Chereads / Sweet Sinner 21++ / Chapter 11 - Sweet Sinner | 4.2

Chapter 11 - Sweet Sinner | 4.2

Tubuh kekar dikemas rapi dengan kemeja biru itu sempat menjadi sasaran Persia membela segala hal yang tidak ingin Persia alami. Terutama meninggalkan acara makan siang. Itu benar-benar fatal, tapi Persia selalu gagal melawan Edo karena mobil terus melaju membelah jalanan besar Manhattan. Hingga Persia melihat kejelasan bahwa Edo berhasil membawanya jauh dari lokasi di mana tempat keluarga Luxembourg tinggal, dan nampak dari kejauhan keramaian kawasan Brooklyn terpampang. Sempat Persia mengira Edo akan membawanya ke bandara seperti yang sudah direncanakan Edo. Tapi dugaan hanya jatah pemikiran yang tidak Persia bayangkan.

Rumah sederhana bergaya klasik Amerika sudah berada di pelupuk mata, Persia kembali menyuruh Edo membebaskannya. Tapi tunggu! Kenapa Edo membawanya ke tempat tinggal pamannya? Persia sempat mengguncang tubuh Edo agar situasi ini segera berakhir karena Persia tidak mampu menghadapi resiko dengan melibatkan Dewa Azof. Karena biar bagaimanapun Dewa sosok paman yang sangat baik, Persia tahu jika Dewa akan mati berdiri mengetahui segala kerumitan yang terjadi hanya dalam waktu beberapa Minggu,

"Kamu ngapain sih bawa aku ke rumah om Dewa?" Persia menghardik, "mau ngadu sama keluarga aku tentang pernikahanku dan Robert? Dasar bocah!"

Tapi Persia memiliki akal agar terbebas dari Edo. Ia segera membuka panel pintu mobil kemudian Persia berlari menuju pagar rumah Dewa. Sempat Persia merasa frustasi ketika gerbang depan rumah Dewa terkunci, dan entah kekuatan super apa sehingga Persia nekat memanjat pagar besi itu. Sedikit kesulitan tapi itu perlu diperjuangkan daripada Persia harus mendekam di dalam mobil Edo,

"Persia!" Teriak Edo mencoba meraih pergelangan kaki Persia. Tapi Persia terlalu gesit.

Edo tak ingin kalah, kurang dari satu menit Edo berhasil menyusul Persia yang berlari menuju pintu utama rumah Dewa, "kamu nggak bisa lari Persia!" Geram Edo karena ternyata Persia sangat lebih hingga berhasil membuka celah jendela yang nampaknya menuju dapur.

Napas Persia terenggut oleh rasa lelah karena berjuang lari dari kejaran manusia tampan siap menjerumuskan Persia pada takdir yang lebih menyeramkan. Persia segera menutup kemudian mengunci panel jendela dapur, ia tersenyum puas karena Edo hanya mampu mengepalkan tangan,

"Kita pasti ketemu lagi sayang, tunggu saja nanti!" Terlihat Edo berkata di balik kaca jendela.

Ucapan terakhir Edo sama sekali tidak menyeramkan dibandingkan kecapan lidah dari mulut Robert. Karena Persia tahu jika Robert memiliki banyak akses tersembunyi hingga selalu berhasil menemukannya di manapun. Tapi jika Robert menemukannya di rumah Dewa itu masih terlihat baik. Ya, meski Persia harus siap menerima pesanan dari perbuatannya. Ah, entahlah Persia merasa gila jika mengingat satu pria bermata indah itu. Kadang Persia membenci tapi tak jarang Persia merasa aneh saat Robert menatapnya.

[...]

Sekitar tiga jam Persia hanya rebahan sembari menikmati makanan ringan di sofa, kemudian mengganti beberapa channel TV yang menurutnya kurang menarik hari itu. Persia masih mengurung diri di dalam rumah karena takut jika Edo masih mengintai, jadi menunggu Dewa pulang dari kantor adalah solusi satu-satunya. Tapi tunggu! Persia tidak berselera dengan cemilan yang awalnya sangat nikmat saat mengingat bagaimana caranya menceritakan tentang dirinya yang hilang beberapa Minggu lalu? Pasti Dewa tidak akan mengijinkan Persia kembali ke rumah Robert. Robert? Ugh! Persia merasa dirinya sangat sial jika mengingat nama itu. Tapi sebesar apapun kebencian Persia tidak akan merubahnya. Yang Persia butuhkan sekarang bagaimana mengatur pembicaraan tentang kecelakaan sadis itu dihadapan Dewa.

Ketika Persia sudah siap menampung segala cerita tentang dirinya di depan Dewa, tiba-tiba nyali Persia menyusut saat mendengar deru mesin mobil Dewa di halaman. Detak jantung kian cepat, tubuh gemetar dengan jemari lentik yang mulai basah oleh keringat dingin. 'Aduh, gimana ini? Kalau om Dewa ngamuk terus lapor ke Mama sama Papa bisa bahaya, apalagi Papa bisa serangan jantung.' Batin Persia tidak pernah stabil katika Dewa mulai menaiki satu persatu anak tangga menuju pintu utama. Tapi Persia segera melahap rasa takutnya menjadi senyum manis menyambut kedatangan Dewa.

Yang Persia berikan justru merujuk rasa tidak percaya karena Dewa tiba-tiba berhenti berjalan, tepat di ambang pintu Dewa hanya ternganga tanpa reaksi sedikitpun,

"Sore om," Persia merebut tas jinjing berisi berkas milik Dewa, "nggak lupa sama aku kan? Anak pertama pasangan Rachel yang katanya itu sedikit cantik tapi banyak juga yang bilang cantik, kalau om Dewa bilang aku itu ciamik dan spektakuler." Persia tertawa lepas. Sebenarnya itu hanya menghalau kebimbangan Persia karena ia tidak pernah tahu bagaimana reaksi Dewa nanti saat Persia bercerita pernah membunuh seseorang.

Cara Dewa memandang masih sama seolah tidak ingin mengumpulkan beberapa pertanyaan untuk Persia, tapi Dewa hanya tersenyum simpul kemudian sedikit memijit tengkuk kemudian ia berlalu,

"Om," Persia meraih lengan Dewa, "ada yang mau Persia omongin. Om ada waktu kan?"

Permohonan Persia sedikit ada peluang ketika Dewa hanya mengangguk, lalu memberi tempat duduk agar Persia dapat menjelaskan tentang apa yang akan dibicarakan,

"Em... Aku..," Persia meremas-remas jemarinya, "aku..."

Lidah Persia kelu. Tidak ada kata-kata yang bisa terlontar saat Dewa benar-benar memperhatikannya. Tanpa sapaan atau godaan yang selalu Dewa berikan membuat Persia semakin ragu, tapi tekatnya sudah terlalu bulat untuk membeberkan semua yang dialami. Karena itu lebih baik dan sempurna daripada nanti dengan kemunculan Edo di depan Dewa membawa segudang berita dan menimbulkan kesalahpahaman,

"Gini om, Mama kan sempat nyuruh Persia buat kesini. Tapi waktu itu Persia belum siap jadi... Persia pergi ke rumah temen. Ya... Cuma mampir sebentar buat selebrasi perpisahan gitu," Persia menenteng kembali senyumannya, "terus aku kan pulang tuh, di jalan aku sempet liat pernikahan orang bule. Di sana aku... Em... Aku..."

Persia memberi kekuatan pada dirinya sendiri, tapi entah tenaga Persia terkuras oleh pernyataan yang belum sempat Persia ungkap,

"Arah pembicaraan kamu kemana sih?" Baru saja Persia akan melanjutkan, tapi suara Dewa terdengar nyaring.

"Om, aku..."

Terlihat Dewa membuang napas kasar, "kamu udah telepon Mama kamu?"

Pertanyaan Dewa hanya mengurung pembicaraan, Persia kehilangan sisa akal dan cara merawat pembicaraan,

"Kok diem?" Dewa menghardik.

Persia menggeleng, "belum om, Persia sempat telepon Mama sekali. Persia bilang tinggal di rumah temen. Plis om, jangan telepon Mama atau Papa dulu ya?"

Permohonan Persia membedakan pendapat Dewa, ia merasa Persia terlihat aneh. Terutama kebiasaan Persia meremas-remas jemari itu sudah pasti ada sesuatu yang disembunyikan,

"Kamu udah janji kan sama om buat nggak bikin Mama kamu khawatir?" Dewa mencoba mencari cara agar Persia tenang, "terus kenapa kamu main pergi dari rumah sih? Om itu pusing harus cari kamu kemana waktu Mama kamu bilang kalau kamu udah di Amerika. Om nggak tau temen kamu tinggal dimana, nggak ada alamat, nomor telepon yang bisa om hubungi. Kamu udah dewasa Persia, stop bertingkah seperti itu. Kamu tau kan Mama sama Papa kamu selalu khawatir dengan..."

"Aku nggak sengaja nabrak orang om, dia nggak sempat tertolong. Tiga menit aku liat dengan mata kepala sendiri dia meregang nyawa," bibir Persia gemetar, "a...aku... Aku... Tidak sengaja om, itu kecelakaan. Ya kan? Aku... Aku..."

Entah tenaga yang sudah menguatkan ataukah Persia mulai kurang ajar ketika menyerobot ucapan Dewa. Tapi Persia tidak peduli, karena jika terlalu lama menunda Persia akan kehilangan kejujuran dan dusta selalu berperan lebih dalam lagi. Bahkan sangat dalam tanpa Persia tahu apakah bisa menaikinya,

"Em... Kamu mandi terus om pesen makanan ya? Kita bisa ngobrol lagi sayang!" Dewa bangkit. Ia menganggap perkataan Persia seperti orang mabuk.

Kemudian Persia mengekor pergerakan Dewa. Ia sudah terlanjur dan tidak ada gunanya melindungi kejadian itu dari Dewa,

"Maafin aku om, aku bukan keponakan om yang spektakuler seperti yang om bilang." Persia mengeratkan genggaman di lengan Dewa.

Persia beringsut, lututnya tertekuk dan terasa nyeri saat menyentuh lantai. Ia siap jika Dewa tiba-tiba memukul atau menghakiminya. Tapi Persia tidak ingin orang yang sudah membesarkannya ikut andil dalam mengetahui kesalahan.

Dewa rutin mendengar semua penuturan Persia tentang kecelakaan sadis itu. Meski tidak menyangka dan sempat mengira Persia mengalihkan pembicaraan, tapi Dewa memahami secara mendalam jika Persia tidak sedang berbohong. Apalagi saat Persia menangis kemudian mengatakan pihak yang terkait adalah keluarga Luxembourg. Sungguh, Dewa merasa kepalanya berdenyut keras dan seakan hampir meledak. Ia juga sempat ingin memaki atau mengusaikan penjelasan Persia. Tapi ia sama sekali tidak berdaya, Dewa masih melihat dengan rasa iba terhadap keponakannya itu. Biar bagaimanapun Persia gadis yang baik, meski pembangkang tapi Persia selalu jujur. Tapi semenjak Dewa mendengar pengakuan itu ia menemukan Persia kecil telah kehilangan keceriaan. Wajahnya berubah sendu, mata yang sayu itu menatapnya penuh harap. Mungkin sebuah pertolongan darinya atau apapun itu Dewa hanya bisa membelai rambut Persia dan masih setia mendengar suara sumbang Persia.

Ini bukan awal yang terbentuk ketika Persia mengingat hal berat tentang kematian Hilda. Sudah beberapa kali Persia melupakan, tapi memori baru itu terlalu tajam dan mengelak semua usaha Persia untuk terkecoh,

"Aku tidak sengaja om, aku tahu itu salah. Aku takut di penjara om, aku takut Papa kenapa-kenapa," Persia tersedu, "tolong aku... Om Dewa!"

Kemudian Dewa mengusap rahang sekedar basa-basi tubuh meski sebenarnya Dewa masih sangat tidak percaya semuanya. Saat Persia tidak bisa berhenti menangis Dewa meraih bahu Persia agar mampu menopang tubuh itu menuju sofa, Dewa juga memberikan belaian sekali lagi meski demikian pihak pikirannya masih sulit menerima kenyataan,

"Aku menikah sama dia atas dosa yang udah aku perbuat om, aku tau ini aneh," Persia menggeleng, "tapi aku nggak bisa berbuat banyak om, plis tolongin Persia om!"

Dewa menarik napas dalam kemudian meraih jemari lentik yang terus mengadukan kekhawatiran, "om masih nggak percaya omongan kamu Persia. Benar-benar nggak percaya kamu punya urusan sama keluarga Luxembourg."

Persia menghapus jejak air matanya, "m... Maksud om apa?"

"Dengerin om! Kalau kamu minta uang buat hidup disini om bisa kasih Persia, kuliah, kebutuhan kamu sehari-hari om bisa penuhi itu. Tapi untuk bantu kamu keluar dari masalah ini om angkat tangan."

Perkataan Dewa sangat menakutkan, tapi Persia tidak berdaya harus mengucapkan banyak kata lagi. Mulut dan tenggorokan sudah terpenuhi napas yang tersendat,

"Kamu udah tau siapa keluarga Luxembourg itu?" Dewa mempertajam pandangan, "mereka triliuner Persia, mereka bisa melakukan apapun yang mereka mau. Apapun, termasuk menjebloskan kamu ke penjara!"

Cukup! Persia tidak ingin mendengar satu kata tentang hukuman, yang Persia mau Dewa membantu memikirkan solusi agar keluarga Luxembourg membebaskan. Meski tidak mungkin tapi Persia tahu pasti ada cara,

"Oke, pernikahan kamu dan Robert itu mungkin sebuah alat. Kalau bukan, nggak mungkin kamu masih bisa bernapas Persia."

"Aku menggantikan posisi mantan istri Robert om, ibunya Robert menderita trauma dan hilang ingatan memori baru yang dia alami. Mereka sangat baik om, walaupun aku tahu mereka bisa mencabik-cabik aku kapanpun kalau... Mereka tau menantu nya meninggal gara-gara aku." Persia sedikit lega sudah menemukan wadah untuk menampung segala keluh kesah. Tapi masalah tidak akan selesai dengan mudah.

"Aku mohon jangan kasih tau Mama sama Papa om, mereka nggak tau apa-apa. Aku mohon om!"

Dewa hanya tersenyum. Senyum yang meredakan pikirannya, "om nggak nggak tau harus ngapain Persia, om juga nggak bisa ngomong-ngomong apa-apa."

"Ini salahku om, biar Persia yang tanggung asal orang tua Persia nggak tau. Persia mohon om!"

"Iya sayang, om janji ini rahasia kita. Sekarang kamu bangun dan om pesen makanan ya?" Bujuk Dewa agar Persia mulai bersahabat dengan dirinya sendiri.

"Aku nggak laper om," Persia bangkit, "a...aku harus pulang. Kapan-kapan Persia kesini lagi."

"Udah," Dewa berusaha untuk mencairkan suasana, "kita makan malam dulu! Nanti om antar kamu pulang, dan om akan jelasin ke mereka."

Persia menolak tegas perkataan Dewa, "nggak usah om! P... Persia bisa kok pulang sendiri, om nggak perlu jelasin apa-apa ke mereka."

Belum sempat Dewa mencegah lagi, Persia sudah berlalu dengan cepat. Dewa hanya mampu mengejar langkah gesit Persia melewati gerbang rumahnya, kemudian Dewa melihat wajah cantik keponakannya bersedih. Tidak ada yang bisa ia lakukan, Dewa tahu jika hukum akan menjadi lebih berat jika berurusan dengan keluarga Luxembourg. Apalagi bukti kesalahan Persia dalam berkendara, Dewa tahu betul jika Persia masih saja ugal-ugalan di jalanan. Tapi Dewa akan tetap menjadi orang pertama yang memberi semangat untuk Persia. Tapi tidak untuk hari ini, mungkin Dewa akan mengunjungi tempat tinggal keluarga Persia yang baru. Di lain kesempatan di dalam keceriaan Persia yang sudah kembali semula.

Dugaan hanya buih dari harapan besar Persia, ia berlari di sepanjang jalanan ramai kawasan Brooklyn. Ia tidak berpikiran konyol untuk meninggalkan keluarga Luxembourg, lagipula keluarga konglomerat itu sangat baik dan Persia harus menerima kenyataan nanti yang akan datang.