"Biarin aja, lagi pulakan itu urusan mereka dan soal tengah membicarakan aku. Aku juga tidak keberatan, mungkin itu cara mereka untuk menyanjungku" Responnya dengan tanpa beban.
Rheja, hanya bisa menggelengkan kepala mendengar respon gadis itu. Ia merasa gadis ini tidak normal atau lebih tepatnya tipikal orang ceria. Tapi, disatu sisi gadis ini jarang bicara. Bukan jarang lagi, tepatnya hemat bicara. Namun, kali ini gadis itu berbeda.
"Oh ya, sekarang kamu lagi sibuk?" Sambung Xaina bertanya, mengejutkan Rheja yang tengah melamun.
"Ah, tidak." Sahutnya dengan sedikit terkejut, lalu balik tanya "Ada apa?"
"Sebentar lagi, tengah hari." Tutur Xaina setengah bergumam, Ia melirik jam di dinding kamarnya. Ia kembali, mengalihkan perhatiannya pada Rheja "Kamu temani aku makan di luar. Aku bosan pergi bersama Jidda terus" Ujarnya to the point dengan raut tidak menerima bantahan.
"Ya kalau begitu, kakak iparkan bisa mengajak Gavin" Tawar Rheja mengusulkan sembari sedikit menaikan alisnya. Biar bagaimanapun, Ia merasa tidak enak jika harus makan berdua bersama istri orang.
"Dia membosankan dan pemarah. Aku tidak suka" Jawab Xaina datar, lalu berdiri dari duduknya. Ia sudah siap untuk berangkat. Kemudian, Ia berjalan kearah lemarinya untuk mengambil tas
"Tapi, Dia salah satu pria idaman para kaum hawa Loh" Kata Rheja dengan antusiasme, Ia menatap belakang gadis itu yang tengah memasukan ponsel dan beberapa lembar uang tunai pecahan seratus ribu rupiah kedalam tasnya.
"Sayangnya aku tidak masuk kategori itu. Aku, tidak memiliki perasaan apa-apa padanya" Sahut Xaina serius, sembari menyampirkan tas selempang yang bermereknya berwarna creamy dibahunya. Itu senada dengan rok Accordion skirt selutut, dengan atasan blouse tanpa lengan berwarna putih.
"Kakak Ipar, kenapa ucapanmu begitu sadis?" Komentar Rheja dengan raut yang dibuat sedih. Ia menatap Xaina dengan sorot aneh.
"Apanya yang sadis? Sudah cukup dia besar kepala, jangan ditambah lagi dengan memuji-mujinya. Itu akan membuatnya melayang tinggi" Respon Xaina dengan acuhnya sembari memilih sepatu dirak.
"Oh ya, berapa cm tinggi badanmu?" Sambungnya dengan tanya, saat sedang memilih-milih alas kaki yang akan dikenakannya saat ini.
"182 cm. Memangnya kenapa?" Tanyanya sembari melemparkan tatapan heran pada gadis yang tengah sibuk memilih alas kaki dirak sepatu yang tingginya sekitar 2 meter dengan lebar 1.5 meter. Disana terdapat puluhan alas kaki berbagai model dan berkualitas.
"Oh, baiklah aku akan memakai sepatu ini kalau begitu" Jawabnya sembari mengambil Peep toe heels warna senada dengan roknya.
Tidak butuh lama baginya untuk mengenakan alas kakinya.
"Ayo" Ajaknya kemudian, sembari membuka pintu dan berjalan keluar. Rheja yang masih duduk, mau tidak mau mengikutinya. Saat ini, Ia merasa dijadikan seorang asistennya.
"Nona mau keluar?" Tanya Jidda saat Xaina sudah sampai dilantai dasar dengan Rheja berjalan mengikutinya.
"Ya" Jawab Xaina seperti biasanya
Jidda, yang melihat Nonanya diikuti Rheja sedikit mengernyitkan dahinya lalu. "Jidda ikut, Nona. Oh ya, Nona duluan saja. Saya akan mengambil jaket Sunscreen untuk Nona" Kata Jidda sembari beranjak pergi dengan terburu-buru.
Xaina tidak menolaknya, dia melanjutkan langkahnya. Dia juga tidak mengatakan apa-apa, saat melewati Gavin yang masih bersama Pacarnya duduk berdekatan sembari nonton TV di ruang keluarga. Namun, Gavin yang melihatnya akan pergi menegurnya.
"Kamu mau pergi keluar?" Tanya Gavin pada Xaina yang sudah melangkah, menghentikan langkahnya dan berbalik menoleh pada suaminya.
"Ya" Jawabnya singkat dan tak lama Jidda datang dengan tergopoh-gopoh sembari membawa mantel Sunscreen warna putih.
"Nona, Ini mantelnya" Katanya dengan ngos-ngosan sembari menyampirkan mantel tersebut pada tubuh Nonanya.
"Terimakasih" Kata Xaina, Ia mengalihkan pandangannya pada pelayan pribadinya.
"Vin, Gue keluar dulu ya? Mau nemenin kakak Ipar makan siang. Sekalian, mau jalan-jalan. 'Kasian dia dirumah terus'" Kata Rheja dengan serius, dengan sedikit menekankan kalimat terakhirnya saat Ia sampai diruang keluarga.
Secara naluriah, Gavin mengerutkan keningnya menatap istri dan temannya secara bergantian. Entah kenapa? Gavin merasa tidak rela, membiarkan istrinya keluar bersama sahabatnya yang terkenal playboy itu.
Xaina yang merasa Gavin tidak lagi mengatakan sesuatu padanya, kembali melanjutkan langkahnya. Namun, suara bariton Gavin kembali menghentikan langkahnya. "Xaina, kamu belum minta izin padaku dan aku belum mengatakan, kalau aku mengizinkanmu untuk pergi"
"Aku pergi" Ujar Xaina datar sebelum berlalu. Ia tak mau berlama-lama disana, apalagi harus ditelanjangi oleh mata horor Diva Akari yang dari tadi terus menatapnya dengan tajam.
Diam-diam Gavin merasa kesal, pada Istrinya itu. Ia merasa gadis itu tidak menganggap dirinya sebagai suaminya. Tapi, sebelum Ia memarahinya. Ia kembali sadar kalau disampingnya ada Diva Akari.
Gavin punya cara sendiri, agar Istrinya pergi tidak hanya dengan Rheja dan Jidda yang tidak bisa diandalkan sepenuhnya. Ia segera mengalihkan pandangannya pada kekasihnya dengan tatapan lembut
"Sayang, Apa kamu juga mau makan diluar? Bersama mereka?" Tanya Gavin dengan lembutnya beralih pada kekasihnya.
Diva Akari yang ingin membuat Xaina cemburu pastinya akan langsung menyetujuinya. "Iya, sangat. Aku ingin mengenal lebih dekat istrimu itu" Jawabnya dengan senyuman bermakna.
Disisi lain, Rheja yang bersimpati pada Xaina berdecak kesal lalu pergi mengikuti Xaina yang sudah berlalu. Namun, perkataan Gavin menghentikan langkahnya.
"Rheja tunggu, kamu ambilkan aku kemeja dikamarku" Perintah Gavin yang membuat Rheja harus kembali ke lantai Atas untuk mengambilkannya baju.
***
Berhubung, Gavin dan Diva akari ikut dan pria itu tidak mau membawa mobil. Sehingga, mereka pergi satu mobil yang dikedarai oleh Rheja. Mau tidak mau Jidda tidak jadi ikut.
Saat dimobil, Xaina yang awalnya hendak duduk didepan bersama Rheja harus mengurungkan niatnya saat Gavin berkata "Kamu duduk dibelakang bersama Diva" Ujarnya dengan nada memerintah lalu masuk kedalam mobil disamping supir.
Xaina mau tidak mau duduk dibelakang bersama Diva Akari. Rheja yang tahu sifat Diva Akari yang tak pernah lurus, melirik Xaina dengan khawatir. Namun, saat melihat raut tenang gadis itu membuatnya sedikit lega.
"Kakak Ipar kamu ingin makan direstoran mana?" Rheja sedikit melirik Xaina lewat kaca spion tengah
Sebelum Xaina menjawab Diva Akari lebih dulu menjawab "Aku mau makan di Restoran Pastfo Gardien" Ujarnya sengaja menyela Xaina. Namun, gadis sama sekali tidak bergeming.
Restoran Pastfo Gardien adalah restoran berbintang Lima, dimana kemarin Xaina makan bersama Jidda.
Rheja sedikit tidak puas dan langsung protes "Calon kakak Ipar aku bicara dengan kakak Ipar Xaina, bagaimana kakak Ipar?"
"Terserah" Sahutnya singkat dengan tenang, tanpa mau berdebat.
"Hmm, soal yang tadi aku minta maaf ya?" Ujar Diva Akari untuk sekedar basa-basi.
Xaina yang sudah asyik bermain Game online, diponselnya hanya mengangguk tanpa menoleh.
"Oh ya namaku Diva Akari, kamu Xaina ya?" Kata Diva dengan bangganya menyebutkan namanya sembari mengulurkan tangannya. Namun, Xaina sama sekali tidak menyambutnya dia hanya bergumam. "Ya"
"Xaina, bagaimana kalau akhir pekan kita pergi kewahana permainan? Seru loh" Ajak Diva sengaja untuk membawanya pergi berlibur bersama Gavin. Ia ingin membuatnya jealous, tapi sayangnya Xaina menolaknya.
"Tidak, aku sibuk" Jawab Xaina masih fokus pada Layar ponselnya.
"Xaina aku ngomong sama kamu loh, kok kamu malah asyik main HP. Gimana sih? Aku udah baik ya sama kamu, tapi kamu malah kayak gitu. Heran deh, kamu tahu? Selama ini aku tidak pernah mendapatkan perlakuan buruk sebelumnya."
"Jangan karena kamu adalah nyonya muda Dherja, kamu bisa bertingkah. Kamu itu tidak lebih hanya istri dalam naskah" Sambungnya sembari diam-diam melihat reaksi Gavin yang ternyata tidak menampakkan ekspresi apapun
Xaina meliriknya sekilas, lalu mengukir senyum tipis. "Sudah selesai?" Ia berhenti sejenak lalu menyambung "kalau belum, lanjutkan" Katanya tanpa emosi, yang membuat Ketiga orang yang ada disana tertegun mendengar respon gadis itu. Lalu, kembali lagi bermain game
Rheja yang tengah menyetir, seketika ingin tertawa. Tapi, Ia tahan sehingga suasana tetap hening.
Diva Akari yang tipikal pemarah langsung marah, namun untuk kali ini Ia memilih diam. Walau bagaimanapun, disini masih ada Gavin. Ia tidak ingin imagenya hancur gara-gara gadis itu.