Pagi hari Ben sudah bersiap untuk pergi ke kantor. Tatapi sebelum itu, dia harus mengantarkan Robin ke sekolah terlebih dahulu. Jalan yang dilalui Ben untuk berangkat ke kantor memang searah dengan jalan ke sekolah putranya, maka dari itu setiap harinya mereka selalu berangkat bersama. Hanya diwaktu-waktu tertentu saja Ben menggunakan jasa supirnya untuk mengantarkan Robin berangkat ke sekolah.
"Sudah siap, Robin?" Tanya Ben yang saat ini sedang berhadapan dengan putranya di meja makan.
Robin menganggukan kepala, lalu turun dari kursinya dan bersiap menggendong tas ranselnya. Dia sudah berdiri tegap dihadapan Daddy yang langsung saja mengenggam tangan mungilnya dan membawanya untuk berjalan memasuki mobil diluar rumah.
"Come on." Ben membukkan pintu penumpang disamping kemudi untuk putranya, lalu berjalan memutari mobil dan mendudukan diri disana.
Selama perjalanan Robin hanya berdiam diri saja, tidak seperti biasanya. Robin adalah anak yang aktif dan pandai berbicara. Dan ketika dirinya menjadi pendiam seperti ini, hal itu tentu membuat Ben merasa heran dibuatnya.
"Apa kau sakit, Robin?" Tanya Ben khawatir, sambil mengulurkan tangan kirinya untuk menyentuh kening putranya.
Robin menggelengkan kepalanya, membuat Ben sekilas melirik padanya. "Lalu kenapa berdiam diri seperti itu? Kemana perginya suaramu, hem?" Ben terkikik pelan setelah mengucapkan kalimatnya.
"Aku ingin bertemu Bibi Alena." Robin akhirnya angkat bicara, dan membuat Ben mengerutkan keningnya karena tidak tahu akan maksud putranya.
"Siapa Alena?" Tanya Ben.
Robin menatap Ben kesal. Lalu dengan mengerucutkan bibirnya dia menjawab, "Daddy pelupa. Dia Bibi yang kemarin menemaniku. Daddy kemarin tidak mengizinkan ku untuk bertemu Ibu, kali ini izinkan aku untuk bertemu Bibi Alena." Mohon Robin pada Daddynya.
Ben mendesah pelan dengan memijat keningnya. "Baiklah. Nanti kita bertemu Bibi Alena." Putus Ben akhirnya yang membuat Robin merasa bahagia.
"Benarkah? Daddy tidak berbohong kan? Janji?" Tanya Robin antusias yang kini sudah kembali pada dirinya yang semula.
Ben hanya menganggukan kepala sambil tersenyum kearah putranya. Dia tidak menyangka jika Robin akan sebahagia ini saat akan bertemu dengan Alena, wanita asing yang baru ditemuinya kamarin. Dia juga bersyukur jika kini putranya itu bisa kembali ceria.
Ben sudah memberhentikan mobilnya didepan sekolah Robin, lalu secara tiba-tiba mendapatkan satu kecupan sayang dari putranya. Robin terlihat bahagia saat keluar dari dalam mobil setelah mengecup pipi Daddynya tadi, dia melambaikan tangan sambil terus mengukir senyum dibibirnya.
"Tunggu Daddy pulang, mengerti?" Ucap Ben dari dalam mobil, yang mendapatkan anggukan kepala cepat oleh Robin.
Robin berlari untuk memasuki sekolahnya, sementara Ben kembali melajukan mobilnya untuk menuju kantor perusahaannya.
**
Pagi yang dilalui Alena tampak seperti hari-hari sebelumnya. Dia bangun dari tidurnya, mandi, lalu bersiap diri untuk berangkat bekerja. Tidak lupa dia juga membersihkan rumah sebelum memulai aktivitas bekerjanya.
Alena berangkat menuju tempatnya bekerja dengan berjalan kaki. Kebetulan jarak antara rumah dengan kaffe tempatnya bekerja tidak lah jauh. Maka dari pada membuang uangnya untuk menggunakan jasa ojek online, dia lebih memilih berjalan kaki saja agar bisa menghemat uangnya.
Lima belas menit berlalu, dan Alena kini sudah sampai di kaffe tempatnya bekerja. Dia berjalan sambil menyapa beberapa pegawai lainnya yang bekerja disana. Ditempatnya bekerja ini, Alena banyak mendapatkan teman. Sikapnya yang baik dan ramah, membuat siapa saja merasa nyaman berteman dengan dirinya.
Alena kini sudah mengganti pakainnya dengan pakaian kerja yang sama dengan pegawai lainnya. Dia kini mengambil perlengkapan bersih-bersihnya, lalu mulai mengelap meja seperti biasanya.
"Kau selalu saja memulai harimu dengan mengelap meja. Padahal setiap harinya kau juga sudah melakukannya. Tidak bisakah kau hanya berdiam diri dan menantikan pengunjung datang dari arah pintu depan?" Ucap Silvi salah satu temannya yang juga bekerja disana.
Alena tersenyum menanggapi ucapan wanita didepannya. Silvin adalah salah satu teman kerjanya yang sangat perhatian. Dia selalu memarahi Alena disaat dirinya tidak pernah berhenti untuk bekerja. Seperti saat ini, Alena selalu saja mengelap meja disaat pegawai lainya tampak bersantai menunggu pengunjung datang.
"Bukankan ini juga merupakan tugas kita? Lagi pula jika kaffe ini terlihat bersih, pasti akan banyak pengunjung yang berdatangan kemari nantinya." Balas Alena tersenyum sambil terus mengelap meja.
"Baiklah-baiklah. Aku memang selalu kalah jika berdebat dengan dirimu." Keluh Silvi yang disambut tawa oleh Alena.
Alena meneruskan kegiatan mengelapnya, sementara Silvi kini juga ikut membantunya. Meskipun awalnya dia mendebat kebiasaan bersih-bersih Alena, namun akhirnya dia ikut turun tangan juga.
**
Ben tampak menyibukan dirinya dengan pekerjaan kantor yang selalu menumpuk setiap harinya. Tidak ada yang menarik dalam hidupnya, dan dia pun merasa bosan dengan aktivitasnya yang seperti ini. Beberapa temannya pernah menyarankan agar dirinya menikah kembali, atau pun hanya sekedar bersenang-senang dengan seorang wanita di club malam. Namun saran itu dia tolak mentah-mentah. Ben tidak ingin mencari wanita jalang untuk memuaskan nafsunya, atau pun mencari seorang istri yang bisa menemani hidupnya. Ben sudah merasa bahagia dengan hidupnya yang sekarang bersama sang putra, dan tidak ada hal lain yang diinginkannya.
Elena, mantan istrinya kini sudah menikah kembali dengan pria yang lebih kaya. Wanita itu memanglah licik, dia mencari seorang pria yang lebih kaya untuk menjadi suaminya. Ben menyesal pernah menikahi wanita yang lebih mencintai harta seperti Elena, dan bersyukur karena kini mereka sudah berpisah.
Waktu berjalan begitu cepat, Ben menatap arlojinya yang menujukkan pukul tiga tepat. Dia merutuki dirinya yang sudah lupa menjemput Robin disekolah. Semoga saja putranya itu sudah pulang ke rumah, dan tidak menunggunya lama seperti kemarin.
Ben mengambil ponselnya, lalu mendial nomer telepon Alex supirnya. Dia akan memastikan apakah putranya itu sudah sampai di rumah.
"Hallo, Tuan?"
"Apa Robin sudah pulang?" Tanya Ben gelisah.
"Sudah, Tuan."
Ben menghela nafas lega. Dia mengusap wajahnya dan berkata, "Syukurlah. Katakan padanya jika Daddynya akan pulang sekarang dan mengantarnya untuk bertemu Bibi Alena." Jelas Ben kepada Alex yang tampak menganggukan kepala disebrang sana.
"Baik, Tuan. Akan saya sampaikan."
"Aku tutup teleponnya." Ucap Ben memutuskan panggilan teleponnya. Dia merasa lega sekarang, karena Robin ternyata sudah sampai di rumah. Dia mengemasi peralatan kerjanya, lalu bergeas untuk pulang kerumah.
Ben mengendarai mobilnya dengan tidak sabaran. Dia tidak ingin putranya itu menunggu lama dan kembali kecewa karena ulahnya. Mobil yang dikendarainya kini sudah berhenti dipekarangan rumah, dia bergegas masuk dan mencari keberadaan putranya.
"Robin?" Cari Ben yang sudah sampai diruang tengah.
"Tuan muda ada di kamarnya, Tuan." Jawab salah satu pelayan yang ada disana.
Ben segera menaiki tangga, dan bergegas masuk kedalam kamar putranya. Dia kini melihat Robin yang sedang duduk dimeja belajarnya. Ben menghampirinya, lalu berjongkok untuk menyamakan postur tubuhnya.
"Robin." Panggil Ben mengelus kepala putranya yang kini tampak menatap kearahnya.
"Kita jadi buka bertemu dengan Bibi Alena sekarang?" Tanya Robin yang dibalas anggukan kepala oleh Daddynya. "Apa Daddy tidak mau mandi? Bertemu wanita harus berbadan wangi, seperti aku yang sedari tadi sudah rapih dan wangi tentunya." Lanjutnya menjelaskan.
"Tentu saja, Daddymu ini akan mandi. Lebih baik kau tunggu dibawah, Daddy akan menyusulmu nanti." Ucap Ben berdiri dari posisinya, lalu berjalan keluar dari dalam kamar Robin dan memasuki kamarnya. Dia akan mandi sekarang, setelahnya dia harus mengantar Robin untuk bertemu dengan Alena.
"Dimana kita akan bertemu Bibi Alena?" Tanya Ben yang kini sudah berjalan dihalaman rumah bersama sang putra. Dia bertanya karena memang dia belum tahu dimana bisa menemui wanita yang bernama Alena itu. Dia belum mengenal jelas wanita itu, dan putranya pun juga baru sekali bertemu dengannya.
"Aku tahu, Daddy." Ucap Robin menarik tangan Daddynya untuk memasuki mobil.
**
Ben sudah memberhentikan mobilnya didepan sebuah kaffe yang lumayan besar. Dia berfikir apakah wanita yang bernama Alena itu bekerja disini, ataukah Robin yang salah memberitahukannya.
"Disini Bibi Alena bekerja, Daddy." Tujuk Robin yang kemudian menarik tangan Daddynya untuk keluar dari dalam mobil.
"Dari mana kau tahu, Robin?" Tanya Ben penasaran.
"Kemarin aku melihatnya disini, saat berangkat dan pulang sekolah." Ucap Robin senang dan meminta Daddynya untuk membukakan pintu kaffe tersebut.
Robin mengedarkan pandangannya, mencari keberadaan Alena yang dia yakini bekerja disana. Dia tersenyum senang, saat sudah menemukan keberadaan Alena yang tampak sedang mengelap meja diujung sana dan tidak menyadari keberadaannya.
"Itu Daddy, itu Bibi Alena." Tunjuk Robin yang kemudian menarik tangan Ben untuk menggikuti langkah kecilnya.
"Bibi." Panggil Robin yang kini sudah berdiri tepat dihadapan Alena.
Alena terkejut bisa melihat kembali anak kecil lucu yang kemarin ditemuinya. Dia kini tersenyum ramah sambil mengelua kepala Robin yang ada didepannya. "Robin? Dengan siapa kesini?" Tanyanya.
Robin menoleh kebelakang, menatap Ben yang ternyata diam-diam sedang menatap kearah Alena. "Bersama Daddy." Jawab Robin.
Alena mengalihkan pandangannya pada Ben, membuat mereka saling bertatapan selama beberapa detik. Alena tersenyum ramah kepada Ben yang tampak memperlihatkam wajah datarnya. Ben hanya sedang berfikir, ini adalah kali pertama dia kembali bertatapan dengan seorang wanita yang bukan rekan kerja maupun keluarganya.
"Silakan kalian berdua duduk kalau begitu." Alena mempersilakan mereka duduk yang langsung disambut gerakan cepat dari kedua Ayah dan anak itu. "Mau pesan minuman?" Tanya Alena yang sedang menatap Robin.
"Aku mau ice cream." Senyum Robin memperlihatkan deretan gigi putihnya.
"Kalau anda, Tuan?" Alena kini berganti menatap Ben.
"Ah.. ya coklat panas saja." Ucap Ben yang disambut anggukan kepala oleh Alena dan kemudian pergi dari hadapan mereka.
"Daddy lihat tadi, Bibi Alena cantik buka?" Tanya Robin menatap Ben yang ternyata juga menatapnya.
"Biasa saja." Jawab Ben darat yang membuat Robin mengerucutkan bibirnya.
Tak lama Alena sudah kembali kehadapan mereka dengan membawakan pesanannya. Alena kembali tersenyum ramah sambil mempersilakan keduanya untuk menikmati minumannya.
"Bibi duduk disini saja!" Robin meminta Alena untuk duduk dihadapan Daddynya.
"Tidak perlu, Robin. Bibi masih ada pekerjaan." Tolak Alena dengan senyumnya.
"Hanya sebentar Bibi. Kumohon." Mohon Robin dengan wajah sedihnya, hingga membuat Alena tidak tega dan memilih duduk bersama mereka.
Ben yang melihat tingkah putranya, hanya bisa mendesah pelan. Dia tidak menyangka jika putranya itu sangat pandai memanfaankan kepolosan yang dimilikinya.
"Daddy, katakan lah sesuatu! Jangan hanya berdiam diri." Ucap Robin menatap Ben yang sebenarnya sedang malas berbicara.
Alena yang melihatnya merasa tidak nyaman berada diantara Ayah dan anak itu. "Apa tidak masalaha jika aku disini, Tuan?" Tanya Alena pelan menatap kearah Ben.
"Tidak apa, temani saja kami disini. Ehmm, ngomong-ngomong kau sudah lama bekerja disini?" Tanya Ben basa-basi, mencoba menyenangkan hati putranya.
"Lumayan, Tuan." Jawab Alena singkat dengan senyumnya.
"Apa Bibi sudah menikah?" Tanya Robin membuat Alena mengerutkan keningnya. Sedangkan Ben menatapnya dengan mata tajam yang mengerikan.
"Belum. Bibi belum menikah." Jawab Alena kembali tersenyum dengan menatap Robin.
Perkataan Alena membuat Robin senang. Lalu dengan antusiasnya dia berkata, "Kalau begitu, Bibi menikah saja dengan Daddyku?"
Ben terkejut mendengar ucapan putranya itu. Dengan nada penuh amarah dia menyela, "Robin!" Ben meninggikan suaranya dan membuat Robin menundukkan kepala. "Ini aku bayar. Maaf, kami permisi." Ben memberikan uangnya, meletakkannya diatas meja lalu menarik tangan Robin untuk membawanya pulang.
TO BE CONTINUED.