Chereads / Mawar Biru / Chapter 4 - Jatuh Cinta

Chapter 4 - Jatuh Cinta

Apakah perasaan suka dan cinta itu berbeda? Tentu akan banyak yang menjawab berbeda. Lalu apakah yang menjadi pembedanya? Tentu saja hanya yang meraskannya yang akan tau.

๐Ÿ€๐Ÿ€๐Ÿ€

Keheningan yang mencekam tetapi tatapan mataku dan Katherin sudah penuh dengan pergulatan kata-kata tanpa suara. Aku menatap tajam Katherin berharap dia paham maksud tatapan yang aku berikan. Mulutnya memang banyak bicara tapi aku yakin dia bisa menyimpan rahasia. Aku tau dia akan tetap menjaga rahasia ini. Rahasia tentang perasaanku yang tidak sepenuhnya terungkap pada Aidan.

"Masa lalu apaan? Emang kenapa coba?" Aidan membuka suara ditengah keheningan kami.

"Itu kamu kan tau, kalau kamu sama Elena pernah digosipkan pacaran," sahut Katherin, membuka mulut dengan santainya. Memang sepertinya aku tidak bisa mempercayai mulutnya itu. Bisa-bisanya dia tidak paham dengan kode yang aku berikan.

"Emang iya? Aku yang digosipin tapi aku nggak tau. Kapan coba kejadiannya?" Aidan nampak benar-benar kebingungan.

"Ah... nggak usah dipikirin. Itu cuma gosip basi anak perempuan jaman SMA dulu. Lagian setelah itu aku pindah sekolah, jadi gosipnya cepat memudar". Aku tersenyum kaku, mencoba dengan santai menjelaskan pada Aidan.

"Padahal kita sekelas. Kok aku nggak tau ya. Aneh banget," gumam Aidan.

"Kamu kan dulu mainnya sama anak-anak yang serem. Anak perempuan mana berani gosipin kamu," sahutku.

"Begitukah? Mereka berempat nggak terlalu nyeremin kok," bela Aidan.

"YAA mana ada mereka nggak nyeremin, kamu kan tau sendiri ulah mereka selama di SMA. Kamu kan juga pernah ikut-ikutan mereka bikin masalah meskipun nggak sering," raung Katherin. Dia mulai kesal kalau membahas kumpulan genk Aidan waktu SMA. Dia punya dendam pribadi dengan salah satu teman Aidan.

"Udahlah Katherin, si Roy sekarang udah berubah jadi anak baik dan bertanggung jawab tau," jelas Aidan pada Katherin.

"JANGAN BAHAS DIA!!, tutup mulutmu itu kalau nggak mau menyesal Aidan!," teriak Katherin terlihat sangat marah. Aku tau pasti dia nggak mungkin bisa lupa dengan kejadian waktu itu.

"Udah dong kalian! Ini kenapa suasananya jadi begini coba," kataku. Aku mencoba menghentikan mereka. Karna kalau tidak, aku tau ini akan jadi perang dunia ketiga.

Suasana makan malam yang ku harapkan penuh dengan suka cita akhirnya gagal. Makan malam ini menjadi makan malam yang paling canggung, bisa-bisa setelah ini kita akan terkena masalah pencernaaan. Katherin menjadi diam, padahal tadi dia ceria sekali. Aku tau ini karena tadi Aidan membahas si Roy itu. Katherin paling benci jika ada yang membahas Roy di hadapannya. Memang rasa sakit karena dikhianati tidak mudah hilang begitu saja. Aku tau betul itu. Karna sekarang ini yang aku lakukan adalah sedang melarikan diri dari penghianatan yang dilakukan oleh seseorang yang berharga bagiku. Bersembunyi dan berharap tidak pernah ditemukan. Sepertinya Aidan juga merasa bersalah pada Katherin. Dari tadi dia terus melihat ke arah Katherin, sepertinya dia ragu-ragu untuk minta maaf.

"Kenapa sih lo lihat wajah gue mulu. Naksir lo?" cela Katherin. Dia sepertinya menyadari bahwa Aidan terus manatapnya.

"Katherin sepertinya perasaan bersalahku yang tadi udah hilang semua. Lenyap tak tersisa," jawab Aidan sedikit kesal.

"Apa-apaan kamu, minta maaf dulu."

"Iya Katherin aku minta maaf ya. Aku yang salah, tapi kamu jangan bikin kesel lagi ya," kata Aidan dengan sabar.

"Aduh nggak bisa dong. Ngeselin itukan sudah jadi salah satu daya tarik gue," canda Katherin. Dia memang tidak bisa marah lama.

"Tapi aku nggak tertarik tu," sindir Aidan.

Katherin berkata dengan percaya diri. "Lo belum tau aja. Nanti juga nempel dengan pesonaku"

Aku tertawa mendengar kepercayaan diri Katherin yang sudah sampai pada level nggak tau malu ini. Berbeda denganku Aidan malah terlihat semakin kesal dan seperti mencoba menahan amarahnya.

"Kamu kenapa Len? Bisa tersedak kamu makan sambil ketawa gitu," kata Katherin menyindir ku secara halus.

"Nggak kok Katherin. Aku akui memang daya tarik utamamu ya itu," jawabku, masih tidak bisa menahan tawa.

"Tuh kan. Sudah banyak yang jatuh hati karna pesonaku ini." Katherin memandang aku dan Aidan secara bergantian dengan senyum bangganya.

"Jatuh hati apaan. Patah hati iya," kata Aidan dengan nada kesal.

Katherin memberikan tatapan mengerikan pada Aidan seakan bola matanya akan keluar. Aku semakin tidak bisa menahan tawaku. Untung saja makan malam ini tidak berakhir terlalu buruk. Setidaknya Katherin tetap bisa mencairkan suasana tadi yang sangat canggung. Setelah makan malam, kami duduk di ruang tamu dan menonton beberapa film. Katherin yang paling banyak bicara di antara kami, dia terus membanggakan para anak didiknya.

ยญยญ"Wah sudah malam, aku pulang duluan ya. Besok aku harus berangkat kerja pagi dan melihat anak-anakku yang lucu," kata Katherin yang sedari tadi bersemangat membahas anak didiknya.

Ternyata sekarang Katherin menjadi guru Sekolah Dasar. Memang kalau dari sifatnya dia sepertinya tidak cocok jadi guru, tetapi siapa sangka dari dulu dia memang sudah terobsesi dengan anak kecil. Saat anak kecil bertingkah nakal menurutnya itu bukan hal yang merepotkan, tetapi merupakan suatu hal yang menggemaskan.

"Eh Aidan kamu nggak pulang?" tanya Katherin pada Aidan.

"Kenapa? Kamu mau aku antar pulang?" jawab Aidan.

"Ih, tu kan kamu naksir sama aku," canda Katherin pura-pura membuat ekspresi terkejut.

"Katherin! Kesabaranku juga ada batasnya lo." Aidan menjadi semakin jengkel dengan Katherin. Kalau dipikir-pikir dari dulu saat SMA mereka itu tidak pernah bisa akur seperti anjing dan kucing.

"Yaudah aku pulang duluan ya. Kalian jangan macam-macam lo ditinggal berdua." Katheri tersenyum dan tertawa pelan sambil menunjuk kami berdua secara bergantian.

"Katherin kamu tau kan kalau aku marah jadinya seperti apa," sahutku. Sekarang aku yang jengel pada Katherin.

"Ih serem. Aku mau kabur aja." Katherin langsung berlari keluar dan masuk ke mobilnya.

Saat aku akan masuk ke dalam rumah setelah mengatarkan Katherin di depan rumah tiba-tiba saja Aidan malah keluar.

"Aku punya sesuatu buat kamu. Ayo ikut." Aidan tiba-tiba memegang tanganku sebentar untuk membalikkan arahku, lalu melepaskannya lagi. Aku mengikuti di belakangnya. Dia membuka mobilnya dan mengeluarkan sesuatu.

"Lampu?" tanyaku. Aku sedikit bingung. Kenapa Aidan memberikan aku lampu?.

"Kemarin lampu di halaman rumahmu kan kayaknya mau putus."

"Ah iya aku lupa."

"Tuh kan malah sekarang udah mati. Sini aku gantiin lampunya."

Apa Aidan memang seperti ini ya? Sejak kapan dia memperhatikan hal-hal kecil?. Aku saja sudah melupakan lampu halaman rumah yang mau mati ini. Ternyata sekarang Aidan lebih perhatian, berbeda dengan saat SMA dulu. Apa dia perhatian pada semua orang sepeti ini? Padahal aku yakin dia bukan orang yang seperti itu. Apa karna bertambahnya usia orang juga berubah menjadi lebih dewasa ya?. Tapi saat aku melihat wajah seriusnya saat menganti lampu, dia malah semakin terlihat sedikit lucu dan imut. Tanpa sadar aku terseyum dan tertawa pelan.

"Kamu kenapa senyum-senyum begitu?" Aidan menatapku dengan heran.

"Engga. Nggak papa," kataku. Aku tersenyum santai pada Aidan.

Dia menatapku sebentar sambil tersenyum dan tiba-tiba saja tanganya mengelus rambutku dengan lembut. Aku terdiam dan mencoba menyembunyikan kekagetanku, sebenarnya aku menyukai ini. Tapi aku menghindari tatapan matanya, bisa-bisa dia tau wajahku memerah karna malu. Setelah beberapa saat dia berhenti mengelus rambutku.

"Coba kamu nyalainn deh lampunya," katanya, merubah tatapan matanya pada saklar lampu.

"Ah, i... iya," kataku masih gugup karna kejadian yang tadi.

Aku memencet saklar yang ada di sampingku. Wah sekarang lampunya sudah menyala dan menjadi lebih terang.

"Wah, lampunya lebih terang dari yang kemarin. Semuanya jadi kelihatan jelas." Aku memandang ke sekitar halaman dan tersenyum puas.

"Betul, kayaknya kamu juga terlihat jelas tu."Aidan tersenyum dengan tatapan yang sulit ku mengerti.

"HA! Kenapa?" tanyaku bingung.

"Saat ini. Sepertinya kamu terlihat seperti orang yang jatuh cinta..."

Aku menutup mulutku tidak bisa menyembunyikan keterkejutanku.

Cinta?

Padahal aku yang sekarang tidak percaya lagi dengan cinta.

Apakah di dunia ini hal seperti perasaan cinta itu benar-benar ada?

Bukankah yang kurasakan pada Aidan ini hanya rasa suka. Seperti rasa suka pada makanan. Makanan tertentu lebih menarik daripada makanan yang lain. Bukankah yang namanya cinta itu hanyalah sekedar fantasi yang ada pada manusia. Sejak ibu tega melakukan itu aku tidak percaya lagi dengan perasaan cinta. Kejadian tujuh tahun lalu. Yang paling aku sesali saat itu sampai sekarang adalah aku bersedia ikut pindah ke kota bersama orang tuaku.

Cinta? Menurutku bukan sesuatu yang nyata.