"Pe-penggemar?" Vera menyipitkan mata. Ia sedikit asing dengan kalimat itu.
"Iya. Nyonya adalah pahlawan di antara kami-kami kaum perempuan yang berasal dari keluarga biasa. Cerita fenomenal Nyonya membuat kami semua terinspirasi," ujar Meta.
Cerita fenomenal? Apa lagi itu?
"Diceritakan kalau Nyonya adalah gadis yang ceria dan berasal dari keluarga biasa. Kehidupan Nyonya langsung berubah saat bertemu keempat laki-laki populer di kampus, apalagi pimpinan mereka. Awalnya Nyonya dan laki-laki itu saling bermusuhan. Akhirnya Nyonya berhasil membuat laki-laki itu jatuh cinta dengan Nyonya. Meski ada hambatan dari ibu laki-laki itu, akhirnya Nyonya bisa menikahi laki-laki itu, dan sampai sekarang menjadi kaya." Meta bertepuk tangan penuh antusias.
"Kenapa cerita itu terdengar tidak asing?" tanya Pama. Ia menyipitkan mata. Mencoba mengingat-ingat cerita yang entah pernah ia ketahui dari mana.
"Tentu saja. Itu, kan, cerita Nyonyamu. Masak kamu enggak tahu?" sindir Meta.
Benarkah? Tapi kenapa Pama tidak merasa begitu?
"Sudahlah, sudah. Kita langsung ke intinya saja," kata Vera melerai. Ia muak mendengar kata-kata konyol di sekitarnya.
Pama menyodorkan beberapa lembar kertas ke Meta. Meta mengambil kertas itu dengan heran. Kertas itu berisi angka-angka yang tak mampu Meta baca.
"Itu adalah kerugian atas kelalaian aktris Alma Benita, kakak Nona Meta," ujar Pama mewakili Vera.
Iya. Meta tahu itu. Sudah tertulis di sana. Namun, kenapa ia mendapatkan tagihan itu langsung dari Vera? Kenapa juga orang sehebat Vera mau mengurusi masalah kecil ini?
"Bahkan dengan pendapatan Nona sekarang, butuh waktu lama untuk melunasinya. Apa lagi, semakin tinggi kaki Nona memijak, akan semakin besar sayap yang Nona butuhkan," tambah Pama.
Ijakan? Sayap? Meta tidak mengerti semua itu. Ia hanya tahu kalau ia mendapatkan uang untuk mengeluarkan uang.
"Intinya?" sahut Meta.
"Kami akan memberikan Nona penawaran untuk menghapus seluruh utang itu secara tuntas," jawab Pama.
Bola mata Meta bangun seketika. Menghapus seluruh utang yang menggudang itu—
Meta tidak bermimpi, kan?
"Ba-bagaimana caranya?" Meta begitu bersemangat sampai tergagap-gagap.
"Menikahlah dengan cucuku," sahut Vera mendahului Pama.
"APA NYONYA GILA?" pekik Meta.
Gi-gila? Vera terperangah mendapat semburan itu seketika.
"Berani sekali kamu menyebut Nyonya gila?" tegur Pama tidak terima.
Vera membuka tangan kanannya, memberikan isyarat Pama untuk diam. Biarkan Meta memberikan penjelasan.
Meta meringis. Ia merasa bersalah. "Maaf, Nyonya. Meta enggak punya maksud hina Nyonya," bela Meta.
"Maksud Meta, Nyonya, kan, orang kaya. Kenapa Nyonya malah menikahkan cucu Nyonya dengan orang rendahan seperti Meta? Ayah Meta dulunya cuma kuli bangunan dan Ibu Meta cuma penjual rujak, apalagi Kakak Meta yang memalukan itu …. Kehidupan Meta sama sekali tidak bisa dibandingkan dengan kehidupan cucu Nyonya yang bak dewa."
Mata Meta berkaca-kaca. Ia terharu. Entah sejak kapan suasana di sekitar menjadi sendu.
"Hanya satu tahun," jelas Vera.
"Heh?" Meta mengangkat kepala. Kaca-kaca di matanya lenyaplah sudah.
"Maksudku, pernikahan kalian hanya untuk satu tahun," jelas Vera.
"Maksud Nyonya pernikahan kontrak?" simpul Meta.
"Lebih tepatnya kerja sama. Cucuku akan mendapatkan haknya dan kamu berhasil melunasi utangmu," jelas Vera.
"Meta mau Meta mau!" seru Meta antusias.
"Apa?"
"Menikahi cucu Nyonya."
"Kenapa cepat sekali? Apa kamu tidak membutuhkan waktu untuk berpikir?" Sejujurnya Vera terperangah.