"Kau mengenalnya?" Tanya tiba-tiba seorang wanita dari arah belakang punggung Alena.
Alena memutar tubuhnya, menghadap seseorang yang tadi bertanya padanya. "Nona Valle? Siapa yang Anda maksud?" Tanya balik Alena.
"Pria tadi, Ben Abraham." Jelas Valleria.
"Ben Abraham?" Alena tampak berfikir sejenak, lalu kemudian teringat akan Robin dan juga Daddynya yang tadi sedang bersama dirinya. "Ohh itu. Tidak Nona. Aku hanya mengenal Robin, putranya." Lanjutnya menjelaskan.
"Ku kira kau mengenal Ben. Dia pria yang sedikit arogan, terlebih saat berurusan dengan masalah pekerjaan." Valleria mendudukan dirinya pada kursi disamping Alena.
"Nona mengenalnya?" Tanya Alena penasaran.
"Aku hanya pernah bertemu dengannya dua kali. Dia rekan bisnis Jasson, tunanganku." Jelas Valleria.
"Ohh begitu." Gumam Alena pelan.
"Sepertinya anak itu menyukaimu? Apa kau tidak ingin mendekati Daddynya? Dia pria yang cukup kaya dan berada."
"Aku tidak memikirkan itu, Nona Valle. Aku hanya merasa simpati pada anak kecil itu. Dia begitu pandai dan menggemaskan, namun selalu terlihat sedih dan kesepian."
"Hati-hati. Biasanya rasa simpati adalah awal dari tumbuhnya cinta dihati." Goda Valleria menyunggingkan senyumnya.
"Tidak, Nona." Singkat Alena menundukkan kepala. Tampaknya kini wajahnya mulai memerah, karena menahan malu atas godaan Valleria.
**
Ben sudah memberhentikan mobilnya didepan rumah. Dia keluar dari dalam mobil, lalu menarik pergelangan tangan putranya dan membawanya berjalan cepat untuk masuk kedalam kamar. Ben menutup pintu kamar putranya dengan kasar, hingga menimbulkan suara dentuman keras. Dia menatap tajam kearah putranya yang tampak sedang menundukkan kepala, untuk menyembunyikan wajah takutnya.
"Bicaramu tadi benar-benar sudah kelewatan, Robin!" Bentak Ben pada putranya. Dia tidak habis pikir, jika Robin bisa mengatakan hal seperti itu pada wanita yang baru saja dikenalnya. "Tidak seharusnya kau berbicara seperti itu! Dia mungkin memang belum menikah, tapi siapa tahu dia sudah bertunangan." Lanjutnya memarahi sang putra.
"Maaf, Daddy." Ucap Robin pelan.
"Daddy yang sudah mendidikmu! Buka Ibumu yang sudah jelas-jelas tidak menginginkamu! Jadi kau harus bersikap baik dan menuruti ucapan Daddy sekarang!" Ucap Ben tegas yang kemudian melangkahkan kakinya untuk keluar dari kamar putranya. Dia sudah cukup lelah hari ini, karena menghadapi sikap kekanakan Robin yang tidak ada habisnya.
Ben sudah berada didalam kamarnya, dia mengusap kasar wajahnya dengan memejamkan mata. Sebenarnya Ben tidak ingin memarahi putranya, dia hanya merasa jengah atas permintaan Robin yang menginginkan adanya seorang Ibu. Bukan karena dia tidak ingin membahagiakan Robin dengan memberinya Ibu baru, namun dia belum siap dan tidak akan siap untuk memulai hubungan baru dengan seorang wanita.
Ben sudah cukup pusing dengan kelakuan Elena, mantan istrinya yang masih saja mengusik hidupnya. Elena sudah melanjutkan hidup barunya, namun dia masih saja menganggu kehidupan Ben bersama putranya. Sudah beberapa kali Elena ingin menemui Robin, namun Ben selalu mencegahnya. Dia tidak ingin jika Robin kembali bertemu dengan Ibunya, dan takut jika nanti Elena akan mempengaruhi fikiran polos putranya.
Elena bukanlah sosok yang baik sebagai seorang Ibu. Dia bahkan tega meninggalkan Robin saat usianya masih 3 bulan dan masih membutuhkan air susu darinya. Dengan terpaksa Ben menggantinya dengan susu formula. Bahkan beberapa kali bayi mungil yang bernama Robin itu harus dirawat dirumah sakit karena alergi dengan susu formula tertentu.
Kejadian-kejadian diwaktu itu masih tertanam jelas dalam ingatan Ben. Dia merasa sedih saat melihat bayi lelaki mungil yang terus saja menangis karena beberapa suntikan dan juga jarum infus yang menancap ditangan kecilnya. Ben tidak tega, bahkan sering kali dia menangis saat melihat kondisi putranya waktu itu.
**
Alena baru saja keluar dari kaffe tempatnya bekerja. Dia teringat akan kondisi Robin yang tadi menampakkan wajah sedihnya saat meninggalkan kaffe bersama Daddynya. Anak kecil itu pasti akan mendapati amarah Daddynya lagi, sungguh kasihan sekali. Alena jadi merasa bersalah dan tidak tega melihat kesedihan yang terpancar dari wajah Robin tadi. Dia ingin bertemu dengan Robin dan menghiburnya agar bisa tersenyum lagi.
Alena melangkahkan kaki, dan tanpa terasa dia sudah sampai disebuah rumah mewah nan megah yang kemarin didatanginya. Alena mengamati rumah tersebut, entah kenapa langkah kakinya membawanya kesini. Dia tidak tahu kenapa fikirannya selalu tertuju pada anak lelaki yang baru ditemuinya kemarin itu. Dia memberanikan diri untuk melangkah memasuki pekarangan rumah tersebut. Dan saat sudah sampai didepan pintu, dia langsung menekan tomol bel yang ada disana.
Alena menunggu beberapa detik, hingga tampak sesosok wanita paruh baya yang membukakan pintu untuknya.
"Permisi." Ucap Alena sopan dengan senyumnya.
"Iya Nona, mencari siapa?" Tanya wanita paruh baya itu yang mungkin adalah salah satu pelayan di rumah tersebut. Alena bisa menebaknya dari pakaian yang dikenakannya, tampak seperti seragam-seragam pelayan yang ada di rumah orang kaya.
"Apakah Robin ada?" Balas Alena.
"Ada. Maaf nona, apakah Anda gurunya dari sekolah?" Tanya pelayan itu lagi, yang disambut gelengan kepala oleh Alena.
"Bukan, saya hanya temannya. Katakan saja, jika Bibi Alena datang untuk menemuinya." Jelas Alena.
Pelayan itu pun menganggukan kepala, lalu mempersilakan Alena untuk masuk kedalam rumah. Dia pergi meninggalkan Alena, dan berjalan kearah kamar Robin untuk memanggilnya.
Alena baru saja akan mendudukan dirinya, namun dia justru melihat Robin yang tampak berlari menuruni anak tangga. Dia mengurungkan niatnya untuk duduk, lalu menyambut Robin yang berlari karahnya.
"Bibi." Ucap Robin setelah menjatuhkan tubuhnya dalam pelukan Alena.
Alena balas memeluk tubuh kecil Robin yang tampak senang saat bertemu dengannya. Dia mengurai pelukannya, lalu bertanya. "Apa tadi Daddy memarahimu, sayang?" Mengelus lembut kepala Robin yang tampak mengangguk dengan wajah senduhnya.
"Apa Bibi juga marah padaku?" Tanya Robin pelan, seakan takut saat mengucapkannya.
Alena menggelengkan kepala, lalu dengan memperlihatkan senyumnya dia berkata. "Tidak. Untuk apa Bibi marah padamu, sayang."
"Benarkah. Bibi, apa itu bertunangan?" Tanya Robin lagi yang membuat kening Alena berkerut.
"Bertunangan? Ehm... itu seperti menikah, hanya saja belum boleh melakukan hal lebih layaknya sepasang suami-istri." Jelas Alena kembali tersenyum.
"Apa Bibi sudah bertunangan?" Pertanyaan Robin kembali membuat Alena menggelangkan kepala.
"Belum. Bibi masih sendiri." Senyum Alena. Dia hanya sedang berfikir jika anak kecil dihadapannya saat ini benar-benar pandai. Anak ini hanya ingin tahu dengan menanyakan hal-hal yang belum diketahuinya.
Robin yang mendengar jawaban darinya, langsung kembali memeluk tubuh Alena dan membuatnya tertawa pelan karenanya.
"Aku ingin mempunyai Ibu." Ucap Robin pelan, namun masih bisa didegar oleh Alena.
"Robin!" Alena mendongakkan kepalanya, mendapati seorang pria yang sudah berdiri dihadapannya.
Robin mengurai pelukannya pada Alena, lalu berbalik dan mendapati wajah seram Daddynya.
"Maaf, Tuan. Saya kemari tanpa diundang. Saya hanya ingin mengajak Robin untuk pergi ke carnaval, apakah boleh?" Tanya Alena pada Ben yang kini sedang menatapnya.
Robin tampak senang mendengar ucapan dari Alena yang ingin mengajaknya untuk pergi bersama ke carnaval. Namun sedetik kemudian, pancaran wajah kebahagiaan itu menghilang saat Daddynya menolak permintaan Bibi Alena.
"Tidak. Dia harus belajar!" Ben menolak dengan nada datarnya, mambuat Robin kembalin tertunduk sedih.
Alena mengelus puncak kepala Robin yang berdiri didepannya. Lalu dengan wajah memelas dan penuh harapan, dia kembali meminta, "Hanya hari ini saja, bukankah besok adalah hari minggu?" Alena tetap berusaha untuk bisa membawa Robin pergi jalan-jalan bersamanya.
"Apa maumu, Nona? Beginikah cara pendekatan mu pada putraku? Lalu berujung pada harapanmu untuk menjadi Ibu pengganti baginya?" Tanya Ben sinis, membuat Alena menggeleng tak percaya dengan apa yang didengarnya.
"Aku tahu, aku hanyalah orang asing bagi kalian. Aku pun juga tidak memiliki maksud seperti yang Anda tuduhkan. Aku hanya bersimpati pada Robin." Ucap Alena sedikit kesal. Dia tersinggung dengan ucap Ben yang terdengar kasar ditelinga.
"Untuk apa kau bersimpati padanya? Kau pikir putraku memiliki kelainan atau sakit jiwa, begitu?" Ben menatap Alena dengan geram. Dia tampak mengeraskan rahangnya dengan memperlihatkan sorot mata yang menakutkan.
Alena menghela nafas pelan, lalu dengan sedikit meredam emosinya dia berkata. "Maaf jika aku salah bicara tadi, hingga membuat Anda marah seperti ini. Namun tolong, jangan berbicara dengan keras dan kasar saat berada didepan putra Anda." Ucap Alena yang bisa melihat raut wajah ketakutan dari Robin yang berdiri didepannya.
"Dia putraku! Aku bebas mendidiknya dengan caraku. Lebih baik kau pergi dari rumahku ini, dan jangan lagi dekati putraku!" Menarik tangan Robin dengan kasar agar bisa menjauh dari Alena.
Robin berusaha berontak dari tarikan tangan Daddynya. Namun apa daya, tenaga kecilnya itu tidak bisa menandingi tenaga yang dimiliki oleh Daddynya.
"Aku ingin pergi bersama Bibi Alena, Daddy!" Pinta Robin dengan suara yang sedikit meninggi.
"Sudahlah, Robin! Lain kali kau bisa pergi bersama Daddy." Marah Ben, memberikan tatapan tajam pada putranya. Hal tersebut justru membuat Robin ketakutan dan menangis ditempatnya.
"Daddy tidak pernah ada waktu untukku, hanya selalu memberikan janji palsu!" Robin membalas bentakan Daddynya dengan berlinang air mata, lalu berlari cepat memasuki kamarnya.
Alena tampak kasihan melihat Robin yang begitu merindukan kasih sayang dari kedua orang tuanya. Terlebih sikap kasar dari Daddynya yang semakin mambuat anak tak berdosa itu kembali murung dan kehilangan keceriaan hidupnya.
"Apa lagi yang kau tunggu, Nona?"
Suara Ben membawa kembali dirinya pada dunia nyata. Alena mengalihkan pandangannya, menatap Ben yang saat ini sedang menatapnya. Lalu dengan senyum yang tak terbaca dia berkata, "Kau memang Daddy yang jahat! Tidak saharusnya anak baik seperti Robin memiliki Daddy yang jahat sepertimu." Alena menekankan setiap kata dalam kalimatnya, lalu memutar tubuhnya dan berjalan meninggalkan kediaman Abraham.
Ben mematung ditempatnya. Perkataan 'JAHAT' yang ditujukan untuknya oleh Alena, membuatnya befikir tentang sikap keras dan kasarnya saat mendidik putra semata wayangnya itu.
Apa benar dia Daddy yang jahat? Apakah Robin juga menganggap dirinya jahat? Apakah sikapnya selama ini, membuat putranya itu ketakutan?
Ben mengusap wajahnya kasar. Tidak biasanya dia memikirkan ucapan seseorang hingga seperti ini. Terlebih ini adalah ucapan seorang wanita asing yang baru kemarin ditemuinya.
TO BE CONTINUED.