Chereads / X-Code / Chapter 11 - Anjing Akan Selalu Menggonggong

Chapter 11 - Anjing Akan Selalu Menggonggong

Ain masih berdiri tegak dengan pandangan lurus ke depan, menghadap ke arah Maestro yang menatapnya lekat-lekat.

"Ain, ini bukan pembicaraan yang resmi. Duduklah," Maestro mempersilahkan Ain untuk duduk di kursi yang tiba-tiba muncul dari permukaan lantai.

"Ada apa, Maestro?" tanya Ain sembari duduk di kursi itu.

"Sudah kubilang, ini bukan pembicaraan yang resmi. Panggil aku seperti biasa," pinta Maestro sembari menonaktifkan hologram di hadapannya.

"Apa maunya pria ini?" pikir Ain dalam hati. "Baiklah. Paman Orland, ada apa?" ucap Ain mengulangi pertanyaannya. Sebetulnya ia merasa enggan.

"Hahaha, kau tidak berubah Ain. Aku ingin memberitahu hal penting. Ini menyangkut misimu juga."

"Lalu kenapa dibilang bukan percakapan resmi? Ada-ada saja," pikir Ain. "Apa itu Paman?" tanya Ain, terlihat dari raut wajahnya kalau Ain ingin segera hengkang dari sana.

Tentu saja Orland sang Maestro Left Head Cerberus bisa membacanya. Namun ia tidak memedulikan hal tersebut. Ada hal penting yang harus ia sampaikan pada Ain.

"Begini, Ain, pria yang kau temui ketika ujian. Grief. Dia membentuk sebuah kelompok, entah apa tujuannya. Yang jelas, informan kita bilang kalau Grief dan kelompoknyalah yang akan menyabotase pertemuan besok," Orland terdiam sejenak untuk melihat reaksi Ain.

Ain terlihat terkejut mendengarnya. Ia langsung memikirkan sesuatu.

"Apa Lond merupakan bagian dari kelompok itu?" tanya Ain setelah beberapa saat terdiam.

"Lond bukan anggota kelompok itu. Dia hanya dimanfaatkan oleh Grief dengan diiming-imingi akan diajak masuk ke dalam kelompoknya. Nah, apa yang ingin ku bicarakan adalah... Mungkin saja kau akan berhadapan dengan Grief," Maestro terlihat merenung dengan raut wajah khawatir seusai berkata demikian.

"Kau tahu, Grief sebenarnya mantan Maestro Left Head Cerberus. Dia yang melatihku, Heim, dan banyak Master di sini. Kau beruntung Grief tidak mengerahkan kemampuan asli, juga tidak menggunakan senjatanya saat bertarung denganmu," sambung Orland tanpa menghilangkan ekspresi cemasnya.

Ain hanya terdiam tak berucap sepatah kata pun. Ingatannya kembali memutar kejadian saat di dalam tenda Night Blood. Ia tahu betul seberapa kuatnya Grief. Hal itu membuatnya ikut merasa cemas. Tapi di balik kecemasannya, Ain yang ingin menguji kemampuan bertarungnya dengan Grief merasa senang mengetahui kalau mungkin ia akan bertemu lagi dengan sang mantan Maestro.

"Jujur, sebenarnya aku tidak ingin mengutusmu untuk misi kali ini. Tapi pasukan Cerberus dengan Rank A hanya kau seorang di sini. Heim tengah pergi ke Centra Head untuk menyelesaikan beberapa urusan," ujar Orland setelah merenung sejenak.

"Pantas saja aku tidak melihat Heim semenjak ujian," pikir Ain.

"Lalu, yang lain sudah punya misi masing-masing. Yah, tidak apa kalau kau mau mengundurkan diri. Aku bisa memahaminya. Aku akan mencari penggantimu dari Cabang Cerberus lain," Orland yang merasa khawatir pada Ain segera membuka hologram di hadapannya lagi, mencari anggota pasukan lain untuk mengganti Ain.

Melihat hal itu, Ain berdiri lalu berkata dengan tegas, "Akan ku ambil misi ini. Kapan aku bisa mulai?"

Orland terdiam sambil menoleh ke arah Ain. Terlihat dari raut wajahnya kalau ia tengah memikirkan sesuatu.

"Berbeda dengan yang lain, tugasmu dimulai dari sekarang. Setelah Agna tiba, segeralah menuju Refario. Informan kita menyebutkan kalau Grief terakhir terlihat di kota itu. Mungkin kau bisa menemukan beberapa petunjuk di sana. Tapi ingat, kau bekerja secara rahasia. Informasi ini tidak boleh sampai bocor kepada siapapun. Termasuk pada teman-temanmu. Kita tidak ingin ada pengkhianat seperti Lond yang mengetahui hal ini, bukan?"

Ain mengangguk, isyarat bahwa ia paham dengan perkataan Orland. "Baiklah, aku akan bersiap," ujar Ain sembari beranjak dari kursinya, bersiap untuk pergi.

"Nanti ketika kau sudah tiba di Refario, carilah Informan kita. Kalau kau mendengar ada yang mengucapkan kalimat 'Anjing akan selalu menggonggong', jawablah dengan kalimat 'Tapi pintu neraka selalu tertutup'. Itu kode rahasia untukmu dan Informan yang ditugaskan di sana," jelas Orlando yang berusaha menghilangkan rasa khawatirnya. "Dan terakhir...."

"Apa lagi??" pikir Ain sedikit kesal. Ia sudah tidak sabar ingin segera pergi menjalankan misi pertamanya sebagai seorang pasukan Cerberus.

"Berhati-hatilah. Utamakan keselamatanmu, Ain," ujar pria itu, mencemaskan keselamatan Ain.

"Huh? Kalimat itu tidak pantas diucapkan pada pasukan Cerberus, bukan?" jawab Ain dengan dingin. Orland hanya tersenyum kecut mendengar jawaban itu.

[•X-Code•]

Di sebuah kamar yang terletak di lantai B3, tempat kamar para pasukan Cerberus berada, Ain sudah mengenakan mantel hitam Cerberus miliknya. Tak lupa juga cincin yang berisi senjata plasma miliknya ia sematkan di jari tengah tangan kanan.

Ain sudah tidak sabar untuk segera menjalankan misi pertamanya. Sedari kecil Ain bercita-cita untuk bergabung dengan pasukan Cerberus. Dulu nyawa Ain pernah diselamatkan oleh seorang pasukan Cerberus sewaktu ia masih kecil. Itulah yang membuatnya ingin bergabung dengan pasukan Cerberus. Terlebih lagi, ia tidak punya tempat untuk kembali. Satu-satunya tempat ia bernaung hanyalah Left Head Cerberus.

Tepat setelah Ain selesai bersiap, Riev datang ke kamarnya untuk memberitahu kalau Agna sudah tiba di sana dan menunggu di lobi. Ain segera melangkah keluar dari kamarnya untuk menjumpai Agna.

"Mau ke mana, Ain?" tanya Riev sembari berjalan mengikuti Ain.

Ain tidak menjawab pertanyaan itu. Ia hanya menoleh ke arah Riev dengan tatapan serius.

"Oh, aku mengerti. Misi, bukan? Baiklah, hati-hati, Ain!" Riev menghentikan langkahnya sembari mengacungkan jempol pada Ain.

Ain berhenti sejenak untuk sekedar mengangguk pada Riev, lalu melanjutkan langkahnya.

[•X-Code•]

"Ain...." Agna berdiri dari sofa yang ada di lobi begitu melihat Ain keluar dari elevator.

Dari kejauhan, Ain melihat Agna dengan pakaian serba putih, berikut mantel khas pasukan Cerberus yang juga berwarna putih. Bagian bawah mantel yang dikenakan oleh Agna tidak terlalu panjang, tidak seperti mantel milik Ain yang bagian bawahnya sepanjang betis. Dan tentu saja ada logo pasukan Cerberus di bagian lengan kiri mantel.

Setiap cabang Cerberus punya ciri khas warna masing-masing untuk pakaian tugas pasukannya. Left Head Cerberus berwarna hitam, Right Head berwarna putih, sedangkan Centra Head berwarna merah. Sengaja dibuat demikian untuk memperlihatkan dari mana seorang pasukan itu Cerberus berasal.

"Kau sudah mendengar penjelasannya?" tanya Ain setengah berbisik ketika ia berada di hadapan Agna.

Agna mengangguk mengiyakan.

"Kalau begitu, ayo kita bergegas," ajak Ain.

Agna mengikuti Ain berjalan menuju Elevator untuk pergi ke lantai B4, tempat parkir semua kendaraan yang dipakai di Cerberus.

Ain yang telah resmi bergabung dengan pasukan Cerberus memiliki izin untuk menggunakan Trava. Waktu yang mereka miliki tidak cukup banyak, untuk itu Ain harus bergerak cepat. Karena itu, dalam misi kali ini Ain memilih menggunakan Trava.

Begitu mengudara, Ain mengaktifkan mode 'hantu' di Trava yang ia kendarai. Sehingga Trava itu diselubungi medan magnet yang membiaskan cahaya, membuat Trava tak kasat mata.

Setelah memasukan koordinat tujuan, Ain mengaktifkan mode Auto-Pilot. Ia tidak terlalu menguasai penggunaan Trava karena itu pertama kalinya ia mengendalikan Trava. Makanya, ia memilih untuk menggunakan mode Auto-Pilot. Sehingga secara otomatis, Trava melesat ke titik koordinat yang telah Ain tentukan sebelumnya.

Ain bersandar di kursi pilot. Dari kursi di sebelah kirinya, Agna menatap Ain dengan tatapan polosnya yang khas. Ain menyadari tatapan itu. "Ada apa?" tanya Ain yang melihat Agna tak lepas menatapnya.

"Umm," jawab Agna pelan sembari menggelengkan kepala.

Terbesit di benak Ain, "Kenapa gadis ini sampai diincar oleh Grief? Apa karena kemampuanya? Tapi untuk apa?" pikiran Ain terpaku di sana. Namun Ain segera menepis pikiran tersebut. Ada hal yang lebih penting yang harus ia kerjakan. Ia tak ingin pekerjaannya terganggu oleh banyaknya pikiran yang tidak diperlukan.

Ain sedikit melirik ke arah Agna, mendapati tatapan polos gadis itu masih tertuju padanya. "Ini anak kenapa, sih?" pikir Ain sedikit risih.

"Uh, Agna. Aku perlu mencari informan saat kita tiba di kota Refario nanti. Kau bisa membantuku mencarinya? Kalau kau melihat informan itu, beritahu aku. Tapi jangan sampai ada orang yang melihat gerak-gerik kita. Kita bergerak secara rahasia. Paham?" ujar Ain memberi instruksi, berharap Agna berhenti menatapnya. Ia juga berharap Agna mengerti dengan apa yang diucapkannya.

"Hm!" jawab Agna mantap sembari mengangguk.

"Hah... Syukurlah. Ternyata gadis ini hanya bermasalah di pengucapan kalimat," pikir Ain dengan perasaan lega. Ia membayangkan kalau Agna juga punya masalah dalam memahami ucapan orang lain. Pasti kacau sekali hidupnya. "Bagaimana kalau dia kebelet, lalu bertanya di mana toilet? Hahaha," pikir Ain dalam hati. Tanpa disadari, Ain tersenyum geli oleh imajinasinya sendiri.

"Ain!" suara Agna yang setengah berteriak membuyarkan lamunan Ain.

"Ada apa?!" tanya Ain panik. Ia memasang sikap siaga untuk menghadapi segala hal yang tidak diinginkan. Ain mengamati dengan cermat ke hologram depan yang menampilkan kondisi di sekitar Trava. Tapi tidak ada apapun di sana.

Kemudian Ain menoleh ke arah Agna untuk mencari jawaban. Ia melihat Agna tersenyum lebar seraya menunjuk wajahnya.

"Ain! Se-nyum!" ujarnya riang, penuh suka cita. Terlihat seperti anak kecil yang senang ketika diberi jajanan oleh orang tuanya.

"Errr...." Ain tidak tahu harus berkata apa. "Ya ampun, ini anak...." Ain tak habis pikir. Kemudian kembali merebahkan dirinya di sandaran kursi. Ain hanya bisa menghela nafas panjang, mencoba untuk bersabar.