Chereads / Kau Milik Kami Bertiga / Chapter 6 - Bab 6

Chapter 6 - Bab 6

Setelah sudah puas membeli jajanannya, Zura langsung pergi ke kasir untuk membayar. Saat semua belanjaannya sedang di scanner, lelaki bernama Ael itu masuk ke barisan kasir yang sama dengan Zura, itu membuat dia jantungan seketika. Mata mereka bertemu, Zura cepat-cepat mengalihkan pandangannya ke arah lain.

Setelah belanjaannya sudah beres, Zura langsung cepat-cepat pergi menghindari Ael. Dia benar-benar tidak mau berurusan dengan lelaki itu.

Langkah Zura dipercepat karna dia merasa Ael  berada tak jauh dibelakangnya. "Kenapa dia jalan kaki juga?"

Dia memberanikan diri untuk menoleh ke belakang, benar saja dia melihat Ael jalan tak jauh darinya.

Zura menghentikan langkahnya, dia menunggu Ael mendahuluinya karna dia merasa tak nyaman seakan akan ada seseorang yang akan menikamnya dari belakang. Dan juga dia tidak mau Ael tau bahwa rumah mereka bertetangga, bisa-bisa Ael menyelinap masuk ke dalam selimutnya.

Ael terus berjalan sampai mendahuluinya tanpa menoleh sedikitpun, itu membuat Zura kaget karna jauh dari ekspektasinya. Dia pikir Ael akan menghampirinya, lalu minta makan padanya seperti dua teman sejenisnya, tak disangka lelaki itu hanya menganggapnya tak ada.

Zura akhirnya berjalan di belakang Ael, tak ada sapaan basa-basi apapun dari lelaki itu untuknya.

Lelaki bernama Ael itu sedingin angin malam, langkahnya tenang seperti dedauanan yang bergerak-gerak ditiup angin, rambutnya halus seperti sutra, kulitnya terang seperti cahaya di kegelapan. Zura hanya bisa memperhatikan Ael dari belakang, mengamati punggung indah lelaki itu sampai ia membuka gerbang rumahnya lalu masuk dengan diam.

"Kenapa dia berbeda?" Hanya itu yang keluar dari mulut Zura.

Tak mau ambil pusing Zura memilih cepat-cepat pulang ke rumah karna tiba-tiba rintik hujan mulai membasahi kepalanya.

*****

Cahaya pagi menyelinap masuk dari jendela kamar. Zura menggeliat sebelum membuka matanya dan menetralkan cahaya yang masuk ke retinanya. Ia terduduk kemudian menguap karna merasa masih ngantuk, tapi sedetik kemudian dia merasa lengan kanannya terasa sakit.

Zura melihat memar kebiruan yang ada di lengan kanannya. Baginya itu bukan yang pertama kali, dia sering terbangun dalam keadaan seperti itu seolah ada kejadian yang terjadi di malam hari yang dia tidak sadari.

Pintu terbuka, Ibu Zura masuk sambil membawakan susu dan roti gandum dengan selai strawberry kesukaannya. Tapi dia mengerutkan keningnya ketika melihat lengan Zura yang menampilkan memar merah kebiruan yang sangat jelas karna saat itu Zura sedang memakai tanktop berwarna hitam.

"Kamu masih sering mendapatkan memar seperti ini?" Tanya Ibu Zura dengan memasang wajah paniknya persis ketika barang branded-nya lecet.

Dengan santainya Zura menjawab. "Ini lukisan abstrak alami."

"Kamu mendapatkan keanehan ini sejak umur 8 tahun. Kita sudah ke dokter manapun tapi hasilnya nihil, yang ada jawaban mereka berbeda-beda. Ibu pikir akan sembuh dengan sendirinya karna kata dokter ini bukanlah penyakit serius, tapi melihatmu sudah umur 20 tapi masih mendapatkannya ibu jadi khawatir."

"Sudahlah, Bu. Ini bukan apa-apa, aku hanya mendapatkannya sebulan sekali atau 2 kali dalam sebulan. Aku mau mandi dulu setelah itu sarapan." Kata Zura menenangkan Ibunya, lalu beranjak turun dari tempat tidur.

"Setelah sarapan temui Ibu di taman belakang, ya."

Zura mengangguk sambil mengambil handuknya di gantungan khusus handuk. "Oh, iya, Bu. Kapan acara Papa diadakan? Aku mau kembali ke kos karna besok aku ada kelas."

Ibu Zura menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Sepertinya acaranya di undur. Kau bisa pergi ke kampus dari sini, Ibu menyediakan mobil bagus untukmu. Ibu beli pakai hasil usaha toko bunga Ibu."

"Lupakan." Ucap Zura kemudian berlalu masuk ke kamar mandi.

"Punya anak kok dingin kali sama orang tua." Cibir Ibu Zura sambil berjalan ke luar.

Misya yang sedari tadi diabaikan memilih berada di jendela sambil mengamati Ael yang sedang memupuk pepohonan yang rimbun dan indah di halamannya. Bonsai-bonsai langka menghiasi perkarangan rumah itu, memanjakan mata dengan kehijauan yang alami.

"Azura yang malang..." lirih Misya.

******

Zura pergi ke taman belakang dengan penampilan yang sudah baik dan cantik, harum parfumnya sangat khas di hidung Ibunya. Ia menunduk memberi salam pada Papa tirinya, dan di balas dengan senyuman yang tulus.

Hari minggu memang sudah kegiatan rutin Ibu dan Papanya bersantai di taman belakang menikmati bunga-bunga langka dalam pot, tentunya bunga-bunga itu untuk di jual. Ibunya tidak meletakkan koleksi langka di toko bunga milik mereka karna takut ada tangan karyawan yang nakal, jadi Ibunya memilih meletakkan di taman belakang rumah.

"Ra, sini." Panggil Ibunya agar Zura mengikutinya.

Zura mengerutkan kening ketika Ibunya menyuruh dia memegang pohon bonsai mini yang sangat indah dengan pot kayu yang tampak mewah dengan ukiran naga dan bunga.

"Apa ini, Bu?" Tanya Zura bingung, ia pikir Ibunya memberinya pohon Bonsai mini itu, tapi tebakannya salah.

"Ini antarkan ke tetangga sebelah. Dia memesan ini pada Ibu dan baru datang barusan. Hati-hati megangnya, harganya mahal US$7000."

"Apa?! Pohon biasa seperti ini $7000 dollar?" Zura membulatkan matanya tak percaya. "Kenapa harganya seharga ginjal?"

Papa dan Ibu-nya tertawa mendengar ocehan Zura.

"Ginjal jauh lebih mahal, Ra. Jangan asal." Jawab Ibu Zura masih dengan tawa kecilnya.

"Tunggu-tunggu, Bu. Tetangga mana yang ibu maksud?" Tanya Zura sambil memicingkan matanya.

"Tetangga sebelahlah," tunjuk Ibu-nya ke arah rumah Ael. "Sebelah kanan kan jalan, Ra."

"Ibu menyuruhku mengantar pohon ini? Ke tetangga sebelah?" Tanya Zura dengan wajah syoknya.

Ibu Zura mengangguk yakin. "Tetanga sebelah pemuda tampan bernama Ael. Manatau kamu bisa kenalan sama dia, dia baik orangnya, cuma tidak pernah senyum aja. Dia langganan Ibu dan selalu membeli bunga langka dari Ibu. Ibu sering cerita tentang kamu ke dia, loh."

Zura hanya bisa mengerjapkan matanya tak percaya, dia tidak bisa membayangkan bagaimana dia harus memberikan Bonsai itu pada Ael.

"Udah sana cepat antarkan Bonsainya," Perintah Ibunya. "Kamu jangan syok gitu, nanti kalau udah lihat wajah Ael pasti kamu langsung suka."

"Bye, Bu. Aku pergi dulu, daaaa." Kata Zura cepat-cepat sambil melambai.

......

Zura menarik nafas dalam-dalam, lalu ia buang secara perlahan.

"Oke-oke aku latihan dulu, ehem..ehem." Ucap Zura sambil merapikan bajunya. "Ael, ini pesananmu." Zura memperagakan orang yang sedang memberikan barang ke seseorang dengan kaku, dia berlatih di depan pagar rumah Ael.

"Kayaknya berlebihan kalau seperti ini, oke ulang. Ael nih pesanmu." Dia memperagakan seorang gadis yang sombong dan jutek.

"Kayaknya itu terlalu berlebihan, bisa-bisa dia bilang aku sok cantik. Oke, ulang-ulang. Ini pesanan kamu semoga kamu suka?"

"Akhhhh, mampuslah." Ucap Zura akhirnya dengan frustasi. Tanpa aba-aba dia memicit bel sambil memasang wajahnya seperti biasa.

Tak lama Zura menunggu suara pintu pagar terbuka dengan sendirinya. "Holang kaya.. pagar pake remote." Sempat-sempatnya dia mengatakan hal itu.

Zura masuk dengan ragu. Pohon-pohon Bonsai besar dengan batang yang sangat indah membuat Zura menggeleng takjub.

"Wahh.." Ucapnya sambil celingak-celinguk melihat berbagai tanaman indah yang dirawatkan dengan sepenuh hati dan segenap jiwa.

Matanya melihat Ael yang sedang memotongi ujung-ujung daun Bonsai yang berukuran sepinggang. Dengan sedikit berlari ia langsung menghampiri lelaki itu.

"Ini bunga pesanan anda, Tuan." Ucap Zura dengan sopan.

Ael hanya mengisyaratkan agar Zura meletakkan di bangku taman.

Mata Zura jatuh ke tangan kiri Ael yang banyak bekas luka, tapi bedanya luka ini berwarna biru bukan berwarna merah seperti Manusia pada umumnya.

"Sepertinya luka baru." Batin Zura.

Zura meletakkan dulu Bonsai yang ada di tangannya, lalu ia pura-pura melihat bunga lain yang tidak jauh dari Ael. Dia berdehem terlebih dahulu sebelum mengucapkan. "Kau sangat fanatik dengan tumbuhan?"

Tanpa melirik ataupun menoleh Ael berkata. "Tidak suka."

Zura mengerutkan keningnya bingung. "Tapi kenapa kau sampai segininya?"

"Membutuhkannya."

"Ha?"

Ael hening sejenak sebelum berkata. "Pintu pagar menunggumu."

Zura refleks menoleh ke arah pintu pagar, dia tau itu pengusiran secara halus.

"Ael, lukamu.."

Ael menoleh ke arah Zura, dia menatap mata gadis itu dengan tatapan yang tidak bisa diartikan. "Kau bisa melihatnya ternyata."

Zura langsung gelagapan, dia menyadari kebodohannya.  Dengan cepat dia berbalik dan meninggalkan Ael begitu saja.

"Aihhh, punya otak kok setengah gelas, aduh.." gerutu Zura menyadari kebodohannya. Dia ingat, waktu dia pertama kali bertemu Kin dengan bodohnya dia memberitahu cahaya biru di kepala lelaki itu, hingga ia berakhir menjadi santapan makan malam.

_____________Tbc_______