Playlist : Langit abu-abu ----Tulus
Chapter 8 : Seperti semula
**
Dunia tidak akan berhenti hanya untuk merayakan kesedihannya.
Kalimat itu terus saja Arisha lafalkan dalam hati. Benar, masih banyak yang harus ia lakukan. Hari ini, Arisha kembali melanjutkan kuliahnya yang sempat tertunda karena kejadian waktu itu. Dengan kemeja putih, jeans hitam, sepatu olahraga berwarna biru dan rambut yang ia ikat satu membuat penampilannya semakin terlihat segar.
Ia menatap dirinya sekali lagi di cerimin. Arisha menghela nafas. Ia harus bisa, harus bisa menyelesaikan kuliahnya seperti yang diinginkan orang tuanya agar apa yang ia lakukan selama ini tidak sia-sia. Perjuangannya hingga sampai di titik ini tidak mudah. Mulai dari belajar mati-matian untuk masuk perguruan tinggi agar lolos SBMPTN sampai harus mengikuti bimbel di luar kota. Semua itu, Arisha tidak akan melupakan semua perjuangannya. Alasannya satu, ia ingin membuat orang tuanya bangga meski sekarang justru orang tuanya kecewa dengan apa yang terjadi dengan dirinya sekarang.
Arisha, lo pasti bisa!
Berulang kali Arisha mensugesti dirinya namun berapa kalipun ia mencoba justru semakin membuatnya minder. Entahlah ia hanya merasa kalimat yang ia ucapkan itu hanyalah omong kosong. Tak ingin pikiran itu terus menghantuinya, Arisha segera turun untuk bergabung dengan Irsan dan mertuanya. Ya, mereka masih tinggal bersama orang tua Irsan. Arisha tidak masalah tinggal bersama hanya saja ia sungkan dan malu karena tidak banyak membantu. Kerjaannya selalu di kamar. Kalau capek tidur, kalau lapar tinggal makan. Ia pun sudah ingin membantu namun Weni melarangnya dan Arisha pun juga tidak menolak karena badannya itu mudah sekali merasa lelah. Namun sampai sekarang Arisha tidak mendengar keluhan dari mertuanya dan itu membuat Arisha sedikit tenang.
"Arisha makan yang banyak ya. Jangan kecapean di kampus," nasihat Weni sambil membantu Arisha duduk dan mengambilkan nasi. Lihat, mertuanya memperlakukan dirinya layaknya seorang ratu di istananya.
Arisha mengangguk dan tersenyum sambil berterima kasih pada Weni yang sekarang juga ikut makan bersama. Seperti biasa semuanya diam dan Arisha sudah bisa beradaptasi dengan aturan di rumah ini.
"Ma, Irsan berangkat dulu," pamit Irsan menyalimi kedua orang tuanya diikuti oleh Arisha.
"Hati-hati ya. Irsan, jangan ngebut. Awas kamu!" Ancam Weni yang dibalas anggukan oleh Irsan. Arisha tersenyum kepada Weni sebelum berangkat.
*****
"Arisha!" Panggil Dea teman seperantauannya.
"Kenapa?" Jawab Arisha ketika Dea menghampirinya di depan gedung fakultas.
"Lo kemana aja hah?!" Dea berseru heboh sambil memindai tubuh Arisha. Namun, tak dipungkiri Dea menghembuskan nafas lega ketika melihat temannya baik-baik saja.
"Gue hubungi lo gak pernah diangkat, gue khawatir tahu. Gue kira lo udah mati, suer." Mendengar ucapan Dea, Arisha pun menabok lengan Dea keras hingga membuat perempuan berdarah Dayak itu meringis kesakitan. Dea ini kalau berbicara memang suka nyablak!
"Elah masih sakit aja tuh tabokan lo! Percaya deh gue kalau lo sehat-sehat aja," gerutu Dea lalu menggandeng tangan Arisha menuju kelas mereka.
Dea terus saja berceloteh. Menceritakan kejadian apa saja kepada Arisha. Mulai dari yang penting sampai yang tidak penting-penting amat. "Heboh banget ini selama lo gak ada."
"Masa?"
Dea mendengus. "Yaelah, lo mah gitu sok gak terkenal padahal mah," cibir Dea yang tak mengerti sifat Arisha yang merasa dirinya tak terkenal.
"Biasa aja kali," Arisha memutar bola mata malas mendengar ucapan hiperbola Dea. Ia tidak merasa seterkenal itu. Jika ada yang bertanya ia jawab, jika ada yang mengajak berkenalan ia oke saja, dan jika ada yang mengajaknya berteman pun Arisha akan menerimanya dengan senang hati. Di perkuliahan seperti ini memang salah satunya menambah teman dan relasi.
"Ish gue yakin nih tampang-tampang kaya lo gini pasti gak tahu kan kalau Justin Bieber udah tunangan?" Ujar Dea sinis.
Arisha melotot tak percaya. Selama itukah dia tak tahu berita? "Serius lo?!"
"Nah kan bener."
Arisha menggoyangkan tangan Dea heboh agar Dea segera memberitahunya kebenaran berita itu. "Siapa? Siapa cewe itu, De?"
"Yang jelas bukan Selena Gomez," jawab Dea seadanya yang justru memancing tatapan penasaran Arisha.
"Siapa?!" Tanya Arisha keras hingga mengundang tatapan dari mahasiswa lainnya.
"Hailey Baldwin. Lo liat deh captionnya Justin gila romantis banget, Ris. Gimana ya perasaan Selena? Terus gue tadi malam udah stalking instagram cewenya dan lo tahu gak?"
Arisha menggeleng. "Apa?"
"Di salah satu postingan Hailey, Justin komen disitu. Romantis banget, Ris. Dats mine katanya.. huaaaa" kata Dea dengan muka yang disedih-sedihkan. Arisha melotot kaget. Yaampun Justin akuhh.
Belum juga habis keterkejutannya akan berita Justin, seseorang memanggilnya. Arisha menoleh ke asal suara. Ia terkejut ketika melihat Mike-lah orangnya.
"Kemana aja? Lama gak ketemu." Mike tersenyum riang membuat Arisha ikut tersenyum. Mike memang salah satu pria idaman di kampusnya. Senyumnya manis kayak gula.
"Ada urusan. Kenapa Mike?"
"Soal tawaran gue waktu itu, gimana?" Pertanyaan Mike membuat Arisha terdiam. Pasalnya ia belum memikirkan tawaran Mike lagi dan hingga dua bulan lamanya ia belum juga memberikan jawaban atas tawaran tersebut. Bagaimana tidak, karena kejadian itu ia lupa dan tidak pernah memikirkan lagi tawaran itu. Melihat Arisha yang terdiam, Mike menghela nafas kecewa. Perlombaan sudah semakin dekat dan mereka memerlukan pengganti vokalis yang sedang dirawat di rumah sakit pasca kecelakaan beruntun di tol.
"Mike, sebenarnya gue..."
Ucapan Arisha langsung dipotong oleh Mike. "It's okay. Gue gak bakalan maksa," kata Mike lesu yang tahu apa yang akan diucapkan Arisha meski sebenarnya ia masih berharap agar Arisha mau menerima tawarannya.
"Ehm Mike, gue gak yakin tapi kita bisa ketemu di ruang musik nanti," ujar Arisha ragu setelah mereka cukup terdiam lama. Mendengar itu, Mike menatap Arisha berbinar. "Makasih, Ris. Gue tunggu sama anak-anak disana."
Arisha menghela nafas ketika melihat punggung Mike yang perlahan menjauh dari pandangannya. Dea menepuk pundak Arisha pelan membuat Arisha mengalihkan pandangannya pada Dea. "Apa?"
"Kita telat, bego!" Ujar Dea membuat Arisha melotot. Mereka pun segera bergegas menuju kelas.
***
Arisha berjalan santai menuju ruang musik. Dea memutuskan untuk pulang duluan karena ingin segera tidur. Arisha maklum saja. Ia tahu bagaimana seorang Dea yang suka sekali tidur.
Arisha menyipitkan matanya ketika melihat sosok yang ia kenal. Naila dan Danifa yang berjalan dari arah berlawanan dengannya. Meski mereka satu jurusan, jadwal mereka sedikit berbeda. Arisha tidak melihat mereka pagi tadi karena langsung menuju kelas dan setelah istirahat pun ia menyuruh Dea untuk membeli makanan selagi ia tidur sebentar. Kehamilannya ini membuat Arisha sering kelelahan dan ingin tidur saja.
"Naila! Danifa!" Teriak Arisha mengagetkan kedua wanita itu. Arisha berlari menuju mereka mengundang pelototan keduanya. Danifa sudah memberi tahu Naila kalau sahabat mereka yang satu itu sudah menikah dan hamil. Respon Naila pun sama dengannya. Rasa benci pada Irsan dan suami mereka pun semakin menjadi.
"Jangan lari!" Teriak mereka berdua membuat Arisha kebingungan. Arisha menghentikan larinya dan kembali berjalan menuju keduanya.
"Kenapa?" Tanya Arisha polos.
"Lo lagi hamil bego!" Bisik Danifa membuat Arisha mengerjap. Astaga ia lupa kalau ia hamil sekarang. Arisha meringis pelan lalu terkekeh menampilkan deretan giginya yang dibalas dengusan Danifa dan Naila.
"Mau kemana lo?"
"Ruang musik."
"Ngapain?" Tanya Naila bingung.
"Ada janji sama Mike," kata Arisha pelan. Jantung Naila berdebar.
"Buat apa?" Tanya Naila tak sabar. Mike adalah pria yang selalu mereka hindari sebisa mungkin. Hubungan Naila dan Mike tidak baik. Meski dulunya mereka pernah menjalin kasih hingga dua tahun lamanya namun semua harus berakhir karena Mike mengatakan wanita lain yang sayangnya adalah sahabatnya sendiri. Arisha.
"Dia nawarin gue jadi vokalis gantiin Deby, Nai."
"Kok lo mau sih?!" Protes Naila yang tak suka dengan kebenaran yang baru saja disampaikan Arisha. Arisha mendengus pelan. "Gue juga gak mau tapi dia terus neror gue. Yaudah gue iyain aja. Udahlah lupain aja, Nai."
Perkataan Arisha membuat Naila terdiam. Cukup menusuk hatinya. Arisha tidak tahu saja kalau alasan mereka putus karena dirinya. Bukannya Naila menyalahkan Arisha hanya saja ia masih tidak terima dengan Mike yang memutuskan dirinya dengan alasan klise seperti itu. Apalagi Mike sengaja menjalin hubungan dengannya agar dekat dengan Arisha. Siapa wanita yang tak sakit kalau diperlakukan seperti itu? Bahkan rasa sakit itu masih berbekas di hatinya hingga sekarang.
"Terserah," kata Naila lalu berlalu pergi. Danifa menatap Naila sedih. Ia tahu alasannya. Naila sudah menceritakan semua padanya namun Danifa tidak bisa berbuat banyak. Posisinya tidak menguntungkan disini. Ia tidak ingin memihak Naila ataupun Arisha. Ia memilih menjadi pihak netral disana.
"Kenapa?" Tanya Arisha bingung melihat Naila pergi dengan muka sedih. Arisha merasa bersalah takut ucapannya menyinggung perasaan sahabatnya.
Danifa menggeleng pelan. Ia mengusap lengan Arisha sebelum menyusul Naila. Arisha menghembuskan nafas kasar dan memilih melanjutkan jalannya menuju ruang musik dimana Mike dan yang lainnya sudah berkumpul.
"Sini, Ris!" Kata Mike kegirangan. Arisha tersenyum kecil lalu mengambil posisi.
"Ayo kita mulai dulu. Gue duduk aja ya," kata Arisha yang diangguki mereka semua.
Suara Arisha mulai mengalun memenuhi seisi ruangan. Mike tersenyum puas. Hatinya menghangat mendengar nyanyian Arisha.
Di bawah basah langit abu-abu
Kau dimana?
Di lengangnya malam menuju minggu
Kau dimana?
Di bawah basah langit abu-abu
Kau dimana?
Di lengangnya malam menuju minggu
Kau dimana?
Kau dimana?
Mike bertepuk tangan diikuti oleh teman-temannya. Arisha membalas dengan senyum. Dibalik pintu itu, sepasang mata melihat keakraban istrinya dengan laki-laki yang ia yakin berhubungan dengan penyebab kejadian yang dialami mereka semua.