengan pelan, laki-laki itu masih menganggap Michelle adalah Giselle.
Wajah Michelle dan Giselle memang sangat mirip, bagai pinang dibelah dua, andai saja Michelle tetap di packnya maka tidak ada satu orang pun yang dapat membedakan mereka, tak terkecuali Morgan.
"Morgan, dengar. Aku Michelle, bukan Giselle." Wanita itu mendorong Morgan dengan pelan, ia menangkup pipinya yang sudah basah karena air mata.
Michelle berusaha sabar menghadapi Morgan.
Morgan menggeleng, ia sebenarnya tahu yang ada di depannya ini adalah Michelle, bukan Lunanya, Giselle. Tapi ia tidak bisa menghilangkan bayang-bayang Giselle dalam benaknya, semuanya terlalu sama, mata yang Michelle miliki, bibir kecilnya dan rambutnya yang halus, bahkan dalam wujud serigalanya, ia terlihat seperti Giselle.
Hati Morgan berada diantara sedih dan bahagia, ia sedih karena tahu kenyataan yang sebenarnya, ia bahagia karena ia dapat melihat lagi wajah yang sama dimiliki oleh Lunanya.
Giselle tewas di malam pembantaian itu oleh pack RedMoon, Lunanya itu tewas di depannya dengan mengerikan, Morgan bahkan masih ingat darah yang menodai baju putih milik Giselle, ia juga mendengar teriakan pilu Lunanya itu di saat-saat terakhir.
Morgan tidak sanggup dan ia tidak bisa menerima kematian mengerikan Giselle. Rasanya ia ingin ikut mati bersamanya di malam itu.
"Giselle, maaf. Maaf karena aku tidak menyelamatkanmu …."
Morgan membenamkan kepalanya di bahu Michelle, Manusia serigala itu menangis tersedu-sedu, kedua tangannya melingkari pinggang Michelle dengan erat.
Michelle mendengus, ia tidak bisa berkata apa-apa lagi, ia tahu. Morgan pasti terguncang karena melihat sosok yang mirip dengan Lunanya, tapi bukan salah Michelle memiliki wajah yang sama persis dengan Giselle, mereka kembar, tidak ada yang bisa mengingkari fakta itu.
"Giselle …."
Michelle mendorong Morgan dengan jengah, ia menampar laki-laki itu dengan keras.
Morgan membelalakkan matanya dengan tidak percaya, ia melotot dan memandangi Michelle. "Giselle kenapa kamu menamparku?"
Michelle berdecak, ia tidak bisa membiarkan Morgan terus menerus berada dalam ilusi yang ia ciptakan sendiri, tangannya dengan keras menampar pipi Morgan.
"Sadarlah! Aku Michelle!"
Morgan mendongak dan memegangi pipinya yang kebas, warna merah berbentuk telapak tangan tercetak jelas di pipinya, ia meringis.
"Michelle?" Tanya Morgan dengan suara bingung, ia menatap wanita di depannya itu dengan sedih. "Maafkan aku."
Michelle mendengus, ia duduk lagi dan menepuk-nepuk bahunya. "Kau bisa menangis sesukamu di bahuku hari ini."
Morgan menunduk dalam, merasa malu dengan sikapnya tadi, ia terkekeh pelan. "Tidak."
Michelle menghela napas panjang, ia menyandarkan tubuhnya ke pohon, menatap langit biru tanpa awan, daun-daun pohon yang ia sandari bergoyang tertiup angin, bayangan pohon melindungi mereka dari panas yang terik.
"Pack kita telah dibantai, apa yang kau lakukan berikutnya?"
Morgan menoleh ke arah Michelle, wanita itu pasti sudah mendengar jika ia membuat kekacauan bersama seorang penyihir di pack Redmoon dan telah membunuh Alphanya.
"Aku tidak tahu." Morgan meluruskan kakinya, ia memejamkan matanya dengan pelan.
Ia tidak punya rencana setelah berhasil mengalahkan Alpha dari Redmoon, ia mengikuti Iris karena tertarik dengan bau penyihir itu dan berniat menemukan keberadaan Michelle.
Dan sekarang ia sudah bertemu dengan kembaran Lunanya, Michelle. Apa yang harus ia lakukan? Morgan bingung.
Michelle melihat ekspresi wajah Morgan yang terlihat sedang berpikir keras, ia mendesah kasar.
"Kita harus membalaskan dendam pack kita."
Morgan menoleh dengan bingung, Alpha sudah mati, apa mereka harus membantai pack Redmmoon juga? Mustahil kalau hanya dilakukan berdua bersama Michelle.
Mungkin kalau menggunakan kekuatan Iris dan Alita, bisa.
"Kita akan membantai keluarga kerajaan," ucap Michelle dengan suara dingin menusuk, ia menatap Morgan dengan wajah datarnya. "Mereka yang memerintahkan Alpha untuk membantai pack kita, mereka dalang yang sebenarnya. Mereka harus merasakan apa yang kita rasakan, rasa sakit dan darah."
Morgan tertegun, ia tidak pernah berpikir untuk membantai keluarga kerajaan, pertahan mereka terlalu kuat, manusia serigala biasa seperti dia tidak akan mampu menyentuh mereka bahkan seujung jaripun, bahkan Andreas yang seorang pangeran saja, ia tidak bisa membunuhnya karena ia dilindungi oleh para Harpy.
"Michelle, jangan bercanda. Kita tidak punya kekuatan sebesar itu melakukannya."
Michelle terkekeh dengan wajahnya datarnya, ia menyentuh rahang tegas Morgan, lalu menyentuh leher laki-laki itu.
"Kata siapa membunuh anak kecil itu harus dengan kekuatan besar? Bocah yang datang bersamamu tadi, salah satu keluarga kerajaan bukan?"
Mata Morgan membulat, ia menelan ludah dengan kasar, ia tidak menyangka jika Michelle mempunyai mata yang tajam untuk mengenali Thomas.
"Dia memang seorang pangeran, tapi … tapi dia terbuang dari tahta," kata Morgan sambil berdiri, ia tiba-tiba merasa khawatir dengan keadaan Thomas yang ia tinggal begitu saja di tengah hutan.
"Michelle, jangan bilang kau sebenarnya menemuiku dengan pasangan jiwamu?"
Michelle tersenyum kecil, angin berhembus kencang di sekitar mereka, menerbangkan daun-daun dan debu.
"Nah, kau tahu."