Chapter 4 : Mencari
**
"Apa?!" Teriak Weni kaget dengan ucapan yang baru saja anak laki-lakinya katakan. Pasalnya, ia benar-benar tidak akan menyangka jika perkataan itu akan keluar dari mulut anak sematawayangnya. Bahkan dalam mimpi sekalipun tidak pernah.
"Bagaimana bisa, Irsan?" Weni bertanya lagi memastikan jikalau kupingnya salah dengar. Suaminya, Fendy mencoba menenangkan istrinya. Ia juga sama terkejutnya dengan apa yang baru saja dikatakan oleh anaknya. Fendy mencoba menarik nafas dalam. Setiap masalah baiknya diselesaikan dengan kepala dingin dan diantara mereka harus ada yang waras agar masalah ini bisa menemui solusinya.
"Iya, Irsan mau menikah," kata Irsan terlihat santai padahal dalam hatinya tak karuan. Ia bimbang, apa keputusannya ini sudah benar? Ataukah ia mengambil langkah yang salah untuk menyelesaikan masalahnya? Namun, seberapa keras pun Irsan mencoba menyangkalnya, kejadian itu tak tahu malunya selalu berputar di kepalanya. Perasaan bersalah itu kembali menyeruak. Terlebih ketika ia tidak mendapat kabar sama sekali tentang Arisha.
"Kenapa? Kamu menghamili anak orang?" Tanya Weni sengit. Bukannya ia tak mengizinkan, hanya saja anaknya itu masih muda. Masih perlu melanjutkan pendidikan. Jalannya masih panjang. Weni akan dengan senang hati memberi restu kalau anaknya sudah bekerja. Ia tak perlu khawatir dengan keadaan menantunya, nantinya.
Melihat Irsan yang menuduk meyakinkan dugaan Weni. Dengan refleks, ia menampar anaknya keras. "Kurang ajar! Mama gak pernah ajarin kamu begini, San. Apa begini kelakukan kamu?! Mama dan papa selalu memberi apa yang kamu mau. Kamu minta ini, kami beri. Ternyata sikap kami seperti ini sudah disalahartikan sama kamu. Mama kecewa!" Ucap Weni emosi. Fendy menarik istrinya dalam pelukan. Ruangan hening seketika. Hanya suara tangisan seorang ibu yang kecewa dengan kelakuan anaknya.
"Ma.. aku dijebak," kata Irsan memulai.
"Dijebak? Jelaskan, San." Fendy menatap anaknya tajam. Mungkin memang benar, kalau laki-laki lebih bisa menggunakan otaknya dalam menghadapi suatu masalah.
"Daris, Pa. Dia menculik aku, Fadhil dan Emyr. Kami dihajar habis-habisan dengan anak buahnya. Ingin melawan tapi tubuh kami diikat. Mereka juga pakai senjata," Weni mendongak menatap anaknya dengan wajah yang masih basah oleh air mata meminta penjelasan lebih lanjut.
"Mereka juga menculik wanita, Pa," lanjut Irsan lagi ketika kedua orang tuanya sudah mulai menaruh perhatian padanya lagi.
"Wanita itu ada diantara mereka?" Tanya Fendy.
Irsan mengangguk lemah. "Daris juga memaksa kami meminum air yang sudah dicampur dengan obat," Irsan menarik nafas sebelum melanjutkan. "Mereka membawa kami di sebuah ruangan dan preman itu memaksa kami. Papa pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya." Irsan menatap kedua mata Fendy lekat. Ya, Fendy tahu. Tidak perlu membeli otak Einstein untuk tahu maksud dari perkataan anaknya itu.
"Dimana wanita itu?"
"Gak tahu, pa. Aku gak pernah melihatnya lagi," jawab Irsan jujur. Weni kembali menangis. Kali ini isaknya semakin keras. Ia tahu pasti wanita itu sedang mengalami hari yang berat. Penjahat itu memang biadab. Menghancurkan masa depan seorang gadis dan juga anaknya.
"Kita cari alamatnya, San. Kamu harus bertanggung jawab. Papa takut wanita itu melakukan hal di luar dugaan," kata Fendy memberi solusi. Irsan pun mengangguk dan segera meminta teman-temannya membantu mencari. Ia juga memaksa Danifa dan Naila. Namun jawabannya tetap sama. Mereka juga tidak tahu dimana Arisha. Gadis itu seakan menghilang dari bumi ini. Irsan sangsi kalau Arisha tidak tahu kalau sahabat mereka sudah menikah. Ya, Danifa, Naila, Fadhil dan Emyr memutuskan menikah. Hanya di KUA tanpa pesta meriah. Fadhil yang dipukuli oleh ayah Danifa, Naila yang diusir dan Danifa yang mendadak miskin karena semua fasilitasnya dicabut. Hanya Emyr yang masih dengan segala fasilitasnya dan sehat. Orang tuanya pun terkesan tidak peduli karena urusan bisnis. Keputusan berat yang mereka ambil dan Darislah pelaku yang sudah mengubah hidup mereka semua.
Dan untuk Daris sendiri, Irsan sedang mencari pria itu yang entah dimana. Ia juga mencari anak buahnya terutama Laila, Maira dan Parto yang berperan besar dalam kehancuran mereka. Ia sudah melaporkannya pada polisi dan mereka menjadi buronan sekarang. Daris memang harus membayar semuanya.
"Siapa nama wanita itu?" Tanya Weni yang sekarang sudah bisa mengatur emosinya. Perasaannya bisa dibilang lebih membaik ketimbang tadi.
"Arisha. Arisha Shasmira, Ma."
"Apa kalian melakukannya?" Tanya Weni lagi mencoba memastikan pikirannya yang terus saja bertanya-tanya.
"Melakukan apa?"
Weni mengerang dengan sikap bodoh anaknya. "Hubungan suami istri. Apa kalian melakukannya?"
Irsan terdiam. Weni sudah tahu jawabannya. Lagi-lagi air mata itu kembali turun. Ia seperti merasakan apa yang wanita itu rasakan. "Cepat cari dia, San. Wanita itu mungkin saja hamil sekarang. Kalau kamu tidak cepat, anak kamu bisa saja keguguran. Lebih parahnya lagi wanita itu bisa bunuh diri!"
Irsan bungkam lagi. Apa yang diucapkan mamanya memang masuk akal. Kenapa hal itu tidak pernah terlintas dalam otaknya? Perasaan marah, kecewa, dan bingung itu bercampur jadi satu. "Tidak mungkin," Irsan menggeleng. Ia berusaha menyalahkan apa yang dikatakan mamanya walaupun kalau dipikir seribu kali pun memang terasa benar.
"Apa yang akan dilakukan oleh wanita yang hamil tanpa cinta, tanpa pernikahan? Lebih kasarnya saja, apa yang akan dilakukan oleh wanita yang diperkosa?" Tanya Weni tajam.
Apa yang akan mereka lakukan? Irsan tidak tahu. Ia merasa jika keadaan seperti itu pilihan paling tepat memang menghilang. Kebanyakan dari mereka pun lebih memilih bunuh diri daripada melawan kerasnya dunia. Sanksi sosial, penghakiman, hidup dengan bayi hasil pemerkosaan, dan masa depannya pun tidak lagi terarah. Masalah hidup akan selalu mengejar kemanapun kita mencoba berlari. Singkat saja, menurut mereka yang mengalami hal tersebut mungkin mati memang pilihan yang tepat meski tidak semua orang akan melakukan itu tergantung dari kondisi fisik, mental, dan lingkungannya masing-masing. Pertanyaannya, apa Arisha cukup mampu bertahan? Irsan tidak tahu dan kemungkinan terburuk itu memang selalu ada. Tidak. Itu tidak mungkin terjadi dan tidak akan pernah terjadi.
Irsan memohon berkali-kali pada Fadhil agar istri sahabatnya itu mau memberitahu. Tapi semua percuma, mereka juga tidak ada yang mengetahuinya.
"Rumah orang tuanya dimana, Dhil?"
"Gak tahu, Danifa gak ada ngomong daritadi. Dia nolak bicara."
"Please..."
"Setahu gue mereka ada di Kalimantan," jawab Fadhil sedikit ragu.
"Tahu darimana?"
"Gue pernah denger Danifa nelpon Naila. Coba lo tanya pihak kampus."
Pihak kampus.
Benar juga.
"Oke, thanks ya."
"Oke. Semoga lo ketemu."
Irsan segera mematikan sambungan. Ia menatap Fendy memohon. "Pa, papa bisa bantu, Irsan?"
"Apa?"
"Papa bisa ngomong sama pihak kampus minta informasi Arisha?"
"Bisa tapi itu pelanggaran privasi, Irsan."
"Demi cucu kita, pa." Weni memaksa dan Fendy hanya bisa mengangguk. Ia pun menghubungi salah satu koleganya disana.
Hitungan menit..
Mereka pun mendapatkannya.
"Banjarmasin, Kalimantan Selatan."
"Dia dulunya di Makassar tapi pindah kesana karena ayahnya dipindahtugaskan."
Irsan mengangguk paham. Ia pun segera memesan tiket pesawat saat itu juga di aplikasi yang terkenal 'travelokea dulu, momen bertemu kemudian' dengan cepat. Beruntung sekali ada penerbangan saat itu.
"Mama siap-siap," Weni segera berlari ke arah kamar menyiapkan pakaian mereka. Ia juga meminta asisten rumah tangga menyiapkan pakaian Irsan. Hanya tersisa Fendy dan Irsan disana.
"Maaf," Irsan tak berani menatap Fendy. Ia tahu kalau papanya sama kecewa seperti mamanya.
"Ada yang bilang kalau anak perempuan itu kesayangan dan anak laki-laki kebanggaan. Daridulu kamu memang anak kebanggaan papa," Ucapan Fendy membuat hati Irsan senang sekaligus sakit.
"Maaf.."
"Kamu bertanggung jawab pun papa sudah bangga, San."
Irsan mendongak. Menatap wajah pria lima puluh tahunan akhir di hadapannya. "Papa memang kecewa, tapi papa percaya dengan kamu. Senakal apapun kamu, papa tahu kamu gak akan keluar batas seperti itu. Kamu memang kebanggaan papa."
"Makasih, Pa." Hanya itu yang bisa Irsan katakan ketika oang tuanya masih percaya padanya.
"Papa akan melamarkan gadis itu untuk kamu. Persiapkan mentalmu," ujar Fendy terkekeh kecil. Ia menepuk pundak anaknya sebelum menyusul istrinya di kamar.
Irsan menyandarkan kepalanya di bahu sofa. Mendongak menatap langit-lagit rumahnya. Rumah yang menyimpan banyak kenangan. Irsan tidak akan pernah melupakan hari itu. Hari Selasa, tanggal sepuluh bulan sebelas tahun dua ribu dua belas pukul sepuluh malam lewat lima belas menit dimana kehidupannya berubah dalam sekejap.
Daris Ganendra, pria brengsek yang telah merusak semuanya.
Tbc