Rahman dan Diana baru saja tiba di cafe, seorang pelayan datang menghampiri mereka berdua dan meminta Rahman dan Diana untuk mengikutinya ke tempat yang sudah di sediakan. Diana sangat takjub dengan suasana cafe yang begitu romantis, apalagi Rahman telah memesan meja untuk mereka berdua beberapa jam yang lalu.
Sehingga mereka tidak perlu mencari-cari tempat yang kosong untuk di tempati. Pelayan tersebut langsung menyodorkan dua buah daftar menu dan juga selembar kertas beserta pulpen untuk mencatat pesanan. Diana sangat antusias untuk melihat menu makanan yang tersedia di cafe ini.
"Wah ada iga bakar". Gumam Diana.
"Kamu suka?". Tanya Rahman.
"Iya, aku suka. Aku mau pesan ini aja". Seru Diana dan langsung menuliskan di kertas order. "Kamu mau pesan apa?". Sambungnya lagi.
"Aku mau steak aja, udah lama gak makan steak".
"Oke, minumnya?". Tanya Diana sambil menuliskan kembali di kertas order.
"Aku jeruk panas aja".
"Oke, aku juga mau jeruk panas".
Diana langsung memanggil pelayan cafe dan menyerahkan kertas order pada pelayan tersebut.
"Kamu suka gak?". Tanya Rahman.
"Apanya?".
"Sama tempatnya".
"Suka, suasananya tenang dan juga romantis".
"Romantis? Masa sih?".
"Iya, aku malah baru tau di Jakarta ada cafe sebagus ini".
Tak lama kemudian pesanan mereka berdua datang, aroma asap dari iga bakar sangat mencuat dan menusuk penciuman Diana. Diana mencoba menghirup aroma tersebut, ia sangat tidak sabar ingin mencobanya.
"Nah berhubung makanannya sudah datang, yuk kita langsung makan ya. Acara makan siang ini kita sajikan sebagai tanda persahabatan kita". Gumam Rahman.
Seketika ucapan Rahman membuat hati Diana bak di tusuk sembilu, ternyata Rahman hanya menganggap dirinya sebagai seorang sahabat.
Diana tersenyum. "Cheers". Sambil meraih segelas jeruk panas miliknya, sementara Rahman juga melakukan hal yang sama.
Diana menikmati iga bakar miliknya dengan perasaan sedikit pilu, iga bakar yang semula terlihat sangat menggoda kini malah terasa hambar di lidahnya.
"Gimana, Diana? Enak gak?".
"Iya enak, kok. Steak nya gimana? Enak?".
"Iya enak". Ujar Rahman sambil memotong steaknya lalu menyodorkan potongan steak tersebut tepat di hadapan Diana dan hal itu membuat Diana sedikit tersentak kaget.
"Apa mas?!".
Rahman tersenyum. "Ini cobain".
Diana langsung melahap steak tersebut. "Enak banget ini".
"Aku pesankan ya?".
"Eh, gak usah mas. Ini udah cukup kok". Gumam Diana sambil kembali menyantap iga bakar miliknya.
Sementara itu di lain tempat Sabila dan Amar baru saja tiba di rumah, Amar segera bergegas turun dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk Sabila. Sementara Sabila bergegas untuk membuka pintu untuk Aina.
"Aina, turun yuk. Kita udah sampe di rumah tante".
"Iya tante". Ujar Aina yang langsung melompat dari dalam mobil.
Sabila langsung mengandeng tangan Aina dengan erat, ia sangat bahagia karena bisa membawa Aina ke rumahnya.
"Tante, aku boleh gak panggil tante dengan sebutan mama?". Tanya Aina.
Sabila berkaca-kaca dan langsung menyejajarkan dirinya dengan Aina. "Tentu boleh sayang". Ujar Sabila yang langsung memeluk Aina.
"Wah ada apa ni? Kok pada pelukan, om juga mau dong di peluk sama Aina". Gumam Amar yang datang sambil membawa beberapa belanjaan milik Sabila.
"Ini loh mas, Aina nanya sama aku. Katanya dia boleh gak panggil aku dengan sebutan mama".
"Kalau gitu kamu juga harus panggil om dengan sebutan papa ya".
"Emangnya boleh om?". Tanya Aina.
"Boleh dong".
"Asyik, aku punya mama dan papa baru sekarang". Gumam Aina sambil berjingkrak kegirangan.
"Yasudah kalau gitu Aina ikut mama ke ruang makan yuk, kita makan siang bareng". Ujar Sabila.
"Aina doang yang di ajak? Papa nggak di ajak ma?". Gerling Amar.
"Mas Amar". Seru Sabila tersipu malu.
Amar tersenyum melihat mimik wajah istrinya yang mulai memerah, mereka bertiga langsung bergegas menuju ruang makan untuk menikmati makan siangnya. Sabila segera menyiapkan piring dan gelas lalu menatanya di atas meja, sementara Amar langsung membuka bungkusan ayam goreng yang di belinya ketika menuju jalan pulang.
"Nah ini untuk Aina". Ujar Sabila yang langsung menyodorkan piring berisi nasi dan juga ayam goreng krispi.
"Terima kasih, ma".
"Masha Allah, aku seneng banget dengernya mas". Ujar Sabila.
"Sama ma, papa juga seneng".
"Mas Amar, apaan sih".
"Loh kenapa? Kan kita sekarang udah jadi orang tua, ya harus panggil mama papa dong. Masa kamu mau panggil aku dengan sebutan mas terus, nanti kalau anaknya ngikutin gimana?". Protes Amar sementara Sabila hanya memberikan cengiran kuda pada suaminya.
"Ma, aku haus". Ujar Aina.
"Oh iya, mama lupa. Sebentar ya sayang mama tuangin dulu minumnya".
"Gimana sih mama". Tukas Amar.
"Mas Amar". Protes Sabila dan hal itu membuat Amar tertawa.
***
Nah berhubung makanannya sudah datang, yuk kita langsung makan ya. Acara makan siang ini kita sajikan sebagai tanda persahabatan kita.
Tak lama kemudian lamunan Diana buyar karena Rahman mengagetkan nya.
"Mas Rahman, kamu bikin kaget aja deh".
"Lagian kamu kenapa sih dari tadi perasaan diem aja? Kenapa sih? Apa aku ada salah ngomong ya sama kamu?". Gumam Rahman.
"Eh, nggak kok mas. Aku tiba-tiba pengen makan yang seger-seger, makanya dari tadi tuh aku lagi mikir tapi kamu malah matahin pikiran aku".
"Oh gitu, aku tau dimana tempatnya".
"Dimana?".
"Tar kamu juga tau". Ujar Rahman.
Rahman segera melajukkan mobilnya menuju kedai rujak langganannya, sesampainya di tempat Rahman segera turun dari dalam mobil dan membukakan pintu untuk Diana.
"Silahkan tuan putri". Ujar Rahman.
"Makasih pangeran berkuda". Sahut Diana dan hal itu membuat Rahman tertawa.
"Rujak cingur". Gumam Diana membaca papan nama di kedai tersebut.
"Iya, kamu suka gak? Kebetulan ini rujak cingur favorite aku, karena cingurnya melimpah dan harganya murah meriah".
"Suka banget mas, kamu tau aja nih apa yang ada di pikiran aku".
"Yaudah yuk kita pesen". Ajak Rahman yang langsung memesan dua porsi untuk mereka berdua.
Tak lama kemudian pesanan mereka berdua datang, Diana terbelalak ketika melihat porsi rujak cingur yang berada di piringnya.
"Mas Rahman, ini serius sebanyak ini?". Tanya Diana bingung.
Rahman tak menjawab dan hanya melempar senyum sambil melahap rujak miliknya.
"Duh hari ini kita agendanya makan terus, belum nanti malam kita kan ada acara makan malam di rumah". Gumam Diana.
"Oh iya ya, duh bisa gak enak nih sama mama kamu kalau sampai makanannya gak ke makan". Ujar Rahman tertawa.
Mas Rahman, kamu lucu dan juga humoris. Aku nyaman sama kamu, tapi kenapa di saat aku sudah bisa untuk melupakan Amar dan mulai membuka hatiku. Yang aku rasakan hanyalah luka pedih karena kamu hanya anggap aku sebagai seorang sahabat.
Setelah selesai makan mereka berdua segera bergegas menuju rumah Diana, karena jam makan malam akan di mulai setelah ba'da isya. Sementara itu suasana di rumah Diana sangat sibuk, beberapa asisten rumah tangga sedang sibuk menata makanan di atas meja makan. Tak lama kemudian Diana dan juga Rahman sampai di rumah, mereka berdua langsung di sambut dengan kedua orang tua Diana.
"Akhirnya yang di tunggu-tunggu datang juga". Ujar sang mama.
"Maaf ya bu, kami berdua telat sampai di rumah. Tadi agak macet di jalan".
"Iya gak apa-apa, yaudah yuk masuk sekarang. Papa udah nunggu di meja makan".
Mereka langsung bergegas menuju ruang makan, Diana sedikit terkejut ketika melihat beberapa hiasan yang berada di setiap sudut ruangan.
"Ma, ini siapa yang kasih hiasan kaya gini?".
"Mama dong sambil di bantuin sama si mbak".
"Wah, keren bu hiasannya". Ujar Rahman.
"Nak Rahman suka?".
"Iya bu suka, ibu memang kreatif ya".
"Alhamdulillah kalau Nak Rahman suka, berarti ibu tidak sia-sia ngelakuin ini semua".
"Loh, kok malah pada ngobrol disini sih? ayo kita makan, udah laper nih". Gumam papa Diana yang tiba-tiba datang menghampiri mereka.
"Eh, papa. Yaudah yuk mas, ma, kita makan, kasian papa udah kelaparan". Ajak Diana.
Suasana makan malam berjalan dengan lancar, namun Diana benar-benar kehilangan selera makannya. Pikirannya masih dipenuhi dengan perkataan Rahman yang hanya menganggap dirinya sebagai seorang sahabat. Setelah selesai makan, orang tua Diana mengajak Rahman untuk mengobrol santai di halaman belakang sambil menikmati secangkir teh hangat.
"Nak, Rahman terima kasih karena kamu sudah mau berteman dengan anak saya". Ujar sang papa.
"Iya pak, sama-sama. Saya senang memiliki teman seperti Diana". Sahut Rahman tersenyum.
"Oh ya, Nak Rahman sendiri apa sudah memiliki calon istri?". Seru sang papa dan hal itu membuat Diana tersentak kaget dan langsung tersedak minumannya.
Dengan sigap Rahman langsung mengelus lembut punggung Diana dan hal itu membuat kedua orang tua Diana sangat tersentuh dan merasa jika Rahman sangat cocok menjadi pendamping Diana.
"Diana, kamu gak apa-apa?". Tanya Rahman.
"Iya aku gak apa-apa mas".
Tak lama kemudian ponsel Rahman berdering dan di layar ponsel tertera nama sang mama. Rahman meminta ijin kepada keluarga Diana untuk menjawab panggilan telepon tersebut, setelah berbicara kurang lebih tiga menit akhirnya Rahman kembali ke tempat semula ia berkumpul dengan keluarga Diana.
"Maaf ya pak, bu, Diana tadi mama saya yang telepon. Sekali lagi saya minta maaf karena saya harus pulang sekarang karena ada urusan penting di rumah". Ujar Rahman.
"Yah, kok buru-buru, nak". Seru Ibunda Diana.
"Iya bu, mendadak ini. Sekali lagi makasih atas jamuan makan malamnya".
"Sama-sama Nak Rahman".
"Yaudah yuk mas, aku anter ke depan". Ujar Diana.
Rahman segera berpamitan dengan kedua orang tua Diana, ia sangat senang karena bisa diterima dengan baik di keluarga Diana.
"Mas Rahman, sekali lagi aku makasih banget ya untuk jalan-jalan nya hari ini. Aku seneng banget, akhirnya libur kerja aku gak sia-sia". Ujar Diana.
"Iya sama-sama Diana, yaudah kalau gitu aku pamit pulang dulu ya". sahut Rahman yang langsung bergegas melajukan mobilnya.
Diana menghela nafas, sepertinya kali ini ia akan gagal untuk bisa lebih dekat lagi dengan Rahman.