"Cucu Nyonya pastinya kayak Nyonya: cakep, cerdas, dan kaya—" Meta menghitung pujiannya dengan jari "—jadi apalagi yang harus dipikirin?"
"Kamu harus jauh-jauh dari laki-laki mana pun, termasuk kekasihmu. Kamu harus memutuskannya segera," titah Vera mengeluarkan persyaratannya.
"Enggak papa. Lagian Gana enggak lebih sempurna dari cucu Nyonya," sahut Meta setuju.
"Karirmu akan berhenti segera untuk selamanya. Karena saat kamu menikahi cucuku, berarti kamu harus fokus di rumah tanpa bekerja," tambah Vera.
"Enggak papa. Lagian Meta udah capek kerja," timpal Meta.
"Setahun kemudian, kamu harus bercerai tanpa—"
"Ayolah, Nyonya. Dalam hidup putus-nyambung itu biasa. Begitu juga dengan cerai dan nikah," tutur Meta memotong kalimat Vera.
Vera terdiam. Ia tak memikirkan syarat lain selain ini.
"Hanya itu, Nyonya? Jadi, di mana kontraknya?" tanya Meta.
Sebenarnya Pama masih ragu. Akhirnya ia tetap menyodorkan kontrak perjanjian itu ke Meta. Meta pun menandatanganinya dengan mudah. Seolah-olah hidupnya tak berisi beban. Kemudian ia bangun dan pamit pergi lebih dulu.
"Hore! Meta mau nikah sama orang kaya!" seru Meta kegirangan usai keluar dari ruangan itu.
Vera terperangah sembari memijit keningnya. Ia masih tidak mengerti dengan alur cerita yang telah berjalan dalam waktu secepat ini.
"Apa yang terjdi?" tanya Vera kepada Pama.
"Nyonya menawarkan kontrak kepada Meta dan Meta sudah menandatanganinya. Kontrak ini hanya membutuhkan tanda tangan dari Nyonya." Pama menyodorkan kontrak tadi.
Vera mengembuskan napas berat. Kemudian menggerakkan bulpen di tangannya sehingga membentuk beberapa garis tangan. Kemudian mengembalikannya kepada Pama. Seketika Vera menjadi lemah.
"Aku tidak salah, kan, menikahkan cucuku dengan seorang perempuan gila?" tanya Vera.
"Boleh aku mengatakan sesuatu, Nyonya?" sela Pama.
"Silakan," sahut Vera.
"Kalau menurutku, dia tidak gila Nyonya, tapi genius. Dia benar-benar memikirkan semua ini dengan logika, bukan hati."
Benarkah? Bukankah orang genius lebih berbahaya dari orang gila?
-oOo-
Keluar dari ruangan itu, Meta langsung menghubungi manajernya.
"Meta butuh mobil. Nanti Meta kirim alamatnya," titah Meta sebelum memutuskan panggilannya. Kemudian membuka beranda perpesanan untuk mengirimkan lokasi tempatnya berada.
Meta memasukkan kembali ponselnya ke dalam sling bag. Kemudian berjalan ke luar tempat itu sembari menunggu mobil yang manajernya kirimkan.
Sudut bibir kiri Meta terangkat. Ia ingin tertawa mengingat bagaimana Vera memaksanya menandatangani kontrak itu, seolah-olah lebih cerdas darinya.
"Memang Nyonya yang memaksaku menikahi cucumu selama setahun dengan mengorbankan karir sepanjang hidupku. Tapi, maaf, Nyonya. Kalau aku kehilangan karirku, aku takkan melepaskan pernikahan ini. Karena sebelum setahun berakhir, cicitmu akan nyaman berada dalam perutku."
-oOo-
"Ini, Tuan." Pama menunjukkan satu set jas formal kepada Galak.
Galak menarik itu dan melemparkannya sembarangan.
"Sudah kubilang, aku tidak mau pernikahan ini!" bentak Galak.
"Tuan bisa mengatakannya kepada Nyonya," tutur Pama.
"Kamu, kan, tangan kanannya. Ya, kamu aja yang bilang," sindir Galak.
"Tapi saya sudah turun pangkat sejak tiga tahun lalu," jelas Pama.
"Lalu kenapa kamu masih mengikuti nenek tua itu ke mana-mana?" sindir Galak.
"Mau bagaimana lagi, Nyonya, kan, atasan Tuan; sedangkan Tuan atasan saya; maka atasan Tuan adalah atasan saya," jelas Pama.
Galak melirik kesal. Laki-laki di sampingnya itu benar sekretarisnya: bawahannya. Namun, ia selalu menjawab setiap kata-katanya tanpa takut.