"Ini gimana ceritanya pak?" Haris bertanya bingung pada kakek itu.
"Panggil saja kakek nak" Kakek itu tersenyum.
"Kek... saya serius.. ini dimana?" Haris pucat karena bingung dan takut.
"Apa aku udah mati kek..."Haris melanjutkan lagi sambil menatap kakek itu, minta petunjuk.
"Tidak nak.. kamu masih hidup, ini Puri Ayudisa, hanya orang-orang terpilih yang bisa kesini" Kakek itu menjelaskan dengan tenang.
Haris terlihat tidak mengerti dan memang situasinya tidak masuk akal, bagaimana mungkin, tadi mereka ada didepan pohon beringin, Haris menutup mata, lalu dia sudah berpindah ketempat lain.
"Kek.. ayo kita keluar dari sini" Haris menarik kakek itu dan mengajaknya pergi. Kakek itu menggenggam tangan Haris dengan dua tangan.
"Mari kita ke pendopo dulu nak" Kakek itu sedikit menarik tangan Haris, Haris menurut meski agak takut. Tempat ini sangat bagus dan luas, Ini seperti rumah-rumah bangsawan jawa pada jaman dulu.
Mereka menaiki anak tangga pendopo dan duduk dikursi panjang kayu jati yang penuh ukiran dan dipelitur, terlihat sangat mahal dan antik.
Haris memandangi keseluruhan pendopo itu, semua tebuat dari kayu jati dan sangat terawat. Penuh ukir-ukiran yang tidak dimengerti olehnya. Luas dan bersih.
Ada tiga kursi panjang dan meja besar diujung pendopo itu, yang kini didudukkan Haris dan kakek.
Berlahan dia menyapukan pandangan pada pintu rumah utama dan melihat seorang perempuan kira-kira berusia awal limapuluh tahun. Memakai kebaya hitam kain bercorak bunga-bunga putih dan bawahan jarik, pinggangnya dililit stagen warna hitam dan rambutnya digelung dan memakai konde. Beliau membawa nampan berisi poci teh dan cangkir terbuat dari tanah.
"Silahkan tuan, ndoro sedang bersiap-siap, sebentar lagi keluar" Katanya sambil menuangkan teh kedalam cangkir dan membungkuk hormat lalu pergi lagi kebelakang.
Kira-kira tiga menit kemudian, keluar lagi dari pintu itu perempuan muda dengan baju kebaya warna kuning gading. Rambut tergerai lurus, bunga mawar kuning segar terselip ditelinga kirinya. Kulitnya putih bersih, wajah halus tanpa jerawat setitik pun, ada tahi lalat kecil dibawah mata kanannya. Hidungnya kecil bangir, bibirnya tidak tebal juga tidak tipis dengan lipstik merah muda. Matanya bulat dengan bulu mata lentik.
Dia melangkah dengan anggun mendekat kearah kami lalu, Kakek segera bersimpuh dilantai ketika wanita itu mulai dekat.
"Kembali ketempatmu Cipto" Wanita itu memerintah kakek Cipto untuk duduk lagi dikursi. Suaranya lembut tapi tegas dan berkarisma. Ekspresinya datar tanpa senyum, tatapannya berwibawa.
"Baik ndoro" Kakek Cipto segera kembali ketempat duduknya.
"Jadi.. ini penyewa yang saya ceritakan tadi pagi nyai, namanya Haris" Kakek Cipto menjelaskan sambil terus menunduk hormat.
Haris menunduk memberi hormat, sebenarnya dia tidak terlalu paham tentang adat istiadat mereka, tapi dia mencoba menghormati karena dia pendatang. Dan Haris merasa agak takut dengan situasinya.
"Maaf ndoro... sepertinya saya tidak jadi menyewa rumah disini, saya permisi dulu" Haris berdiri dan segera meninggalkan pendopo, lalu keluar dari pintu gerbang.
Kakek Cipto berdiri hendak menyusul Haris.
"Biarkan saja"Kata perempuan itu santai. Kakek Cipto kembali duduk.
"Begini nyai, bagaimana kalau dia tersesat, bagaimana kalau dia bertemu Centhini"Kakek Cipto terlihat resah.
"Tenang saja, tidak akan ada yang berani menyakitinya disini" Jawab perempuan itu yakin.
***
Hari mulai gelap, Haris kebingungan saat membuka gerbang, rumah-rumah dari gedhek (anyaman bambu), jalan masih tanah berkerikil, tidak ada lampu, hanya lampu-lampu minyak gantung disetiap depan rumah. Orang-orang berpakaian sangat tradisional, yang perempuan memakai kemben atau kebaya rambut digelung atau memakai konde, sedangkan yang laki-laki memaki bawahan jarik atau celana longgar, memakai baju lurik atau jas tradisional bahkan ada yang tidak memakai baju.
Orang yang lewat seperti heran melihat penampilan Haris. Dia memakai celana panjang hitam slim fit dan kemeja warna merah marun, memakai jam tangan dan sepatu pantofel.
"Lihat orang itu, bajunya sangat aneh" kata perempuan setengah baya pada perempuan muda didekatnya.
"Tapi dia tampan bude"Kata perempuan dengan jarik kemban dan rambut digelung.
"Buat apa tampan kalau aneh"Kata budenya jutek.
Haris mendekati seorang lelaki tua yang menjual kerajinan bambu diujung jalan.
"Pak.. kalau mau kekota kabupaten kearah mana ya?" Dia bertanya serius.
"Ini sudah di kota kabupaten tuan"Lelaki itu menjawab dengan sopan.
Haris menatap bapak itu bingung.
"Kota macam apa seperti ini, dizaman sekarang"Haris membatin.
"Kemana tujuan anda tuan?" Bapak itu bertanya lagi pada Haris.
"Halte bus terdekat dimana ya pak?" Kata Haris
"Halte?" Bapak itu terlihat bingung. Haris tercengang melihat ekspresi bapak itu. Sebenarnya dia ada dimana ini?
Haris memutuskan untuk kembali ke Puri Ayudisa, setidaknya dia nanti bisa membujuk kakek Cipto agar bisa mengajaknya keluar dari tempat ini.
Haris berdiri diam didepan pintu gerbag kayu itu menghela nafas dan bersiap mengetuk, tapi, belum sampai jarinya menyentuh pintu itu, pintu terbuka pelan, keluar kakek Cipto dengan tersenyum.
"Silahkan masuk nak.."Kata kakek Cipto sambil mengayunkan tangan, mengisyaratkan agar Haris masuk.
Haris masuk dengan lunglai, dia kembali kependopo tadi. Wanita itu masih duduk disana dengan tenang.
"Tolong kembalikan saya ketempat asal saya" Haris berkata dengan serius kepada wanita itu.
"Nak.. kebih baik kamu istirahat dulu, kita bicarakan ini besok lagi"Kata kakek Cipto sabar.
"Setuju"Wanita itu berdiri lalu masuk kedalam rumah. Tidak lama kemudian, perempuan pengantar teh muncul lagi.
"Tuan... Mari saya antar keruangan anda"Katanya sambil menunduk
Haris menengok kearah kakek Cipto meminta pendapat, kakek Cipto mengangguk.
Haris berdiri dan mengikuti perempuan tadi, menuju arah samping kanan bangunan itu berjalan kira-kira lima puluh meter. Mereka berhenti disebuah pondok yang terbuat dari bambu yang dianyam rapi, pondok itu agak tinggi dan ada empat anak tangga menuju teras, diterasnya ada sepasang kursi bambu dan meja dengan vas kayu dan lima tangkai bunga mawar merah serta beberapa melati kuncup.
"Tuan silahkan istirahat dipondok ini, sebentar lagi saya siapkan makan malamnya, tuan" Wanita tadi naik kepondok dan membukakan pintu untuk Haris, mempersilahkan Haris masuk lalu menutupnya lagi dan pergi kedapur.
Kamar itu luas sekitar 7x7m, dengan lantai kayu ada dipan kayu penuh ukiran, kasur dengan sprei berwarna putih dan kelambu putih terawang berkibar-kibar tertiup angin dari sela-sela dinding bambu.Disebelah kanan dan kirinya ada meja dengan lilin yang ditutup kaca bening bermotif bunga.
Kamar ini terkesan sangat nyaman sebenarnya. Haris menuju pintu sebelah kanan yang merupakan kamar mandi dengan bak besar dari tanah yang dibakar. Diujung kamar mandi itu ada rak tiga ruang, bagian atas ada tiga helai handuk, rak kedua sabun batang berbentuk kotak berwarna agak hijau dengan serat-serat beraroma sereh. Ada juga batang kayu yang sepertinya itu siwak.
"Mungkin mereka impor dari Arab" Haris menggumam sendiri.
Haris melangkah kearah bak dan memyentuh airnya, hangat. Haris melepas bajunya dan merendamkan diri dalam bak itu. Tempat ini seperti hotel dengan konsep tradisional. Sangat nyaman sebenarnya, tapi tempat ini terlalu aneh.
"Aku harus mencari jalan keluar lagi besok, Ah.. mungkin di pohon beringin jalan keluarnya" Haris masih terus menggumam sambil menggosok badannya dengan sabun sereh.
"Tuan... ini saya bawakan baju ganti"Terdengar suara wanita paruh baya tadi sedikit berteriak dari luar.
"Taruh kasur saja bu... terimakasih"Jawab Haris juga sambil sedikit berteriak.
Krieekk.. Terdengar suara membuka pintu dan langkan masuk.
"Panggil mbok saja tuan"Kata perempuan tadi.
"Baik mbok.." Haris melongokkan kepalanya sedikit keluar kamar mandi.
***
"Laksmi.... "Seorang lelaki memakai pakaian adat jawa berbisik dari balik jendela kamarnya dan membuka sedikit.
Laksmi, perempuan yang dipanggil menoleh kearah sumber suara lalu menengok kekanan dan kekiri seperti takut ada yang melihat, setelah terasa aman dia mendekat kearah suara.
"Iya tuan..."Laksmi menjawab dengan suara pelan.
Lelaki bangsawan itu menatap Laksmi lekat, menyingkirkan anak rambut Laksmi yang berantakan dengan lembut. Laksmi mundur dan menghindar.
"Maaf tuan, ini berbahaya, jika ibu tuan tau saya akan celaka" Katanya dengan wajah pucat.
"Laksmi.. tidakkah kau merindukanku?" Kata lelaki itu lagi.
"Tentu hamba sangat merindukan tuan, tapi hamba hanya seorang pelayan tuan"Kata Laksmi dengan wajah sedih.
Lelaki itu menarik tangan Laksmi dan memeluknya penuh kasih sayang.
"Aku mencintaimu Laksmi"Bisik lembut lelaki itu ditelinga Laksmi. Laksmi tertunduk, karena dia juga memiliki rasa yang sama.
Haris terbangun lalu dia duduk dan termenung, perempuan dalam mimpinya itu sangat mirip dengan perempuan pemilik tempat ini. Lalu, kenapa dia memimpikannya. Yang lebih parah, laki-laki itu seperti dirinya.
"Apa aku menghayalkan pemilik Puri ini?" Haris bergumam sambil nyengir getir.
"Ah... aku pasti sudah gila" Haris menggumam lagi, dia merasa bersalah telah memimpikan wanita lain.
Dia merogoh saku celananya yang dia taruh dimeja samping tempat tidurnya.
"HP ku...." Haris teringat, hp nya tertinggal dimobil.