Chereads / BEN ABRAHAM / Chapter 3 - 3. Anak Kecil yang Bersedih

Chapter 3 - 3. Anak Kecil yang Bersedih

Robin sedang beridiri didepan gerbang sekolahnya. Dia menanti kedatangan Daddynya yang tak kunjung tiba untuk menjemputnya dan pulang bersama. Dia berdiri dengan malas, sambil menggerak-gerakan kakinya.

Tidak biasanya Daddy terlambat menjemputnya. Biasanya lima menit sebelum Robin keluar dari dalam kelas, mobil Daddy sudah berhenti didepan sana. Namun kenapa sekarang mobilnya belum tampak? Apa mungkin Daddy lupa untuk menjemputnya? Tidak, tidak. Daddynya bukanlah orang yang pelupa dan suka ingkar janji. Daddy pasti akan datang menjemputnya, dan dia hanya harus menunggu sebentar saja.

Selang beberapa menit, ada mobil yang tidak asing baginya berhenti tepat didepannya. Robin mengerucutkan bibirnya, dia marah karena sudah dibuat menunggu lama. Kaca mobil yang ada dihadapannya kini terbuka, menampakkan sosok pria dewasa yang tidak lain adalah Daddynya.

Ben menahan tawa melihat wajah cemberut putranya. Dia tahu betul jika saat ini putranya itu sedang merajuk, dan itu adalah kesalahannya kerena terlambat menjemput Robin di sekolah.

"Maafkan Daddy, Robin. Tadi pekerjaan Daddy di kantor sangatlah banyak, hingga Daddy datang terlambat untuk menjemputmu." Ucap Ben penuh penyesalan.

Robin masih diam ditempatnya, dia juga enggan menanggapi permintaan maaf dari Daddynya. Robin merajuk, dan hanya akan bisa dibujuk saat Daddynya itu berjanji untuk menuruti keinginannya.

"Kau tidak ingin masuk? Apa kau tidak akan memaafkan Daddymu ini, Robin?" Tanya Ben yang masih duduk dibalik kemudinya. "Baiklah. Daddy akan mengabulkan satu permintaanmu, asal kau tidak merajuk lagi seperti ini." Lanjutnya mulai bernegosiasi.

"Benarkah? Daddy akan mengabulkan keinginanku?" Tanya Robin dengan mata berbinar, dia kini sudah berubah antusias saat menanggapi ucapan Daddynya.

"Iya. Sekarang masuklah! Dan katakan keinginanmu nanti." Perintah Ben pada putranya.

Robin pun berlari kecil memasuki mobil Daddynya. Dia mendudukan diri pada kursi penumpang yang ada disamping kursi kemudi. Dia merasa puas saat mendengar Daddynya mangatakan ucapan paling ampuh yang bisa meluluhkan kemarahannya.

"Apa yang kau inginkan, Robin?" Tanya Ben yang masih fokus pada kemudianya.

"Aku ingin crayon baru, Daddy. Lalu juga buku gambar baru, karena buku gambarku sudah mulai penuh." Jawab Robin.

"Baiklah. Kita akan berhenti disalah satu toko nanti. Kau bisa memilih sendiri crayon yang kau suka, dan membeli beberapa buku gambar untuk persediaan."

"Terimakasih. Daddy memang yang terbaik." Robin berhambur memeluk Daddynya. Dan Ben yang mendapatkan pelukan tiba-tiba dari putranya, hanya bisa tersenyum melihat binar kebahagiaan dari wajah Robin yang memeluknya.

Ben memberhentikan mobilnya disalah satu toko yang menjual alat-alat perlengkapan sekolah. Dia keluar dari dalam mobil bersama dengan Robin, lalu berjalan kearah toko tersebut. Robin mulai memilih crayon yang diinginkannya, lalu beralih pada beberapa buku gambar yang sudah dipilihkan oleh Daddynya. Setelah mendapatkan apa yang diinginkannya, kini Robin bersama Daddynya kembali memasuki mobil untuk kembali kerumah. Robin tampak senang saat memperhatian crayon yang dibelinya tadi.

Ketika mobil yang ditumpanginya berjalan melewati kaffe seperti tadi pagi, Robin melihat kembali Bibi yang tadi tampak bersedih. Bibi itu tampak tersenyum ramah saat meberikan sebuah pesanan pada salah satu pelanggan disana. Robin tahu jika Bibi itu bekerja disana. Bisa dilihat dari pakaian yang dikenakan oleh Bibi itu, memilik motif dan warna yang sama dengan beberapa orang yang tampak mondar-mandir memberikan pesanan yang ada.

Robin kini sampai dirumah, dia langsung berlari menuju kamarnya. Dia tidak sabar untuk memulai kegiatan menggambarnya dengan menggunakan crayon barunya. Dia yakin jika hasil gambarnya nanti pasti akan bagus, karena menggunakan crayon baru.

Ben kini juga memasuki kamarnya, berganti pakaian lalu kembali keluar untuk menuju ruang kerjanya. Dia harus kembali mengechek beberapa berkas pada perusahaannya. Pekerjaannya tadi dikantor tidak berjalan dengan baik. Terlebih kedatangan Elena ke kantornya tadi pagi, membuat mood bekerjanya hilang seketika. Namun moodnya itu kembali membaik pada detik-detik terakhir saat dia hendak meningglkan kantor untuk menjemput Robin. Dan karena alasan itulah, dia jadi terlambat untuk menjemput Robin disekolah.

"Daddy.... Daddy Daddy, lihat apa yang ku gambar!" Teriak Robin senang saat memasuki ruangan kerja Daddynya. Dia menunjukkan gambarnya dengan salah satu tangan yang menarik-narik ujung pakaian Ben yang saat itu sedang fokus menatap layar laptopnya.

"Sebentar Robin, Daddy sedang bekerja!" Ucap Ben tidak menghiraukan putranya, membuat Robin terdiam dengan masih berdiri disamping kursinya.

"Aku menggambar wajah Daddy disini." Tunjuk Robin meletakkan gambar tersebut diatas meja. Dan tanpa sengaja buku gambar tersebut mengenai cangkir kopi Daddynya, hingga kopi itu tumpah dan membasahi meja serta beberapa kertas yang ada disana.

"Astaga, Robin!" Marah Ben menatap tajam putranya yang tertunduk takut setelah mendengar nada tinggi yang diucapkannya. "Lihatlah apa yang kau lakukan! Daddy sedang bekerja, tidak bisakah kau tidak merepotkan Daddy sebentar saja? Lihat sekarang, hasil dari perbuatanmu ini!" Kesal Ben mengibas-ngibaskan kertas putih yang tulisannya sudah mulai luntur.

"Keluar!" Ben menyuruh Robin keluar dari ruang kerjanya dengan menggunakan nada tingginya. Robin mematuhi ucapan Daddynya. Dia keluar dengan berlari menuruni anak tangga sambil menangis tanpa mengeluarkan suara.

Ben memijat pelipisnya, melihat beberapa berkas kantornya yang basah karena tumpahan kopi. Dia harus memulai dari awal lagi, mencetak kembali beberap berkas yang sudah tidak berbentuk itu.

Robin berlari keluar dari dalam rumahnya. Dia berjongkok didepan pagar, mencoret-corer tanah dengan sebatang kayu ranting yang dia gunakan untuk menggambar asal.

Wajah Daddynya saat marah memanglah menyeramkan, dan Robin tidak menyukai itu. Dia merindukan Ibunya. Namun kata Daddy, Ibunya itu tidak ingin bertemu dengannya lagi.

**

Disaat yang bersamaan, Alena kini sedang mencari rumah Valleria yang tadi alamatnya sudah dikirimkan padanya. Tanpa sengaja Alena melihat seorang anak lelaki kecil yang sedang berjongkok didepan pagar rumahnya. Anak lelaki itu tampaknya sedang bersedih, dia meluapkan kekesalannya itu dengan cara mencoret-corer tanah.

"Hai, kenapa tidak masuk kedalam rumahmu?" Tanya Alena pada anak kecil tersebut.

Anak kecil itu tampak mendongakkan kepala, menatap Alena dengan mata bulat lucunya. Dia menggelengkan kepala, lalu kembali menunduk melihat ketanah. Seolah takut berbicara dengan orang asing seperti Alena.

"Siapa namamu?" Tanyanya lagi.

"Robin." Jawab anak kecil itu yang masih menunduk tidak menatapnya.

"Namaku Alena." Alena tersenyum ramah dan ikut berjongkok dihadapan Robin yang masih terdiam menatapnya. "Apa ada masalah, Robin?" Lanjutnya bertanya, saat melihat wajah sedih yang terpancar dihadapannya.

Robin menggelengkan kepala, memberikan isyarat jika tidak terjadi apa-apa pada dirinya.

"Baguslah kalau tidak ada. Kau tidak ingin masuk? Sebentar lagi sore akan tiba, dan diluar pasti sangat dingin nantinya." Mengusap lembut kepala Robin yang menatapnya.

Robin kembali menggelengkan kepalanya. Dia tidak ingin kembali memasuki rumah sebelum Daddynya yang memintanya untuk masuk. "Daddy memarahiku." Ucap Robin pelan, hampir seperti bisikan.

"Apa yang kau lakukan, hingga membuat Daddymu marah sayang?"

"Aku tidak sengaja menumpahkan segelas kopi milik Daddy yang mengenai kertas putihnya." Jelas Robin kembali tertunduk lesu, membuat Alena membawa tubuh kecil Robin kedalam pelukannya. Didalam pelukannya Robin mulai terisak, dia juga membalas pelukan Alena dengan melingkarkan tangannya.

"Sudah tidak apa. Daddymu tidak akan berlama-lama memarahimu. Ayo ku antar masuk kedalam rumah!" Mengusap punggung Robin, lalu menggendong tubuh kecilnya untuk memasuki rumah.

"Permisi?" Panggil Alena yang kini sudah berdiri didepan pintu rumah mewah nan megah. Dia masih menggendong Robin, dan membiarkan anak kecil itu memeluk tubuhnya.

"Robin? Apa yang terjadi?" Tanya panik Ben saat melihat putranya berada dalam gendongan seorang wanita yang belum dikenalnya.

"Tidak terjadi apapun padanya, dia hanya sedang bersedih." Jelas Alena memberikan Robin kepada Daddynya. Dan ternyata dia baru menyadari jika Robin sudah tertidur didalam gendongannya.

Ben menghela nafas lega, ini memang kesalahannya karena sudah membuat putranya bersedih. "Terimakasih." Ucap Ben menatap Alena. Dia juga baru menyadari jika wanita dihadapannya itu tampak cantik dengan bibir merah mudanya.

"Sama-sama. Kalau begitu, saya permisi." Alena menatap Ben, membuat keduanya saling bertatapan selama beberapa detik. Hingga Alena lebih dulu memutuskan kontak matanya, dan berlalu meninggalkan rumahnya.

Ben manatap Robin yang berada dalam gendongannya, lalu membawa putranya yang sudah tertidur itu untuk memasuki kamarnya. Dia meletakkan tubuh kecil putranya diatas ranjang dengan pelan dan hati-hati. Dia takut jika putranya itu akan terbangun dan kembali mengingat kesedihannya.

Baru selangkah Ben hendak menjauh dari ranjang putranya, dia sudah mendengar suara putranya yang kini memanggil dirinya.

"Daddy." Panggil Robin setelah membuka mata.

Ben menoleh kembali, dan mendapati putranya sudah terduduk diranjangnya. Dia mendekat dan ikut mendudukan diri pada tepian ranjang. "Iya?" Jawab Ben mengelus kepala putranya.

"Aku merindukan Ibu." Ucap Robin pelan. Dia sebenarnya juga takut untuk mengungkapkan isi hatinya itu.

"Dia tidak merindukanmu!" Jawab Ben santai, yang membuat Robin kembali terdiam dan menundukkan kepala.

"Aku ingin menemuinya."

Ben mendesah pelan mendengar keinginan putranya, lalu dengan suara yang dibuat sedatar mungkin dia menjawab, "Daddy tidak mengizinkannya."

"Kenapa?"

"Karena dia bukan Ibumu lagi!" Jelas Ben yang membuat Robin kembali menitihkan air mata. "Jangan menangis! Pria harus kuat, heem?" Mengelus kepala Robin, diamana putranya itu tidak mau menatapnya.

"Daddy menikah saja dengan Bibi Alena." Perkataan Robin membuat Ben mengerutkan keningnya. Pasalnya dia tidak tahu siapa Alena yang dimaksud oleh putranya.

"Siapa Alena?" Tanya Ben penasaran.

"Bibi yang bersamaku tadi. Pelukannya terasa hangat sama seperti Ibu." Jelas Robin ingin merasakan kembali pelukan hangan dari Alena.

"Daddymu ini sudah tua, Robin. Tidak ada yang mau dengan Daddy." Ucap Ben berusaha memberi pengertian kepada putranya.

"Daddy belum tua. Dekatilah Bibi Alena, ku mohon." Robin memohon dengan pancaran mata yang penuh harap.

"Kau masih kecil, Robin. Dari mana mengetahui pembicaraan orang tua seperti ini? Pasti semua ini karena Ibumu!" Ben marah, kemudian keluar dari dalam kamar putranya. Sedangkan Robin hanya terdiam, melihat kembali amarah Daddynya yang muncul kepermukaan.

TO BE CONTINUED.