Chereads / Best Wedding Games / Chapter 2 - 2- Korban Daris (lanjutan)

Chapter 2 - 2- Korban Daris (lanjutan)

Chapter 2 : Korban Daris (lanjutan)

"Selamat menikmati, adik gemesh," ejek Daris dengan senyuman menyeringai di wajahnya. Daris pun memilih keluar dari ruangan tersebut dan membiarkan anak buahnya bekerja. Tak usah ditanya, Laila dan Maira langsung mengerjakan apa yang diperintahkan oleh bosnya. Mereka membuka pakaian Danifa dan Naila hingga menyisakan tanktop yang masih melekat di tubuh mereka. Laila mendudukkan Danifa kasar di atas pangkuan Fadhil lalu mengikat tubuh mereka dengan tali begitupula dengan Naila yang sekarang tanktopnya sudah digunting oleh Maira di atas pangkuan Emyr yang sama diikatnya.

Naila menggeleng. "Jangan, please! Gue mohon, hiks hiks," tangis Naila menggema di ruangan itu. Maira secara paksa mendekatkan wajah Emyr pada Naila. "Please, jangan," lirih Naila lagi. Namun, Maira tidak peduli ia semakin mendorong kepala Emyr mendekat. "Lakukan! Apa perlu gue suruh orang buat ajarin lo hah?!" bentak Maira kesal melihat Emyr yang matian-matian menahan diri.

"Parto!" kepalang kesal, Maira pun memanggil Parto agar membantunya menyelesaikan pekerjaan dengan cepat. Tetapi, itu hanyalah gertakan semata. Benar saja, Emyr langsung menghentikannya. "Jangan!" bentak Emyr pada Maira yang bersedekap dada. Wajahnya nampak santai. Tidak terpengaruh sama sekali.

"Lakukan!"

"Naila..." lirih Emyr yang masih bisa didengar oleh Naila. Naila memberontak agar Emyr tidak melakukannya. Terlebih lagi dengan keadaan mereka yang diberi air tadi--entah air apa-- namun tampaknya akan berefek buruk. Mana mungkin penjahat dengan baik hatinya memberi air untuk menghilangkan dahaga, pasti ada maksud dibalik itu semua, Naila yakin. Wajah Emyr yang semakin mendekat membuat Naila ketakutan. Tubuhnya gemetar hebat. Lain halnya dengan Maira yang tertawa bahagia karena rencananya berhasil. Bosnya pasti senang.

"Bagus! Lanjutkan!" kata Maira yang sekarang sudah keluar membiarkan pasangan itu.

Melihat Maira yang keluar, Emyr segera melepaskannya. Menatap Naila menyesal. "Maaf, Nai...."

"Apa salah gue?!" Wajah Naila sudah basah dengan air mata. Tubuhnya pun tak hentinya gemetar.

"Hushh, nanti cewe tolol itu datang kesini. Jangan nangis..." bisik Emyr berusaha menenangkan. Namun, Naila tidak bisa. Rasanya sulit. "Mama..."

"Nai, gue emang salah. Apa yang harus gue lakukan buat nebus kesalahan gue?" Emyr tampak frustasi.

"Will you marry me?" tanya Emyr setelah mereka terdiam cukup lama. Emyr tidak tahu lagi apa yang harus ia lakukan hingga perkataan itu tiba-tiba terpikir begitu saja. Emyr tidak bodoh kalau Daris memang bermaksud membuat mereka menderita. Dengan kejadian ini, para wanita akan mengalami trauma, depresi, gila lalu bunuh diri dan para lelaki akan dihantui rasa bersalah yang amat besar. Masa depan yang suram, itu yang diharapkan oleh Daris.

Tangisan Naila yang pilu membuat Emyr semakin merasa bersalah. Ia ingin menenangkan namun tangan mereka diikat kencang. "Please, jangan nangis. Kita akan menikah, gue janji. Kita emang ga kenal, tapi gue percaya kita bisa melewatinya. Asal lo juga mau berusaha."

Tak jauh berbeda dengan Naila, Danifa pun diperlakukan hal yang sama. Wanita bajingan itu merobek pakaiannya dan membuat Fadhil melakukan hal yang sama seperti yang Emyr lakukan. "Jangan, please.. ah.." ujar Danifa menangis. Tangisnya tampak tidak berguna apalagi mereka sama-sama dikuasai oleh nafsu.

"Bagus, lanjutkan sis, kalian bisa melakukan apapun, gak ada yang ngelarang, silakan bersenang-senang," ucap Laila sinis membiarkan mereka berdua. Fadhil menatap Danifa sayu. "Maaf..."

"Maaf.."

"Maaf..."

"Kenapa mereka lakuin ini?!" lirih Danifa. Ia menyandarkan kepalanya di dada Fadhil menyembunyikan tangisnya. Ia sudah tak ada tenaga lagi. Harga dirinya sudah hancur. Ia tak lebihnya diperlakukan seperti binatang. "Gue akan bertanggung jawab."

"Kenapa?" Tanya Danifa dengan suaranya yang kian melemah.

"Maaf..."

"Kita menikah, ya.." ujar Fadhil lemah. Ia menatap wajah Danifa yang basah oleh airmata.

"Gue gak cinta sama lo.."

"Kita coba dulu, mau?"

"Tapi bunda gue," Pikiran Danifa satu. Ia berpikir apa yang akan ia katakan pada bundanya. Menikah tidak semudah itu. Mereka masih kuliah. Apa yang akan mereka pikirkan tentang pernikahan muda ini? Lagipula apa emang harus dengan pernikahan?

"Gue disamping lo.." jawab Fadhil menenangkan. Ia mengecup pipi Danifa sayang bahwa ia memang sungguh-sungguh. Danifa menangis mengapa ini bisa terjadi padanya.

"Santapan terakhir!" teriak Parto agar membawa Arisha mendekat padanya. Dengan kasar, Laila mendorong Arisha hingga terjatuh di lantai. "Keluar," usir Parto halus pada Laila.

Parto menyeringai sambil membuka celana Irsan. "Gue sih senengnya kalau dia yang lakuin itu buat gue," kata Parto geli.

"Tapi bos maunya lo yaudah deh nanti gue cari yang lain. Gimana minum obat itu? Asal lo tahu itu obat manjur banget, harganya mahal, bos emang totalitas buat nyiksa lo. Ah, apa efeknya udah ada? Ehm, kalau dilihat sih udah sesak ya," tawa Parto ketika melihat sesuatu yang berada di balik celana Irsan.

Arisha menunduk ketakutan ketika preman itu membawanya lebih dekat pada Irsan yang celananya terbuka. "Jangan!" maki Irsan tak tahan ketika Parto yang mulai berulah.

"Gimana nikmat gak bro?" Parto menyeringai. Tangannya terus saja menahan kepala Arisha agar melakukan apa yang ia inginkan.

Irsan melotot tajam dengan muka yang memerah. "Jangan, bangsat!"

Arisha gemetar. Ia ingin muntah sekarang. Tak pernah terpikirkan bahwa ia dipaksa melakukan ini. "Nikmatin ya bro, gue mau sediakan kamar buat kalian. Biar makin hot mainnya."

"Huek..huekk..huek.."

"Arisha..."panggil Irsan lirih. Ia tak menyangka kalau Daris akan berbuat sejauh ini.

"Apa salah gue?!" kata Arisha histeris memukul dadanya.

"Bajingan!"

"Brengsek!"

"Biadab!"

"Hikss..hikss.." Arisha semakin histeris. Rasanya ia ingin bunuh diri sekarang.

"Hai, kamarnya udah gue siapin. Aduh kenapa nih mbaknya nangis? Tunggu ya mbak bentar lagi kok, sabar.." kata Parto sambil memakaikan kembali celana Irsan. "Laila!"

Laila pun masuk dan segera membawa Arisha menuju kamar kecil nan gelap lalu menyiramnya dengan air dingin hingga membuat wanita itu menggigil. Tanpa diberitahu, Laila pun melaksanakan tugasnya. Ia melucuti semua pakaian Arisha. Ia mengalami kesusahan karena Arisha terus memberontak. "Diam, tolol!"

"Jangan," Arisha sekuat tenaga menahan pakaiannya.

"Tunggu bentar lagi.. sabar.." kata Laila yang sekarang melucuti pakaian dalam milik Arisha. Laila membawa semua pakaian milik Arisha membiarkan wanita itu di dalam. Tak lama, Parto mendorong Irsan dalam keadaan yang sama dengan Arisha. Ia pun mengunci keduanya dalam kamar kecil itu. "Selamat bersenang-senang, bro!" tawa Parto menggelegar yang bisa masih didengar.

"Jangan, San. Please.." mohon Arisha melihat keadaan mereka berdua.

"Menjauh, Sha.." bentak Irsan agar wanita itu pergi. Namun sayang, kamar memiliki kamar mandi yang tak ada pintu, hanya kain yang menutupi. Ranjangnya pun kecil dan tidak ada sofa disana.

"Pergi!" teriak Irsan yang sudah tak tahan. Ia takut gelap mata dan melakukan hal bodoh pada wanita di depannya. Arisha berlari ke ranjang dan menyelimutinya dengan selimut tipis.

"Arghhh" teriak Irsan. Ia butuh pelampiasan untuk bisa mengurangi rasa sakitnya. Melihat Arisha yang meringkuk kedinganan, akal sehat Irsan hilang. Ia mendekat dan langsung menerjang wanita itu dan menciuminya kasar.

"Jangan! Irsan!" kata Arisha memberontak. Irsan tidak peduli alias ia sudah diselimuti oleh nafsu hingga teriakan Arisha pun tak membuatnya berhenti. Lama kelamaan, Arisha pun suara tangisan Arisha tidak terdengar lagi. Ia pasrah, tak ada lagi yang bisa ia lakukan, ia lelah, ia ingin mati.

Malam itu, Irsan melakukannya sampai pagi walaupun Arisha sendiri sudah tergolek lemas tak berdaya. Irsan yang menikmati Arisha sendiri, menuntaskan hasratnya. Irsan sadar kalau ia adalah bajingan brengsek yang menikmati seorang wanita yang mungkin saja sudah pingsan hanya untuk kepentingannya semata.

"Maaf, maaf Sha, aku akan bertanggung jawab akan hal ini," kata Irsan mengecup pipi Arisha sebelum ikut tertidur di samping wanita itu. Ia tidak tahu kalau sekarang matahari mulai menampakkan wajahnya.