Amar
Aku baru saja tiba di rumah setelah seharian bekerja, setelah selesai memarkirkan mobilku di halaman rumah tak lama kemudian istriku keluar dari dalam rumah menyambut kedatanganku dengan hangat. Ia segera meraih tanganku dan menciumnya lalu ia juga langsung meraih tas kerja milikku untuk di bawanya.
Sungguh aku sangat bersyukur memiliki istri sebaik Sabila, aku sudah menunggu lama untuk bisa menikmati moment seperti ini setiap hari bersama dirinya. Bahkan aku sudah berjanji pada diriku sendiri akan membahagiakan Sabil sampai akhir hayatku dan aku tidak akan pernah menyakiti hatinya sedikitpun.
"Mas, aku sudah masakin makanan kesukaan kamu. Sekarang kamu mandi ya, terus kita makan sama-sama". Ujar Sabila
"Tunggu, aku tau apa yang kamu masak". Gumam ku.
"Apa?". Sabila mengernyitkan dahinya.
"Ikan gurame asam maniskan". Sahut ku sumringah.
"Ih.. kok kamu bisa tau sih". Sabila menggerutu sambil cemberut, lalu aku segera bergegas untuk mandi dan aku biarkan dia kesal sendiri karena aku sudah bisa menebak apa yang ia masak. Karena aku mengenali sisa aroma masakan yang masih menyeruak di setiap sudut ruangan.
Setelah selesai mandi, ku lihat Sabila sedang duduk di pinggir ranjang. Aku pun juga melihat ponselku sudah tergeletak di atas meja yang semula masih aku simpan di dalam tas kerja. Lalu aku melihat mimik wajah Sabila seperti menyimpan sesuatu, sebenarnya apa yang terjadi dengannya selama aku berada di kamar mandi.
"Sayang, kamu kenapa?". Tanya ku lirih.
"Aku gak apa-apa mas". Sahut Sabila datar, lalu ia langsung bergegas pergi ke kamar mandi untuk mengambil wudhu. Ku urungkan niatku yang semula ingin mengambil pakaian di dalam lemari, lalu kuraih ponselku dari atas meja.
Aku segera mengecek dengan teliti satu persatu notifikasi pesan yang masuk di aplikasi whatsappku dan aku menemukan jawaban mengapa istriku berubah menjadi dingin untuk beberapa menit. Disana aku menemukan beberapa pesan singkat dari Diana yang tak lain adalah teman seprofesiku sewaktu aku masih menjalankan tugas koas dirumah sakit yang sama.
Tak lama kemudian aku mendengar suara knop pintu kamar mandi di buka, aku segera meletakkan kembali ponselku di atas meja dan bergegas untuk mengambil pakaian di dalam lemari.
"Mas, kamu dari tadi ngapain aja belum pake baju". Gumam Sabila.
Aku menoleh ke arahnya dan memberikan cengiran kuda. "Aku bingung dari tadi mau pake baju yang mana, kamu bisa bantu aku pilihin gak".
Sabila menepuk jidatnya. "Ya ampun, yaudah sini aku yang pilihin bajunya". Gumamnya dan langsung memilihkan baju untukku.
Kami pun segera bergegas untuk melaksanakan sholat maghrib berjamaah, setelah selesai sholat, Sabila segera bergegas mengajakku ke meja makan untuk makan malam. Sabila segera meraih piring milikku, mengambilkan nasi beserta lauk pauk nya. Aku pun tersenyum melihat sosok istriku yang saat ini terlihat sangat cantik, aura wajahnya seperti kembali bersinar tidak seperti dulu ketika mantan suaminya membawa luka penghianatan untuk dirinya.
"Mas, kamu kenapa kok senyum-senyum sendiri gitu?". Tanya Sabila bingung.
Lamunan ku seketika buyar. "Hah? nggak kok aku cuma lagi bersyukur aja punya istri secantik kamu dan jago masak lagi".
Sabila terkekeh. "Bisa aja pak dokter, selamat makan dan selamat menikmati masakanku ya mas".
"Terima kasih, sayang". Kami berdua pun larut menikmati makan malam ini dengan sedikit obrolan untuk menghangatkan suasana.
Aku terpaksa tidak membahas mengapa Sabila bersikap dingin padaku, tapi yang jelas aku hanya ingin ia menanyakan langsung padaku. Aku sudah siap jika ia mengajukan pertanyaan yang mungkin agak sedikit sensitif, karena bagaimana pun juga aku sangat mengerti akan trauma masa lalu istriku.
Keesokan harinya.
"Halo, Amar. Save nomor aku ya. Ini aku Diana". Ujar seseorang dari sebrang sambungan teleponnya.
Sabila masih termenung mengingat kejadian semalam, dirinya takut jika kejadian di masa lalu terulang kembali. Sabila memutuskan untuk menyusul Amar di tempat kerjanya, karena ia ingin memastikan jika suaminya memang tidak macam-macam, apalagi Amar pernah bilang kalau Rena pernah berusaha untuk mendekati Amar. Jadi Sabila menarik kesimpulan jika suara perempuan yang semalam menelepon Amar kemungkinan adalah Rena, setelah menempuh waktu kurang lebih dua puluh menit Sabila tiba di rumah sakit tempat suaminya bekerja, ia segera bergegas menuju ruangan kerja suaminya di lantai dua puluh lima. Sesampainya di depan ruangan Amar, Sabila menyempatkan untuk bertanya dengan suster yang membantu Amar menghandle data pasien untuk memastikan apakah suaminya sedang ada pasien atau tidak.
"Sus, apa Dokter Amar sedang ada pasien di dalam?". Ujar Sabila.
"Oh tidak ada bu, kebetulan Dokter Amar baru selesai praktek sepuluh menit yang lalu". Sahut sang suster.
"Baik, terima kasih sus". Gumam Sabila yang langsung bergegas masuk ke dalam ruang kerja suaminya.
Sabila sedikit tersentak ketika melihat Amar sedang bersama perempuan lain yang sama sekali tidak ia kenal, suara deritan pintu membuat Amar dan Diana tersentak kaget. Amar langsung menoleh ke sumber suara tersebut, ia kaget ketika sang istri sudah berada di hadapannya.
"Sabil, kamu kesini kok gak kasih tau aku". Tanya Amar.
"Maaf, kalau aku ganggu kamu, mas". Sahut Sabila yang langsung keluar dari dalam ruangan Amar.
Amar pun segera bergegas mengejar sang istri dan mencoba untuk menjelaskan apa yang baru saja dilihatnya, karena Amar tidak mau jika istrinya berpikiran yang macam-macam tentang dirinya.
10 Menit Sebelum Sabila datang.
Waktu sudah menunjukkan jam makan siang, ketika aku sedang sibuk merapikan berkas data pasienku, tak lama kemudian terdengar suara ketukan di pintu ruanganku. Aku segera membukanya yang ternyata adalah Diana, aku pun segera mempersilahkannya masuk.
"Maaf ya Amar kalau aku ganggu kamu". Ujar Diana.
"Nggak sama sekali ganggu kok, aku malah seneng kalau kamu mampir ke ruangan ku".
"Iya, aku penasaran aja sama ruangannya dokter spesialis syaraf."
"Ya begini lah kira-kira ruangannya". Sahut ku antusias sambil merapikan beberapa berkas pasien milikku. Tak lama kemudian aku mendengar suara deritan pintu di buka, aku langsung melihat ke arah pintuya yang ternyata istriku sudah berada disana.
"Sabil, kamu kesini kok gak kasih tau aku". Tanya ku.
"Maaf, kalau aku ganggu kamu, mas". Sahut Sabila yang langsung keluar dari dalam ruanganku.
Sontak aku langsung bergegas untuk mengejar istriku, aku tidak ingin jika Sabila menjadi salah paham karena melihat Diana ada di dalam ruanganku. Langkah istriku terhenti di ujung lorong yang menghadap luas ke sekeliling bangunan sekitar, aku bisa membaca bahasa tubuhnya bahwa ia tengah menangis.
Dengan perlahan aku beranikan diriku untuk memeluknya dari belakang dan kini aku bisa merasakan tangisannya terdengar pecah di pelukanku.
"Sayang, ini semua tidak seperti yang kamu bayangkan". Ujarku meyakinkan.
Namun Sabila masih terdiam dan menangis di dalam pelukanku, tak lama kemudian aku mendengar suara seseorang memanggil nama ku. Aku segera menoleh ke arah belakang dan disana sudah ada Diana yang sejak tadi memperhatikan kami.
"Amar".
"Iya Diana". Sahutku.
"Perempuan itu siapa?". Tanya Diana penasaran.
Sabila langsung melepaskan sekuat tenaga dari pelukan ku. "Seharusnya yang tanya itu aku, kamu itu siapa? Kenapa kamu ada di ruangan kerja suami saya?". Seru Sabila.
Diana tercengang. "Apa? jadi kamu sudah menikah Amar, Maaf ya Amar aku gak tau kalau kamu sudah menikah. Mbak maaf ya jangan salah paham, saya dan Amar tidak ada hubungan apa-apa. Kita berdua ini temen lama waktu kuliah di New York".
"Apa kamu juga seorang dokter? Lalu kenapa kamu tidak memakai seragammu?". Cecar Sabila.
Diana pun segera menjelaskan pada Sabila agar apa yang di terka oleh Sabila itu tidak benar, bahkan Diana sampai mengajak Sabila keruang kerjanya untuk lebih meyakinkan Sabila.
"Oke, saya percaya. Saya cuma mau memperingatkan kamu, jangan coba-coba kamu merebut suamiku. Paham!!". Tegas Sabila.
"Iya mbak, saya mengerti". Sahut Diana lirih.
Dan akhirnya salah paham di antara kita bertiga pun selesai, aku memutuskan untuk mengajak istriku makan siang bersama dan aku juga mengajak Diana. Namun Diana menolaknya dengan alasan ia sudah membawa bekal makanan dari rumah.
Ada banyak pelajaran dan juga hikmah yang bisa aku petik hari ini, seharusnya kemarin aku bisa lebih peka terhadap perasaan istriku walaupun di antara aku dan Diana tidak ada hubungan apa-apa. Seharus nya aku langsung menceritakan semuanya pada istriku jika kemarin aku baru saja bertemu dengan teman lama ku dan bukan malah menundanya.
"Sayang, aku minta maaf ya. Harusnya dari awal aku jelasin ke kamu, sama kaya waktu aku jelasin soal Rena". Ujar Amar.
"Aku juga minta maaf ya, karena gak seharusnya aku nuduh kamu gitu aja".
"Kamu berhak kok untuk nuduh aku, tapi kenapa semalem kamu gak tanya langsung aja kalau ada telepon dari Diana?".
"Aku udah gak bisa ngomong apa-apa semalam mas, aku udah takut duluan".
Amar meraih tangan Sabila. "Mulai sekarang kita harus saling terbuka ya, jangan kaya gini lagi. Dengar aku ya sayang, untuk apa aku nunggu sampai belasan tahun kalau pada akhirnya aku berpaling. Aku gak mau semua perjuangan aku jadi sia-sia, kalau emang dari dulu aku gak bener-bener cinta sama kamu, aku bisa aja kan udah nikah duluan sama yang lain". Gumam Amar.
"Huh, gombal". Sabila memprotes.
Sementara Amar hanya tertawa melihat tingkah istrinya, tak lama kemudian seorang pelayan datang membawa pesanan mereka.
Diana
Aku masih tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi, bagaimana bisa semua perasaan yang aku punya untuk Amar dalam sekejap hancur dengan kenyataan kalau Amar ternyata sudah menikah. Aku benar-benar shock dan tidak tau harus melakukan apa, selera makan ku seketika hilang.
Bahkan mungkin aku tidak akan merasakan lapar untuk beberapa hari. Tak lama kemudian lamunan ku buyar, ketika asisten ku mengetuk pintu. Ia langsung menyerahkan berkas pasien yang harus aku tangani setelah makan siang.
"Permisi dok".
"Oh iya silahkan masuk".
"Ini berkas pasien yang harus dokter tangani setelah ini".
"Oh iya terima kasih, sus".
"Dokter belum makan siang? Kok itu makanannya masih utuh, jangan lupa makan ya dok. Kan meriksa pasien butuh konsentrasi".
Aku menghela nafas. "Iya, aku akan makan setelah ini. Terima kasih ya sudah mengingatkan".
"Iya dok, sama-sama. Masih ada waktu lima belas menit lagi untuk menyelesaikan makan siang, kalau begitu saya permisi dulu ya dok".
"Iya sus".
Asisten ku segera keluar dari dalam ruangan, sementara aku terpaksa memulai makan siang ku yang sangat tidak aku inginkan. Bagaimana pun aku harus tetap fokus dan profesional, karena aku memegang tanggung jawab atas kesembuhan pasien ku.
15 menit berselang, aku segera merapikan meja kerja ku dan menutup kembali kotak makan ku. Ku raih jas putih kebanggaan ku, lalu memakainya. Dan tak lupa aku merapikan kembali rambut ku yang sedikit berantakan. Tak lama kemudian pintu di ketuk dan asisten ku masuk berbarengan dengan pasien pertama yang akan berkonsultasi dengan ku.
"Silahkan, perkenalkan saya Dokter Diana. Ada yang bisa saya bantu? Kira-kira ada keluhan apa nih?". Ujar ku sambil menjabat tangan pasien ku.
"Saya Rahman, dokter. Kebetulan sudah beberapa hari ini tenggorokan saya sakit sampai berasa ke dalam telinga dok".
"Baik, sebentar ya saya catat dulu. Silahkan pak duduk di sebelah sini, pertama saya akan memeriksa tenggorokan bapak dulu".
Aku segera meraih senter kecil untuk melihat kondisi tenggorokan pasien ku, lalu aku memeriksa bagian telinganya. Setelah selesai memeriksa, aku segera menuliskan resep obat untuk pasien ku.
"Bapak hanya mengalami radang tenggorokan dan hal itu yang menyebabkan telinga bapak jadi ikut sakit. Untuk sementara kurangi makanan pedas ya pak, biar infeksi di tenggorokan sembuh. Ini saya buatkan resep obat untuk meredakan rasa sakit di tenggorokan ya pak, obat nya masing-masing di minum tiga kali sehari".
"Baik, terima kasih dokter".
"Sama-sama Pak Rahman, semoga lekas sembuh". Ujar ku dan langsung meminta asisten ku untuk memanggil pasien berikutnya.
Tidak terasa jam kerja ku sudah selesai tepat pada pukul tiga sore, aku segera membereskan meja kerja ku dan menggantung jas putih ku di dalam lemari. Belum jauh aku melangkah kan kaki dari ruangan ku, terdengar suara seseorang memanggil namaku.
Diana.
Aku segera membalikkan tubuhku dan dari kejauhan sudah ku tangkap sosok Amar yang sedang berjalan menghampiri ku.
"Iya Amar, ada apa?".
"Kamu udah mau pulang?".
"Iya nih, kebetulan jam kerja ku sudah selesai. Kamu sendiri belum pulang?".
"Aku lembur, karena masih ada janji sama pasien ku. Oh ya Diana, aku minta maaf ya soal kejadian tadi siang. Istri ku jadi nuduh yang macam-macam sama kamu".
Aku menghela nafas. "Gak apa-apa Amar, aku juga minta maaf ya karena aku gak tau kalau kamu sudah menikah".
"Aku baru saja menikah satu bulan yang lalu, maaf ya aku gak ngundang kamu. Karena waktu itu kan kita lost contact".
"Iya gak apa-apa, aku doakan semoga rumah tangga kalian langgeng sampai akhir hayat".
"Aamiin, doa yang sama juga untuk kamu".
Aku mengernyitkan dahi. "Terima kasih Amar, tapi aku belum nikah".
Amar terbelalak. "Oh sorry Diana, aku gak tau. Aku pikir kamu udah nikah, yasudah aku doakan semoga kamu menemukan jodohmu di tahun ini".
"Aamiin, terima kasih Amar".
"Yaudah kalau gitu aku kembali ke ruangan ya, kamu hati-hati di jalan".
"Iya Amar, semangat bekerja. Aku duluan ya". Ujar ku yang langsung bergegas pergi dari hadapan Amar.
Sesampainya di rumah, aku langsung di sambut oleh mama yang sejak tadi sudah menunggu kedatangan ku.
"Anak mama akhirnya sampe juga, mama dari tadi udah nungguin kamu".
"Ada apa sih ma? Tumben banget nungguin aku".
"Di ruang tengah ada tamu, dia kolega nya papa. Kamu tau gak orangnya ganteng banget".
"Yaelah ma, kirain apa?". Aku mendengus pelan.
Aku segera masuk ke dalam rumah bersama mama, aku di buat terkejut melihat sosok laki-laki yang sedang asik berbincang dengan papa di ruang tengah. Ia yang menyadari kehadiran ku langsung beranjak dari duduknya.
"Dokter Diana".
"Jadi Nak Rahman sudah kenal sama anak saya?". Tanya mama.
"Kebetulan baru kenal hari ini bu, tadi sebelum kesini saya mampir ke rumah sakit untuk berobat di klinik THT dan kebetulan dokternya ya anak ibu ini".
"Wah bisa kebetulan banget ya, jangan-jangan kalian jodoh". Seru mama.
"Mama, apaan sih. Yaudah silahkan di lanjut ngobrolnya, saya permisi mau ke kamar dulu". Ujar ku dan langsung bergegas pergi dari hadapan mereka.
❤ ❤ ❤
Sabila sedang sibuk berkutat di dapur, pikirannya masih terbawa dengan kejadian tadi siang yang membuatnya sedikit gelisah.
Kenapa aku bisa berpikiran seperti itu sama suamiku. Oke pokoknya mulai sekarang harus bisa kontrol emosi. Gumam Sabila.
Ia segera melanjutkan aktifitas memasaknya, tak lama kemudian ia mendengar suara mobil Amar yang sudah terparkir di garasi. Sabila segera bergegas keluar untuk menyambut kedatangan suaminya.
"Assalamualaikum".
"Waalaikumsalam, Mas Amar, kok cepet. Katanya ada janji sama pasien, kok ini jam lima udah sampe rumah?".
"Iya kebetulan pasien ku ngabarin kalau gak bisa dateng, karena ada urusan mendadak".
"Oh begitu, yaudah masuk yuk. Kebetulan aku juga lagi masak".
"Yaudah, kamu lanjutin aja masaknya, aku mau mandi dulu".
Sabila langsung meletakkan tas kerja suaminya di dalam kamar, kemudian menyiapkan baju dan meletakkannya di atas ranjang tempat tidur. Setelah itu ia segera kembali ke dapur untuk melanjutkan aktifitas memasaknya.
Tepat sebelum adzan maghrib berkumandang Sabila sudah selesai menata masakannya di meja makan. Lalu ia bergegas mengambil wudhu untuk menunaikan shalat maghrib bersama suaminya.
"Mas, makan malam nya sudah siap". Ujar Sabila sambil mencium punggung tangan suaminya.
"Sebelum makan malam, ada yang mau aku omongin sama kamu".
"Soal apa mas?".
"Aku bener-bener minta maaf ya untuk kejadian tadi siang, aku ngerasa bersalah banget sama kamu"
"Sudah mas, jangan bahas itu lagi. Aku udah gak mempermasalahkan soal itu kok".
Amar menghela nafas. "Aku udah mutusin untuk pindah tugas ke Jogja sebelum kita berangkat ke Amerika".
Sabila terbelalak. "Loh, kenapa harus pindah mas?".
"Aku gak mau kalau sampai ada salah paham lagi di antara kita, aku mau menjalani kehidupan yang nyaman sama kamu. Aku gak mau istri aku setiap hari kepikiran hanya karena aku bekerja di rumah sakit yang sama dengan Diana".
"Mas, aku gak apa-apa kok. Lagi pula aku kan udah tau siapa Diana sebenarnya, kamu gak perlu ngelakuin itu mas. Aku beneran gak apa-apa kok".
"Beneran?".
"Iya bener mas".
Amar segera memeluk Sabila dengan erat, sementara Sabila langsung membalas pelukan suaminya. Sabila bersyukur memiliki suami yang bisa menjaga perasaannya.
Rena
Aku baru saja tiba di rumah, aku sangat terkejut ketika mendapati barang-barang milikku sudah tergeletak di depan teras rumah. Aku segera membuka pintu namun kunci rumah ku tidak bisa di gunakan, sepertinya seseorang sudah menggantinya. Tak lama kemudian knop pintu terbuka dari dalam, aku tersentak kaget ketika melihat Rio ada di dalam rumah ku.
"Rio, kamu ngapain? Kenapa barang-barang aku ada di luar?".
Rio menghela nafas. "Iya, kamu harus pergi dari sini. Karena ini bukan rumah kamu lagi".
"Apa? Gak Rio, ini rumah aku. Kamu gak boleh ambil rumah aku, lagi pula kamu kan udah dapet bagian penjualan apartement jadi kamu gak boleh ambil rumah ini".
Rio tertawa. "Ini rumah kamu? Tapi ini rumah aku sekarang, karena sertifikatnya sudah aku ganti atas nama aku".
Aku terbelalak mendengar yang Rio ucapkan, bahkan ia dengan sengaja memamerkan sertifikat rumah yang telah ia ubah menjadi namanya. Tiba-tiba aku teringat akan kejadian ketika rumah ku sudah berantakan tidak karuan, beberapa berkas dan harta benda milikku hilanh dan sekarang aku bisa menarik kesimpulan kalau Rio lah dalang di balik semua kejadian ini.
"Jadi kamu yang udah ngerampok rumah aku?".
"Kalau iya emang kenapa? Udah ya sana cepat kamu pergi". Ujar Rio yang langsung menutup pintu namun aku mencoba untuk menahannya.
"Apa-apaan sih kamu Rena, kalau aku bilang pergi ya pergi atau kamu mau aku panggilin security buat ngusir kamu dari sini".
"Dasar penghianat kamu Rio". Teriak ku berbarengan dengan Rio yang menutup pintu dengan kasar.
Aku pun memutuskan untuk pergi dan mengemas barang-barang ku ke dalam mobil. Aku benar-benar tidak menyangka jika orang yang aku cintai bisa berbuat sekejam ini. Jika tau akhirnya akan seperti ini aku tidak akan mau di jadikan boneka oleh Rio, mungkin kini aku telah bahagia hidup bersama Mas Tommy.
Argh.. Kurangajar kamu Rio. Teriak ku kesal.
Aku segera bergegas pergi untuk mencari penginapan, aku bersumpah akan membalas semua perbuatan Rio yang telah ia lakukan padaku.
Sementara itu di lain tempat, Anya yang mendengar keributan segera bergegas keluar dari dalam kamar.
"Ada apa sih mas? Rena udah dateng?".
"Iya itu si Rena, dia gak terima kalau rumah ini udah jadi milik aku".
"Lagian kenapa gak di kasih aja si mas, ini kan rumah nya Rena".
"Kok kamu jadi belain Rena sih".
Anya menghela nafas. "Aku bukannya belain Rena, tapi kamu itu jangan serakah. Kan penjualan apartement Rena juga kamu yang pegang uangnya".
"Anya please stop, aku gak mau denger argumen kamu soal Rena, okey?".
Anya menghela nafas. "Yaudah aku minta maaf ya, yaudah bobo yuk. Ini udah jam sepuluh malam, besok kan kamu harus kerja".
"Yaudah ayo". Gumam Rio yang langsung menggendong Anya ke dalam kamar.
Anya tersenyum manis dalam gendongan Rio, kali ini ia tidak akan membiarkan siapa pun menyentuh Rio.