Gaea selesai mengemasi pakaiannya ke dalam koper, pikirannya kembali ke ucapan Rainer tadi, "Oh my God!" Ia masih tak percaya yang menemaninya Rainer, tidak ada masalah sesungguhnya hanya saja nada ucapan pria itu tadi begitu menggoda jangan lupakan juga mereka berdua masih ada kencan yang belum terpenuhi karena sibuk mengurus Lola dan ia terlalu sedih karena Eryk. Jelas ia panik.
Meskipun sejujurnya selama dua hari ini, Gaea akui mereka sering berdua karena Eryk menghindarinya.
Tinggal bersama Rainer, takkan terjadi apa-apa, 'kan?
"Kan ...?" Gaea bertanya pada dirinya sendiri ragu.
Apa yang dipikirkannya, sebelum ini ia curiga Rainer menaruh hati padanya sekarang ditambah ini betapa canggungnya sekarang.
Rainer tipe pasif takkan mungkin melakukan yang tidak-tidak selama ini juga biasa saja hanya satu yang mesti dihindari jangan sampai dekat dengan Rainer ketika pria itu tertidur nanti dipeluk tiba-tiba lagi.
"Kan ...?" Gaea bertanya lagi pada dirinya sendiri, "ah ... bagaimana ini!?" katanya frustrasi mengacak-ngacak rambutnya yang berujung berbaring di ranjang mengambil napas dalam setelahnya.
Sembunyi bukan berarti mereka akan bermesraan seperti sepasang kekasih, hanya teman yang tinggal bersama. Lagipula Eryk juga belum bilang akan kemana tujuannya, bisa saja Eryk berubah pikiran menambah orang lain contohnya Alex.
"Iya, tidak ada yang perlu dicemaskan," gumam Gaea, lalu terkesikap Bintang naik ke ranjangnya, tidur melingkar di kakinya, sentuhan tersebut mengukir senyum samar di bibirnya.
Bagaimana dengan Bintang?
Gaea akan membujuk Eryrk besok, jadi sekarang lebih baik menutup matanya, mencoba untuk menangkap mimpi malam.
***
"Gaea ...."
Gaea terbangun mendengat ada yang memanggilnya sayup-sayup. Ia yang malas mengira itu hanya khayalan semata memutar posisi tidurnya. Tidak lama kemudian merasakan pipi kanannya dipegang-pegang membuatnya refleks menampar sesuatu yang dikiranya nyamuk itu, namun ketika mengenai apa pun itu yang mengganggu pipinya, ia menyadari bahwa itu bukan nyamuk tetapi sesuatu yang hangat dan keras.
'Tidak mungkin hantu 'kan?'
Gaea perlahan membuka matanya—betapa terkejutnya melihat wajah Eryk begitu dekat dengannya—"A—" yang bibirnya buru ditutup oleh tangan Eryk sebelum teriakannya selesai.
"Kecilkan suaramu," kata Eryk pelan.
Gaea mengangguk, lalu Eryk pun melepaskan kurungan tangan di bibirnya, "Apa yang kau lakukan di sini?" tanyanya heran, bukannya Eryk alergi bulu kucing? Berani sekali mau menginjakan kaki ke kamarnya diam-diam?
Gaea menyadari Eryk memakai masker untuk menutupi hidung agaknya agar bulu Bintang tidak masuk dan membuat pria itu alergi.
Pintar.
Eryk menegakan tubuhnya, tanpa memandang Gaea, ia berkata, "Kau berangkat sekarang."
"Apa?"
Eryk menghela napas, mengatakan sekali lagi, "Kau berangkat sekarang. Bawa tasmu satu saja, kau bisa membeli sisanya nanti jika kau kekurangan sesuatu."
Gaea melirik jam yang berada di atas meja lampu, "Ini sudah malam, tidak bisa besok, Eryk?"
Eryk menggelengkan kepala sekali, "Ini waktu yang tepat karena semuanya sedang tertidur termasuk Katherine."
Gaea tidak menjawab, tentu saja Eryk akan tetap memikirkan perasaan Katherine ketika bersamanya. Ia bangkit berdiri, menggaruk lengannya gugup.
Sudah lama mereka tidak berduaan seperti ini, hatinya kembali terselip kerinduang ingin mengobrol seperti biasa, namun tidak ada yang diobrolkan jadi hanya keheningan di antara mereka sekarang.
Keadaan ini begitu aneh mengingat ia dan Eryk jarang akur.
"Aku ganti baju dulu," kata Gaea gugup.
Eryk memberikan privasi, memilih duduk di sofa sambil menutupi setengah wajahnya dengan tangannya berjaga-jaga bulu Bintang tidak masuk.
Gaea mengambil pakaian yang cukup nyaman, dan berjalan menuju kamar mandi, mengganti pakaian tidurnya dengan pakaian baru, meletakan piyamanya di keranjang, lalu keluar kamar mandi tanpa peduli mengecek penampilannya.
Eryk bangkit berdiri, menghampiri Gaea, "Aku akan menemanimu hingga hotel."
"Hotel?"
Eryk mengangguk, "Jadwal keberangkatan pesawatmu besok sesungguhnya."
"Sebenarnya aku mau kemana?" tanya Gaea tidak semangat sama sekali.
"Sitka, Alaska tempat tinggalmu dulu," kata Eryk.
"Dari mana kau tahu aku tinggal di sana?" tanya Gaea heran, sebelum kemudian teringat Lola dulu bersamanya juga tinggal di sana, "Lola?"
Eryk mengangguk, "Anggap saja kau berkunjung ke kampung halamanmu lagi. Aku yakin orang tua angkatmu juga rindu padamu."
Gaea teringat sudah seminggu lebih belum memberikan kabar pada orang tua angkatnya di Sitka, ia terlalu sibuk bekerja. "Kau berpikir untuk menyusul?" tanyanya penuh harapan.
Eryk terkejut, "Aku belum memikirkannya, ada hal yang harus aku selesaikan di sini. Aku mau memastikan sesuatu apakah itu benar atau tidak."
"Memastikan sesuatu?" tanya Gaea.
"Bisnisku," Eryk menjawab singkat.
"Eryk," panggil Gaea pelan.
"Hm?"
"Bisa aku memakai cincin ini sampai besok? Setidaknya sampai kau pulang mengantar?" kata Gaea.
Mereka belum sempat menyelesaikan ini, Gaea sudah pasrah dengan nasib percintaannya dengan Eryk jadi memutuskan setuju mengembalikan cincin tersebut.
"Baiklah," kata Eryk setelah berpikir cukup lama.
Gaea tersenyum kecil.
***
Eryk tidak berbohong ketika bilang semua sudah tertidur. Kondisi rumah begitu sepi bahkan saat taksi datang pun tetap tak ada yang keluar.
Gaea memilih duduk di belakang sopir, ia agak terkejut melihat Eryk ikut duduk di sampingnya, ia kira mereka sedang tidak akur?
"Kemana kita, Tuan?" tanya Sang sopir sopan.
"Hotel Enzo yang terletak di dekat bandara John F Kennedy, Queens," kata Eryk.
"Baik Tuan," kata Sang sopir lalu menjalankan mobilnya keluar rumah Eryk, dan menembus jalan yang ramai.
Gaea belum pernah ke hotel keluarga Eryk sebelumnya, jadi penasaran akan seperti apa, mengingat itu merupakan bintang lima.
Seingatnya juga kepemilikan hotel keluarga Eryk jatuh ke paman Eryk semenjak Xander meninggal dan Eryk terlalu muda mengurus hotel.
Hotel keluarga Enzo ada banyak, Gaea berpikir apakah Eryk juga mengelola semuanya? Eryk pastilah sibuk sekali.
"Eryk?"
"Hm?"
"Kau memiliki hotel yang banyak, tetapi aku belum pernah melihatmu keluar kota mengurus hotelmu? Kalau kau tak keberatan tentunya," kata Gaea.
Eryk menutup matanya, seakan membayangkan sesuatu, "Karena aku hanya memiliki satu hotel."
"Oh," Gaea lantas mengerti jadi hotel yang lain masih berada di bawah kendali paman Eryk.
"Aku sedang berusaha mengambil alih sisa hotel milikku," kata Eryk dingin.
Terdengar sulit sepertinya, hotel keluarga sudah Enzo terkenal, ia rasa paman Eryk takkan semudah itu mengembalikan hak kepemilikan hotel kepada Eryk.
"Eh?" Gaea tersentak ketika Eryk menggeser posisinya duduk lebih dekat dengannya lalu menyandarkan kepala ke bahunya. Ia lirik Eryk yang berada di sampingnya, mata pria itu terpejam.
'Pertama Rainer terus Eryk. Kenapa aku jadi tukang sandar bahu, sih?'
Walaupun begitu Gaea tidak ada niat mengganggu Eryk, jujur saja ia tidak mau mengakhiri momen langka ini apalagi mereka akan berpisah jadi hatinya ingin berdekatan dengan Eryk lebih lama. Ia melirik tangan pria itu secara iseng meletakan tangannya di atas telapak tangan Eryk, dan mengejutkan Eryk menggenggam tangannya erat.
Hati Gaea merasa di atas awan sekarang, egois kah dirinya bila berpikir Eryk juga memiliki perasaan yang sama? Sedih mereka berpisah?
Apa pun itu Gaea bahagia sekali, dan membalas menggenggam tangan Eryk tidak kalah erat, memandang tangan mereka yang bertaut satu sama lain dengan senyuman di bibirnya selama di perjalanan menuju hotel.
***
Mobil berhenti tepat di depan sebuah hotel tinggi dan besar bercat putih susu.
Gaea keluar dan terperangah takjub akan pemandangan hotel Eryk. Di luar hotel ada banyak pohon dari yang tinggi maupun kecil, sayangnya pohon-pohonnya tidak memiliki daun karena musim dingin.
Eryk masuk duluan, diikuti Gaea dan Rainer.
Gaea takjub lagi melihat kondisi di dalam yang tidak kalah mewahnya, dindingnya bercat cokelat muda dengan lampu kuning membuat ruangan kesan elegan dan hangat.
"Selamat malam Mister Eryk, selamat datang kembali," kata salah satu Pelayan resepsionis perempuan, "ada yang bisa aku bantu, Mister Eryk?"
"Mary, aku mau meminta kunci kamarku yang sudah aku pesan tadi pagi," kata Eryk.
Pelayan bernama Mary itu mengangguk, mencari ke deretan kunci dibelakangnya, kemudian menyerahkan pada Eryk, "Ini, Mister Eryk."
Eryk menerimanya dengan senang hati dua buah kunci tersebut, kemudian menyerahkan pada Rainer dan Gaea masing-masing satu, "Kamar kalian berdua berada di lantai tujuh," katanya kalem, "aku tak tidur di sini, tugasku sudah selesai."
Gaea menerimanya, memandang kunci berwarna emas tersebut kemudian melirik Eryk yang mengobrol dengan Mary dan pegawai yang lain mengenai pekerjaan seakan menghindar untuk mengucapkan perpisahan pada mereka.
Eryk akan pergi habis ini.
Mereka takkan bertemu lagi.
Gaea masih belum ingin berpisah, belum ingin; berpikir, berpikir! Ia mendapatkannya tanpa perlu lama, "Rainer, kau duluan iya? Aku mau ke toilet sebentar."
Rainer mengangguk, "Baiklah aku duluan kalau begitu hati-hati, Gaea," katanya kemudian berjalan ke tempat lift berada.
"Um, Eryk kau tahu dimana toilet?" tanya Gaea.
"Di belakang ruang resepsionis ini," kata Eryk.
Gaea melirik Rainer yang sudah masuk ke dalam lift, dan ketika pintu lift tertutup, ia segera menarik tangan Eryk, menyeret pria itu menuju pintu lift yang lain.
***
Jangan lupa tinggalkan komentar dan batu daya ya 😊
Oh berikan penilaian sama novelku juga jika berkenan ya, pengen liat tanggapan kalian gimana 😊🥺💕