Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Puri Ayudisa

🇮🇩unn_naeil
--
chs / week
--
NOT RATINGS
7.8k
Views

Table of contents

Latest Update3
34 years ago
VIEW MORE

Chapter 1 - 1

Sore itu diruang sempit ukuran 3x3m, mondar-mandir seorang pria dengan sangat bingung, sesekali mengigit jari-jarinya karena gugup. Disebelahnya tak kalah cemas laki-laki yang lebih muda memencet-mencet tombol telepon menunggu dan mendesah berat.

"Nggak dijawab pak" Kata anak muda itu dengan tatapan galau.

"Coba lagi" Kata bosnya sambil terus mondar-mandir, sesekali berhenti didepan meja dan mengetuk-ngetuk meja dengan jari-jarinya.

"Sekarang nggak aktif pak"

Brakkk...

"Sialan" Si bos mengumpat dan menggerutu.

Kririririrng... Suara telepon berbunyi, dengan sigap anak muda itu mengakat dan menjawab.

"Halo.. ini dengan CV Kencana, ada yang bisa kami bantu?"

Dia diam mendengarkan lalu menyerahkan gagang telepon pada bosnya.

"Pak Haris, ini untuk bapak"

"Iya.. ini dengan Haris" Haris menjawab dengan datar.

"Pak.. waktu tenggang pembayaran hutang tiga lagi, jika dalam waktu itu belum dibayarkan juga, maka rumah bapak akan kami sita, sesuai perjanjian pak"Suara dari seberang telepon itu menyengat seperti listrik berkekuatan tinggi, menghilangkan daya berfikir Haris. Kepalanya pening, dia mulai memijat-mijat jidatnya yang seperti habis dihantam palu Thor itu.

"Iya mbak.. saya usahakan segera disetorkan hutang saya mbak" Haris menutup telepon dengan lesu dan kacau. Dia duduk dikursinya untuk menenangkan diri sambil terus memijat-mijat kepalanya.

"Pak... saya pulang dulu ya" Kata karyawan itu sungkan.

"Oh.. iya jok.. makasih ya? Haris melihat jam tangannya sekilas, ternyata sudah jam 17:30, jadwal pulang joko jam 16:00.

Pekerjaan Haris tidak berjalan lancar beberapa bulan ini, proyek ratusan juta lenyap tertipu dan uang itu dia pinjam dari bank dengan jaminan rumahnya. Sekarang dia benar-benar terpuruk bingung dan kesal bagaimana mencari solusi.

Teman-teman ia hubungi, tak ada yang sanggup meminjamkan uang sebanyak itu pada Haris. Temannya yang beberapa tahun yang lalu berhutang 70 juta padanya memblokir nomornya ketika Haris bermaksud meminta uangnya kembali. Padahal temannya itu sangat sering memposting foto sedang bersenang-senang dan terlihat berada ditempat mewah setiap hari.

"Ahh.. lebih baik aku pulang dulu" Dia memutuskan untuk pulang, barangkali bisa bercerita dengan istrinya dan mencari solusi bersama.

***

Haris shock meliahat koper-koper didepan pintu. Istrinya keluar dengan wajah ditekuk-tekuk, muran dan sangat marah sekaligus frustasi. Dia menghambur keluar rumah sambil menyeret dua kopernya dengan langkah yang cepat tapi penuh kemarahan.

"Kamu mau kemana malam-malam begini?" Haris menarik tangan istrinya dengan wajah kecewa.

"Kita cerai aja mas.. aku nggak sanggup lagi disampingmu" Istrinya menepis tangan Haris dan menaiki taksi yang sepertinya sudah dia pesan.

Dua Haris runtuh serasa seperti kiamat, usahanya hancur, istri yang dicintainya pergi meninggalkannya, teman-teman yang biasanya selalu ada disaat senang kini tidak tampak satupun, bahkan ada yang sengaja menghindar atau pura-pura tak melihat.

Haris merogoh sakunya dan mengambil dompet, dipandanginya uang limaratus ribu rupiah itu dengan sedih. Dia masuk rumah dengan sempoyongan, perut lapar, hati hancur, kepala berat seperti ada puluhan kilo batu tersangkut di ujung-ujung rambutnya.

Dia berjalan kekamar mandi menyalakan shower lalu duduk menyilangkan kakinya, membiarkan air hangat mengguyuri seluruh tubuhnya. Berharap air membawa segala kesusahan, kegeliasahan dan kesengsaraannya. Satu jam dia diam mengguyuri diri. Lalu berlahan berdiri dan mandi.

Dia lelah tapi tak bisa terlelap, matanya memang terpejam, tapi otaknya masih bekerja keras memikirkan solusi atas masalahnya yang pelik ini. Tapi dia tertidur sekitar jam 2:22.

Haris terbangun karena merasakan ada yang membelai pipinya. Tangan itu lembut tapi bukan tangan istrinya. Dia membuka matanya berlahan dan terkejut karena tak ada siapa-siapa, terlebih sekarang sudah jam 10:00. Dia kesiangan.

Tingtong.....

Suara bel berbunyi, Haris membuka pintu.

"Paket pak" Seorang kurir menyodorkan amplop padanya dan memintanya untuk menanda tangani.

Haris membukanya dan terduduk lemas, itu surat gugatan cerai dari istrinya. Dia mengambil HP dan menghubungi isttinya.

"Rum... jangan kayak gini, kita bicaraain lagi ya.." Haris mengiba, dia masih ingin menyelamatkan pernikahannya.

"Maaf mas.. aku nggak bisa lagi, aku nggak sanggup" Terdengar isakan dari seberang.

"Kamu tau... hampir tiap hari pihak bank menghubungi rumah dan aku yang harus menjawab telepon mereka, kenapa kamu nggak minta uangmu ke temen-temen mu itu sih... tiga orang itu kalo bayar utang kekamu kan udah lebih dari cukup buat bayar utang bank" Istrinya melanjutkan, sambil terus terisak karena emosi. Haris hanya diam tak menjawab. Dia juga sudah berusaha menagih hutang ke teman-temannya itu, tapi nomornya malah diblokir.

"Yaudah... kamu disana dulu tenangin diri, tiga hari lagi aku jemput" Haris mencoba meyakinkan istrinya.

"Nggak mas.. kita udah berakhir, aku udah ngomong ke orang tuaku, mereka setuju, kamu hanya butuh tanda tangan persetujuan aja. Makasih. Tut..." Telepon terputus. Haris hanya bisa menghela nafas. Dia pergi kekantor dengan lesu. Dia memilih naik angkutan umum, rasanya dia sudah tidak sanggup menyetir mobilnya. Pikirannya kacau.

"Pak... Panitia event festival minta kepastian pak" Joko mengadu dengan wajah galau.

Haris memberi isyarat untuk memberikan telfon padanya.

"Maaf mas.. terpaksa kami cencel, karena kesalahan kami, sekali lagi kami mohon maaf" Haris menutup dengan lemas. Dia teringat, dua hari lagi rumahnya akan disita.

Dia mulai membuka komputer, mencari info rumah kontrakan atau kost.

"Hufft.,." dia menghela nafas berat, karena tidak ada rumah kontrakan atau kost dengan harga murah, rata-rata 500rb. Padahal uang disakunya sisa 450rb.

Kling... Suara notifikasi WhatsApp, dia membuka.

[Disewakan rumah harga 200rb/bulan.

Alamat: Puri Ayudisa, jl raya melati, gang 4.

Telepon: 085******]

Haris tercenung, antara senang dan curiga, harga segini mungkin rumah dengan ukuran sangat kecil, atau dengan kondisi sangat memprihatinkan. Tapi dia tidak ada pilihan, dia memencet-mencet HPnya dan menghubungi nomer kontak.

"Halo.. ini dengan Puri Ayudisa ada yang bisa saya bantu" Suara orang tua terdengar diseberang telepon.

"Saya Haris pak, benar ini sewanya cuma 200rb pak? Haris bertanya ragu tapi berharap benar.

"Iya mas benar, langsung liat kelokasi aja mas, dijamin sampean akan suka"Suara diseberang sana terdengar sangat bahagia dan meyakinkan.

"Oke pak, nanti sore saya kesana" Haris harap-harap cemas. Dia juga pasrah kalo ternyata rumah itu hanya sepetak gubuk poskamling.

****

Sore itu Haris mengendarai mobilnya dan mencari alamat Puri Ayudisa, sampailah dia digang yang dimaksud. Haris ragu karena gang itu tidak ada bangunan lain, hanya ada pagar besi karatan sepanjang jalan mulai masuk gang tadi.

"Baiklah... aku jalan satu menit lagi, kalo nggak ada balik" Haris menggumam sendiri.

Satu menit berlalu, tapi tidak ada tanda-tanda bangunan, dia masih tetap melaju lalu sekelebat melihat papan nama kayu jati, diukir dengan indah "Puri Ayudisa". Dia berhenti dan turu. Dia melongok mengintip pagar besi itu, ada pos seperti gazebo. Selebihnya seperti hutan dan kebun.

"Permisi....." Haris berharap ada yang mendengarny.

Keluar laki-laki tua dengan baju lurik, yang penampilannya terlihat seperti dukun.

"Mas Haris ya.." Sapanya dengan ramah

"Iya pak... saya mau lihat rumah kontrakan pak" Haris menjelaskan maksudnya sambil menengok-nengok mencari bangunan rumah, tapi tidak melihat apapun selain pohon-pohon.

Kakek itu mendekat dan membuka pagar, Haris membawa masuk mobilnya. Memarkirkan didepan pos. Haris bertanya ragu kepada kakak itu.

"Apa ini pak, yang dikontrakkan?Haris menunjuk pos itu.

"Bukan nak.. sini ikut saya" Kakek itu membawa Haris masuk kedalam hutan lalu berhenti didepan pohon basar, pohon beringin yang diberi pagar kayu sekelilingnya.

"Pejamkan matamu nak.." Kakek itu memberi intruksi.

Haris mengerutkan dahinya tidak mengerti, tapi menurut. Toh... kalo kakek itu akan merampoknya, tidak ada yang bisa dirampoknya. Mobil itu sebentar lagi juga disita.

Haris merasakan kakek itu menarik tangannya dan melangkahkan kakinya tiga langkah, tentu Haris mengikutinya.

"Buka matamu sekarang nak" Berlahan Haris membuka mata, dia terbelalak tak percaya dengan penglihatannya. Mereka kini sudah berada dihalaman luas rumah joglo yang sangat luas dan sepenuhnya terbuat dari kayu jati.