Haris pergi kependopo setelah menyantap sarapan yang disediakan Mbok Warni, nasi jangung dengan urap daun pepaya dan peyek ikan asin. Haris sudah lama tidak menikmati makanan rumahan seperti itu. Istrinya lebih suka maskan modern seperti spaghetti atau bulgogi ala korea.
"Bagaimana? Anda sudah memikirkan?" Kata Laksmi sambil jalan mendekat.
"Kalau dari segi fasilitas, saya rasa ini terlalu berlebihan untuk ukuran uang sewa 200rb Nyai"Haris berpendapat.
"Panggil saja Laksmi"Katanya santai
Haris terhenyak, mengingat mimpi semalam Dia tak menyangka kalau namaya akan sama. Bahkan kemarin Dia belum tau namanya.
"Maaf Laksmi.. Apa kita pernah bertemu sebelumnya?" Haris bertanya penasaran.
Dia menatap Haris dengan mata terbelalak seperti terkejut, ada sendu diraut wajahnya.
"Apa kau mengingatku?" Katanya serius
"Mengingat apa?" Haris bingung karena tidak mengerti maksud pertanyaan Laksmi. Mau diingat-ingat bagaimanapun, sepertinya kemarin pertemuan pertama Haris dengannya.
"Kau kekasihku 300th lalu" Dia berkata lirih, tapi aku masih bisa mendengarnya.
"Hahahahahaha..."Haris tidak bisa menahan tawa, bahakan dia sampai menepuk-nepuk pahanya karena geli mendengar jawaban Laksmi, menurutnya ini sangat lucu dan tidak masuk akal.
"Apakah ini lelucon disini"Haris berbisik kearah Laksmi dan mencondongkan badan kearahnya. Laksmi berdehem sambil sedikit memiringkan badan, menghindar dari Haris.
"Lalu, apa maksud pertanyaanmu tadi" Kata Laksmi pada Haris.
"Ah.... bukan apa-apa" Kata Haris sambil melambaikan tangan pelan. Tidak mungkin Haris bilang, semalam dia memimpikan Laksmi. Laksmi menatap Haris dengan dahi berkerut, mungkin tidak puas dengan jawaban Haris.
"Kau pasti punya syarat, kenapa kau memberiku harga semurah itu dengan fasilitas sebagus ini" Kata Haris sambil menyeruput kopi yang disuguhkan mbok warni.
"Menikahlah denganku"Jawabnya santai
"Uhuk uhuk..." Haris tersedak tidak sanggup menelan kopinya, bahkan dia hampir menyemburkannya. Syarat macam apa ini.
"Apakah aku tumbal?"Kata Haris serius, Haris tiba-tiba ngeri dan takut. Dia membayangkan saat malam pertama, mungkin dia akan ditikam dengan belati, lalu darahnya dihisap oleh Laksmi. Tanpa sadar Haris menyilangkan kedua tangannya di dada.
"Kau anggap aku apa?"Katanya sambil melotot, serem sih.. tapi malah membuatnya terlihat semakin cantik.
"Kau tidak tau, tumbal itu harusnya perawan atau perjaka. Sedangkan kau duda" Laksmi menatap Haris remah.
"Wahhhh.... menusuk sekali kata-kata anda" Jawab Haris tersinggung.
"Jadi, kenapa aku?"Haris melanjutkan.
"Karena hanya kamu yang bisa menolong ku"Jawab Laksmi sambil menunduk. Haris semakin tidak mengerti maksud perkataannya. Sebenarnya Haris sudah tidak mengerti dari awal muncul pesan iklan itu. Ini sudah sangat mencurigakan, tapi Haris tidak punya pilihan.
"Berarti.... Pesan iklan itu jebakan" Kata Haris penuh selidik.
"Maaf... tapi tidak ada jalan lain" Katanya Laksmi santai.
"Apa semua kemalangan yang terjadi akhir-akhir ini semua ulahmu?" Suara Haris marah karena teringat kejadian sial beberapa bulan ini.
"Kalo itu bukan aku, aku cuma memanfaatkan keadaan"Jawab Laksmi sambil menyesap kopinya dengan santai.
"Hufffh...."Haris pusing tidak tau harus bagaimana. Dia memijat-mijat keningnya sambil menunduk.
"Sudahlah..., Aku tidak akan memaksa kalau kau tidak mau" Laksmi berdiri dan meninggalkan pendopo lalu masuk kerumah utama.
Haris berjalan keluar rumah, dia masih bertekad untuk keluar dari tempat ini dan kembali kerumahnya. Dia berjalan berlawanan arah dari pasar yang dia lalui kemarin, melewati perkampungan dan
berharap menemukan pohon beringin besar itu.
Hari semakin siang, Haris tidak juga menemukan apa yang dicarinya. Dia terus berjalan masuk kehutan, berlari kecil, terengah-engah ketika menaiki bukit. Tidak juga dia temukan. Dia lelah dan lapar, lalu duduk diatas pohon tumbang. Memetik pisang liar dan menyantapnya.
Hari sudah sore, matahari sudah condong kebarat. Haris memutuskan kembali ke Puri Ayudisa. Karena tidak menemukan apapun dan tidak ada tujuan, dia juga tidak punya tempat tinggal.
***
"Baiklah aku akan ikut permainan mu, sekarang apa yang harus aku lakukan" Kata Haris berusaha terlihat berani didepan Laksmi, yang sebenarnya penuh kecurigaan dikepalanya. Dia pasrah seumpama dia akan mati sebagai tumbal. Toh.. hidupnya sudah hancur.
"Kau harus menikahiku, tujuah hari lagi" Katanya yakin.
"Baiklah..., Tapi kau tau, aku tidak punya sepeserpun harta untuk meminangmu" Kata Haris.
"Tidak masalah, akan aku siapakan" Kata Laksmi santai, lalu memberi intruksi kepada pelayannya.
"Tidak perlu khawatir, ini cuma formalitas"Laksmi melanjutkan sambil menunduk. Haris mengerutkan dahi tidak faham. Baguslah.. kalau cuma formalitas.
"Tapi.. sampai kapan kau akan menahanku?" Kata Haris
"Sampai masalahnya selesai..." Jawab Laksmi
"Sebenernya apa masalahnya?" Kata Haris dengan nada tinggi dan merentangkan tangannya.
Laksmi tidak menjawab, dia hanya memalingkan muka. Seperti enggan menjeleaskan situasinya.
"Baiklah aku tidak akan bertanya, maukah kau mengantarku berkeliling tempat ini, karena Aku akan jadi suamimu, setidaknya aku harus mengenal walau sedikit tentangmu kan?" Kata Haris. Haris merasa, sepertinya dia harus beradaptasi dengan keadaan.
"Baiklah..."Kata Laksmi sambil berjalan dan Haris mengikutinya.
"Kruuukkuuk.." Mereka berdua menengok kearah sumber suara, perut Haris.
"Ah.... Aku kelaparan" Kata Haris meringis.
"Ikuti aku..." Laksmi berjalan menuju rumah utama, memberi instruksi pada mbok-mbok dapur. Dan menuju meja makan mewah diujung ruangan, dengan tujuh kursi penuh ukiran dan meja besar panjang.
"Silahkan duduk" Kata Laksmi. Haris duduk dikursi paling pojok, dan Laksmi duduk didepannya. Mereka hanya diam, sesekali Haris melirik Laksmi.
"Kalau dilihat-lihat sepertinya Dia ini bukan orang jahat" Haris membatin.
"Tapi siapa yang tau, kenal juga baru satu hari, itupun karena aku masuk perangkap" Gumam Haris lagi.
Mbok-mbok dapur datang sambil membawa berbagai macam hidangan. Haris tersenyum, perutnya semakin bereaksi melihat berbagai hidangan lezat itu. Dia segera makan dengan lahap. Laksmi hanya memandanginya iba, sebenarnya Laksmi juga merasa bersalah membawa Haris kedunianya, tapi dia tidak ada pilihan. Bagaimanapun rencananya ini nanti akan menguntungkan juga untuk Haris.
"Kau tidak makan?"Haris bertanya.
"Aku kenyang melihat cara makanmu" Jawab Laksmi jutek.
"Ah... maaf, aku memang sangat lapar" Kata Haris cuek sambil terus melahap makanannya. Haris meneguk air minum hingga kandas.
"Terimakasih makanannya" Haris melirik Laksmi sejenak.
"Bisa kau jelaskan ini dimana? Kau tau kan duniaku tidak disini" Kata Haris.
"Kita berada ditempat yang sama, tapi dalam dimensi yang berbeda, Hanya orang-orang tertentu yang bisa melintas antar dimensi, termasuk kau" Kata Laksmi.
"Bukankah kau, yang membuatku melintas kesini?" Kata Haris.
"Aku hanya menunjukkan jalan, tidak semua orang bisa melintas" Laksmi menjelaskan.
"Lalu dimana jalan keluarnya?" Kata Haris
"Aku tidak bisa mengatakannya sekarang" Kata Laksmi cuek.
"Apakah disini juga tahun 2020?"Kata Haris
"Tentu" Jawab Laksmi singkat
"Lalu... kenapa keadaan disini masih sangat tertinggal" Kata Haris lagi
"Kami bukan tertinggal, tapi memutuskan untuk melestarikan" Jawab Laksmi
Suara gaduh sayup-sayup terdengar, suara pintu dibuka dengan kasar dan terburu-buru. Mbok mban masuk ke ndalem dengan panik.
"Ndoro.... ada Raden Wijaya" Katanya sambil sesekali menunduk.
Sekilas ada raut takut diwajah Laksmi, lalu berganti dengan marah dan tidak nyaman.
"Hmmmbh..."Laksmi menghela nafas lalu berdiri. Berjalan sesantai mungkin menuju pendopo. Haris mengikutinya dari belakang.
Didepan pintu Laksmi berhenti, Haris juga ikut berhenti.
"Untuk sekarang, kau tak perlu ikut campur dulu" Kata Laksmi tegas, lalu melanjutkan perjalanan. Haris menurut, karena dia memang tidak tau permasalahannya. Dia berdiri dibelakang pintu yang terbuka sedikit, berharap bisa mendengarkan pembicaraan mereka.
"Laksmi.... Calon istriku yang cantik"Suara lelaki terdengar pongah. Haris mengintip dari balik pintu.
Terlihat seorang lelaki berbadan kekar berkulit coklat gelap, berpakaian seperti tokoh wayang orang, lengkap dengan mahkotanya. Diluar pendopo menunggu selusin laki-laki dengan membawa tombak dan berdiri tegak, dua orang terdepan membawa payung tinggi berwarna merah.