Chereads / Xaina yang Manis / Chapter 8 - Aku tidak apa-apa

Chapter 8 - Aku tidak apa-apa

" Rheja jangan bercanda! " Ujar Diva Akari sengaja mengatakan itu, untuk memastikan dengan wajah penuh berharap akan mendapatkan tawa atau mendapatkan pengakuan dari Rheja. Bahwa, dia mengatakannya hanya untuk mengerjainya saja.

Rheja menatapnya sekilas, lalu menjawabnya dengan kedikan bahu " Kali ini aku serius, dia memang agak pendiam orangnya. Jadi, wajarlah dia sedikit berbicara " Tutur Rheja, sekaligus mengatakan karakter Xaina dan langsung membuat raut Diva Akari menggelap.

Harapan dan angan-angannya untuk menjadi Nyonya Dherja pupus sudah. Saat ini, Ia merasa sangat marah dan sedih juga kecewa menjadi satu dalam dirinya.

Disaat yang sama, Gavin datang menghampiri mereka yang tengah tegang. Lebih tepatnya, Diva Akari.

Diva Akari langsung berhambur kepelukan Gavin dengan manja, yang disertai raut sedih dan air matanya sudah berlinang membasahi pipinya yang tertutupi puluhan lapis make-up.

Rheja yang melihat itu segera memalingkan wajahnya kearah lain, karena jijik dengan sikap manja wanita itu.

Entah kenapa, Ia sangat tidak menyukai wanita penuh kepalsuan ini. Ia juga kurang tahu pasti, alasannya kenapa dia tidak menyukai wanita ini.

" Hey Sayang, kenapa kamu menangis hah? Apa sikunyuk Rheja mengganggumu lagi? " Tanya Gavin dengan romantisnya, sembari membelai rambutnya sebelum melirik Rheja dengan tatapan tajam.

" Kamu jujur padaku! Apa benar kamu sudah menikah dengan wanita lain selain aku? " Tanyanya dengan nada menuntut minta penjelasan, yang diiringi derai air mata.

Gavin langsung mengalihkan pandangannya kepada Rheja, dengan tatapan yang lebih tajam dari sebelumnya. Rheja hanya sedikit memiringkan kepala bersamaan dengan kedikan bahu acuh. Seolah ia tak tahu apa-apa.

" Sayang dengarkan aku! Aku menikahinya karena perjodohan bukan atas dasar cinta. Orang yang aku cinta hanya kamu seorang! Jadi, kamu jangan khawatir karena dia tidak ada dalam hatiku " Gavin berusaha menyakinkan Diva Akari, sembari memegang kedua bahu wanita yang sangat dicintainya itu dengan yakin.

Disatu sisi, Ia merasa bersalah pada gadis itu karena telah menikahi orang lain selain wanita itu. Namun, disisi lain dia merasa keputusannya untuk menikahi Xaina karena tidak ingin semua fasilitas keluarga diambil itu adalah benar. Karena, hasilnya juga akan Ia bagi dengan gadis itu. Jika pada akhirnya keluarganya menyerahkan semua harta kekayaan mereka padanya dan pada akhirnya juga Ia akan menikahi Diva Akari.

Diva Akari menatap Gavin dengan berderai air matanya, yang juga menatapnya dengan penuh kasih itu dengan tatapan menyelidiki " Benarkah? "

" Percaya padaku! " Tegas Gavin, kedua tangannya sudah beralih menangkup kedua pipi gadis itu dengan mata dilepas dari wajah sedih gadis itu

Rheja yang merasa jadi nyamuk, segera pergi dari sana dan kakinya membawa kedalam kamar Xaina. Kamar gadis itu tidak tertutup dengan rapat sehingga Rheja dapat melihat apa yang sedang gadis itu lakukan.

Gadis itu, tengah asyik melukis dengan ditemani beberapa cemilan dan buah-buahan.

Sekilas, Ia tampak tidak memiliki suatu beban apapun. Tapi, jika diperhatikan secara sekasama gadis tampak sangat tertekan.

" Boleh aku masuk? " Tanya Rheja dari ambang pintu. Xaina mendongak dan menoleh

" Hmm " Jawab Xaina dengan gumaman kecilnya, lalu kembali lagi pada lukisannya yang tengah melukis pemandangan yang sepertinya tengah mendung.

Rheja menghampirinya lalu ikut menarik kursi lain yang ada disana dan duduk disamping Xaina. Rheja melihat lukisan yang gadis itu lukis, lalu bergantian melihat ekspresi wajah pada saat itu. " Apa kakak Ipar sedang dalam suasana hati yang buruk? " Tanyanya kemudian

" Lumayan " Sahut Xaina samar, lalu tangannya mengambil sebutir buah anggur untuk dimakannya.

" Lumayan? " Ulang Rheja dengan heran. Xaina meliriknya sekilas lalu mengalihkan tatapannya keluar jendela.

" Tidak " Sahutnya kemudian dengan sebuah senyuman simpul. Ia kembali melanjutkan untuk melukis lagi yang sempat tertunda. Seolah-olah, Ia tidak ada sesuatu yang terjadi padanya.

" Kakak Ipar tahu? Dibawah ada kekasih suamimu " Ujar Rheja sengaja memberitahu Xaina untuk mengetahui reaksinya.

Xaina, kembali meliriknya sekilas bergantian dengan kuas yang sedang dipegangnya. " Ya, aku tahu. Bahkan, dia mengira aku pelayan disini " Jawabnya ringan seolah tanpa beban.

Disisi lain, Rheja sedikit tertegun. Karena, bisa mendengar secara langsung gadis yang dianggap gagu itu berbicara panjang dengan lancar. Walaupun, Ia sudah mengiranya dari awal, bahwa gadis ini normal. Tapi, setidaknya Ia mengira akan tahu setelah lama. Tapi? Sudahlah, Ia kembali menata rautnya menjadi normal kembali.

" Kakak Ipar, kamu jangan dimasukan kehati ucapannya itu. Dia memang seperti itu orangnya, Arogan gak jelas " Ujar Rheja dengan nada menenangkan. Ia takut, Xaina marah atau kesal.

" Haha, Kamu tidak perlu menenangkan aku. Aku tidak apa-apa " Tutur Xaina dengan tawa kecilnya, Ia melirik Rheja dengan tatapan lucu.

" Kamu tidak marah? " Tanya Rheja sedikit tertegun

" Tenang saja, aku bukan orang yang mudah marah " Jawab Xaina dengan nada meyakinkan. Seulas senyuman terbit menghiasi parasnya yang manis

Lagi-lagi, Rheja dibuat tertegun dan kebingungan dengan jawaban gadis ini. Ia merasa aneh, melihat seorang wanita yang happy-happy aja saat dirinya dikira pelayan oleh kekasih suaminya, yang jelas bisa dibilang selingkuhan suaminya itu.

Dan, ia juga tahu sendiri bagaimana Diva Akari berkata kasar pada gadis ini. Karena, saat itu dia juga ada disana.

" Ya, aku salut akan hal itu. Tapi, kamu tahu? Suamimu tengah bermesra-mesraan dengannya dan dia tengah membicarakanmu dibawah sana " Kata Rheja dengan memanas-manasi Xaina. Berharap, gadis itu marah atau bagimana.

Sebenarnya, Ia tidak punya maksud apa-apa hanya saja ingin melihat bagaimana gadis ini marah. Tapi, respon gadis itu tidak sesuai harapannya.

" Biarin aja, lagi pulakan itu urusan mereka dan soal tengah membicarakan aku. Aku juga tidak keberatan, mungkin itu cara mereka untuk menyanjungku " Responnya dengan tanpa beban.

Rheja, hanya bisa menggelengkan kepala mendengar respon gadis itu. Ia merasa gadis ini tidak normal atau lebih tepatnya tipikal orang ceria. Tapi, disatu sisi gadis ini jarang bicara. Bukan jarang lagi, tepatnya hemat bicara.