Chereads / X-Code / Chapter 20 - Gunakan Otak Kalau Otot Tak Mampu

Chapter 20 - Gunakan Otak Kalau Otot Tak Mampu

Ain yang mengikuti saran Vabica tengah duduk di sofa lobi utama. Dari kejauhan Ain melihat seorang pria dengan pakaian rapi dan terlihat resmi, tengah berada di resepsionis tak jauh dari pintu utama bangunan Left Head.

"Ain, nanti kita mau beli baju di mana?" Tanya Tiash, mengalihkan fokus Ain yang semula memerhatikan pria di resepsionis, yang belum pernah ia lihat sebelumnya.

"Hmm. Ke mana saja, terserah," jawab Ain singkat, tak mau ambil pusing.

"Ih! Aku 'kan gak tahu tempat belanja di Logard!" jawab Tiash sedikit cemberut dengan tangan yang ia lipat di depan dada.

"Ih! Ain! Ih!" Sambung Agna, meniru gerak-gerik Tiash. Wajahnya yang menirukan mimik Tiash terlihat begitu menggemaskan.

"Aaaaah!!" jerit Ain dalam benaknya, tak tahan dengan tingkah kedua gadis itu. "Kalau mencari baju bagus, kita ke Elarina di Zinzam," jawab Ain lagi. Ia memilih Elarina bukan sekedar pilihan acak.

Tiash yang merupakan seorang bangsawan, pastilah memiliki selera tinggi layaknya bangsawan lain. Karena itu Ain memilih Elarina, ibukota Zinzam, tempat para bangsawan tinggal. Walau mungkin akan sulit untuk masuk ke Elarina dengan kondisi yang tengah terjadi saat itu. "Tapi tidak ada salahnya dicoba," pikir Ain.

Kemudian, terdengar suara gaduh di depan lorong yang menuju kantin, tak jauh dari lobi utama.

Ain melihat beberapa orang pemuda akademisi Cerberus tengah bertikai. Di sana juga ada Lyona yang nampak terlibat dalam pertikaian itu. Ain berpikir harus menghampiri mereka.

Lyona tengah sibuk membela seorang pemuda bertubuh kecil yang seumuran dengannya. Ia memarahi 4 pemuda lain yang mengelilingi mereka.

"Apa yang kalian lakukan?! Dia sudah minta maaf!" teriak Lyona dengan penuh kekesalan mendapati teman sekelasnya dipukuli oleh keempat pemuda, yang tidak lain merupakan senior mereka di Akademi Cerberus.

"Hahaha! Makanya, hargai kami, para senior!!" teriak seorang pemuda yang berdiri di tengah, di antara ketiga temannya.

"Ada apa?" tanya Ain saat menghampiri mereka.

Tiash dan Agna berdiri di belakang Ain sembari ikut mengamati keadaan yang terjadi. Kedua gadis itu merasa harus berdiam diri, tidak ikut mencampuri urusan.

"Ah! Ka... Maksudku, Master Ain!" ujar Lyona dengan perasaan lega ketika melihat Ain.

"Ini, aku dan temanku baru saja mau ke kantin, tapi malah digangguin mereka! katanya, kalau ketemu senior harus hormat jangan asal lewat aja! Gitu, Master," sambung Lyona menjelaskan keadaan.

Ain sempat melatih Lyona dan temannya itu kemarin, saat ia menggantikan sementara tugas Heim sebagai pelatih bela diri. Makanya, Lyona memanggilnya 'Master'.

Kehadiran Ain cukup membuat para 'senior' itu panik. Selain Lyona dan teman sekelasnya, keempat pemuda yang merupakan senior dari Lyona juga sempat dilatih oleh Ain.

"Cih! Beraninya mengadu!" celetuk salah seorang senior bertubuh besar, lebih besar dari Ain.

Keempat senior itu ingin segera angkat kaki dari sana, namun mereka takut Ain akan menjatuhkan hukuman untuk mereka. Akhirnya dengan terpaksa mereka harus berdiam diri di sana, walau posisi mereka berdiri bergeser ke belakang, sedikit menjauh.

"Hmm," gumam Ain. Ia melangkah mendekati Lyona dan teman sekelasnya yang terlihat memar di beberapa bagian wajahnya.

Ain mencengkram kerah baju pemuda itu, lalu mengangkatnya ke atas, membuat pemuda yang asalnya terduduk karena dipukuli itu terpaksa berdiri.

Ain tidak mengucapkan sepatah katapun. Ia hanya menatapnya dengan tatapan tajam.

"Ma-Master...?" kedua bola mata pemuda itu terlihat berkaca-kaca hampir menangis saking takutnya.

Lyona sendiri tidak percaya melihat Ain yang malah mencengkram teman sekelasnya, bukannya memarahi keempat senior yang semena-mena terhadap mereka.

Keempat pemuda senior lantas tertawa puas melihat Ain, yang mereka anggap membela mereka.

"Rasakan! Sudah kubilang, kalian harus menghormati senior dengan lebih baik lagi!!" ujar salah seorang dari mereka dengan suara lantang.

Mendengar perkataannya, Ain menoleh ke belakang untuk melihat pemuda yang mengucapkan kalimat itu.

Tatapan Ain terlihat seperti tatapan serigala yang siap menerkam mangsa, membuat kaki akademisi yang berperawakan besar itu gemetar. Sama seperti sebelumnya, Ain tidak mengucapkan sepatah katapun.

Kemudian Ain melempar pemuda yang masih ia cengkram itu ke arah Lyona, tanpa melepaskan pandangannya dari sang 'senior'.

Dengan cepat Lyona menangkap temannya agar tidak terjatuh ke lantai. Lyona masih tak habis pikir dengan sikap Ain yang baru pertama kali ia lihat.

"Jadi, kalian senior?" tanya Ain tanpa merubah ekspresinya.

Keempat akademisi itu menundukan kepala mereka, tidak berani menatap Ain secara langsung. Aura tatapan yang ditunjukan Ain pada mereka terasa begitu mencekam.

"Te-Tentu saja anda lebih senior... Master...." jawab seorang pemuda yang berbadan paling besar di antara mereka dengan rasa takut.

Ain sudah sangat dikenal di Left Head. Bahkan, sebenarnya berita tentang dirinya sudah menyebar ke seluruh Cerberus.

'Seorang Cerberus yang langsung menduduki rank A', begitulah para pasukan Cerberus mengenalnya. Walaupun sebenarnya, Ain tidak peduli pada hal itu.

"Hmm. Jadi, senior itu lebih kuat?" tanya Ain lagi dengan nada datar miliknya. Datar, namun terdengar begitu tegas.

Seorang pemuda di hadapannya menjawab dengan gugup, "I-Iya...."

"Satu lawan empat, kuat?" tanya Ain lagi, membuat keempat pemuda akademisi itu hanya terdiam tak mampu menjawab pertanyaan Ain.

Ain melangkah ke arah mereka. Ia menengadahkan kepalanya ke atas untuk menatap wajah pemuda yang lebih tinggi darinya. Pemuda berbadan paling besar, yang terlihat seperti 'bos' dari kelompok mereka.

Lalu Ain berjalan meninggalkan mereka seraya berkata, "Aku tunggu kalian di ruang arena lantai 3 sekarang. Kalau tidak datang, kalian akan kulaporkan untuk diberi hukuman."

Dengan sangat terpaksa, keempat pemuda itu mengikuti Ain menuju 'ruang arena' yang sebelumnya dikatakan oleh Ain.

Tiash dan Agna, juga Lyona dan teman laki-lakinya turut serta mengikuti Ain. Mereka ingin melihat apa yang akan dilakukan oleh Ain pada keempat pemuda tersebut.

[•X-Code•]

Sampailah mereka di tempat yang disebut 'ruang arena'. Sebuah ruangan luas yang dikelilingi oleh kaca tebal, sehingga orang bisa melihat apa yang terjadi di dalam arena dari luar. Ruangan itu memiliki banyak pilihan untuk latar tempat yang diperlukan.

Ruang Arena di Cerberus bisa diatur sesuai kebutuhan. Ruangan itu dirancang sedemikian rupa agar menyerupai kondisi pertarungan yang sesungguhnya dengan latar berbagai tempat.

Ain menekan panel yang ada di sebelah pintu masuk menuju arena. Ia memilih 'Padang Rumput' sebagai latar tempat arena.

Setelah Ain menekan tombol 'Konfirmasi', lantai di arena terbelah dan sebuah padang rumput buatan naik secara perlahan dari bawah lantai.

Selain untuk mengatur latar, terdapat banyak pilihan juga yang bisa diambil. Salah satunya untuk memunculkan senjata.

Ain memilih pilihan itu, sehingga sebuah kotak besar berisi berbagai jenis persenjataan yang terbuat dari logam namun tumpul, muncul dari atas.

Terdapat 2 ruang Arena di akademi Cerberus. Yang pertama untuk berlatih tarung bagi para akademisi Cerberus untuk meningkatkan kemampuan tempur mereka. Tempat yang terletak di lantai 3, tempat di mana mereka berada sekarang. Yang satunya lagi terletak di lantai B1. Arena itu khusus dipakai oleh pasukan Cerberus untuk melancarkan kemampuan bertarung dengan menggunakan senjata asli mereka.

Tanpa mengucapkan apapun, Ain masuk ke Arena.

Keempat pemuda itu terlihat ragu, namun mereka takut akan terkena hukuman kalau tidak mengindahkan perintah Ain. Dengan sangat terpaksa, mereka mengikuti Ain masuk ke dalam Arena.

Tiash, Agna, Lyona dan teman sekelasnya memerhatikan dari luar, tak sabar ingin melihat apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Pilih senjata kalian. Aku tidak akan menggunakan senjata apapun," perintah Ain, memberikan kesempatan pada keempat pemuda 'senior' itu.

Dengan perasaan yang masih diselimuti keraguan, keempat akademisi senior itu memilih senjata.

Mereka berpikir, mungkin mereka bisa mengalahkan Ain. Walau Ain seorang anggota pasukan Cerberus dengan Rank tertinggi, pastilah akan kesulitan menghadapi 4 orang bersenjata sekaligus. Setidaknya, itulah hal yang bisa menenangkan perasaan mereka yang belum pernah bertarung secara langsung dengan Ain.

Keempat akademisi itu menggenggam senjata pilihan masing-masing. Senjata yang mereka pilih merupakan senjata yang lumrah dipakai orang pada umumnya. Pedang, kapak, tombak, dan senapan yang berisikan peluru pelumpuh sehingga tidak akan membunuh orang yang terkena tembakan, meski mengenai kepala sekalipun.

Mereka mengelilingi Ain dari jarak yang agak jauh. Kemudian mereka bergerak perlahan, berputar berlawanan arah jarum jam sembari mengarahkan senjata mereka ke depan.

Ain mengatur napasnya, menyebarkan oksigen yang ia hirup ke seluruh tubuh dengan fokus yang tinggi.

Ain kembali menggunakan kemampuan miliknya yang ia pelajari di goa, ketika ujian masuk Cerberus berlangsung.

Ain memasang kuda-kuda yang sangat rendah. Kedua tangannya disilangkan di depan, dengan telapak tangan menghadap ke kanan dan kiri.

Bola matanya bergerak ke kanan dan kiri, mengamati setiap pergerakan dari keempat pemuda yang tengah menjadi lawannya. Sedangkan arah mukanya tetap tertuju ke depan.

Keempat pemuda itu saling bertatapan. Sang 'bos' mengangguk pelan, memberi mereka isyarat untuk segera menyerang.

Ia sendiri tidak ikut menerjang ke arah Ain, karena dirinya lah yang memilih senapan sebagai senjata. Ia hanya menodongkan senjatanya pada Ain, bersiaga untuk menembak Ain ketika ada kesempatan.

Ketiga pemuda pemegang senjata jarak dekat itu melesat, meluncurkan serangan secara bergantian dari arah yang berbeda.

Pemuda dengan tombak menyerang dengan tusukan dari sebelah kiri Ain. Sang pemegang kapak melompat cukup tinggi lalu menyerang dengan ayunan kapak dari atas Ain. Sedangkan pemuda terakhir mengayunkan pedangnya secara diagonal, dari bawah ke atas, dari arah belakang ketika Ain ada dalam jangkauan pedang yang digenggamnya dengan kedua tangan.

Gerakan mereka terbilang cepat, namun tidak cukup cepat untuk mengenai Ain.

Dengan lihai, Ain menghindari semua serangan mereka secara bergantian. Ain berputar ketika menghindari tusukan tombak dari arah kiri dan melesat ke kanan untuk menghindari hantaman kapak dari atas. Lalu Ain menendang ke belakang dengan kaki kanan, tepat mengenai kepalan tangan pemuda pemegang pedang. Sehingga belum sempat pedangnya terayun, serangan itu sudah terhenti lebih dulu oleh tendangan Ain.

Dari arah yang cukup jauh di depan, pemuda bertubuh paling besar menembakan senapannya.

Ain hanya bergerak sedikit memutar badannya untuk menghindari peluru yang melesat cepat itu.

Malangnya, sang pengguna pedang yang baru saja serangannya dihentikan oleh tendangan Ain itu harus terkapar tak sadarkan diri dengan kedua tangan yang masih menggenggam senjatanya.

Peluru yang berhasil dihindari oleh Ain malah mengenai pemuda itu, yang kebetulan berada di arah datangnya laju peluru.

Melihat serangan yang tidak berhasil mengenai Ain sedikitpun, jantung mereka berdegup kencang, memicu adrenalin.

Mereka berteriak kencang dengan penuh semangat sembari kembali menyerang Ain secara bertubi-tubi. Tidak terlihat lagi keraguan di setiap serangan yang mereka arahkan pada Ain.

"Bodoh," pikir Ain.

Ain yang menguasai ilmu bela diri tentu saja paham betul kalau sebenarnya berteriak itu bisa menguras tenaga. Sehingga tanpa sadar bisa memperlemah serangan, walaupun rasanya seolah bisa meningkatkan kekuatan.

Dengan gesit dan lincah Ain menghindari setiap serangan itu. Setelah dirasa cukup, kali ini Ain ikut memberikan serangan balik yang berhasil mengenai mereka dengan telak.

Hanya beberapa kali serang saja, mereka sudah terpental walaupun tubuh mereka jauh lebih besar dari Ain.

Terakhir, Ain menghampiri pemuda dengan senapan yang masih diarahkan ke arah Ain.

"Aku menyerah...." ujar pemuda itu lirih sembari menurunkan senapannya.

Ia sudah bisa membaca hasil akhir dari pertarungan itu kalau terus memaksakan diri untuk bertarung dengan Ain. Melihat ketiga temannya dikalahkan dengan telak oleh Ain tanpa bisa melayangkan satu serangan pun.

Selain itu, Ain tetap terlihat tenang dengan napas teratur. Padahal, orang lain pasti akan terengah-engah setelah bergerak secepat itu dalam waktu yang cukup lama.

"Kau sudah paham?" tanya Ain dengan tatapan serius yang ia lempar pada pemuda di hadapannya itu.

Ain tidak semata-mata mengajak mereka bertarung tanpa alasan. Ia tidak membenci keempat pemuda itu. Cara merekalah yang tidak ia sukai. Ia ingin menunjukan pada mereka, seperti apa 'kekuatan' yang sebenarnya.

"Iya... Kami... Minta maaf, Master...." jawab pemuda itu sambil membungkukkan badannya ke arah Ain.

Ia merasa malu pada dirinya sendiri yang malah menyakiti junior, yang seharusnya ia bimbing. Terlebih lagi, ia merasa dirinya begitu pengecut memukuli juniornya itu bersama teman-temannya.

Ain juga berpikir demikian. Makanya ia mengajak mereka bertarung untuk melawannya berempat sekaligus.

Bukan untuk menyombongkan diri dengan kemampuan bertarungnya, tapi untuk menunjukkan pada mereka kalau mereka lemah. Juga menyadarkan kalau mereka itu pengecut yang beraninya hanya keroyokan.

Tidak sedikit pun terbesit rasa dendam dari mereka pada Ain. Malah mereka malu, Ain sudah bersedia meluangkan waktu untuk 'menegur' mereka.

Bertambahlah rasa kagum pada Ain bagi yang menyaksikan jalannya pertarungan itu dari luar arena, termasuk pemuda yang menjadi alasan Ain mengajak keempat pemuda itu untuk berlatih tarung.

Tiash memang pernah melihat Ain bertarung saat menolongnya di hutan Hallun. Tapi saat itu ia tidak bisa melihat dengan jelas jalannya pertarungan Ain karena gelap. Setelah ia menyaksikan lagi kemampuan bertarung Ain di Arena, bertambahlah kemantapan hatinya untuk mengangkat Ain sebagai Xenatria.

"Ma-Master Ain!" sapa teman sekelas Lyona, begitu Ain berjalan keluar arena, meninggalkan para pemuda yang masih termenung di dalam.

Ain menghentikan langkahnya di dekat pemuda yang membungkuk memberi hormat padanya.

"Maaf, aku belum sempat memperkenalkan diri. Namaku Zen. Zenma Horka. Aku teman sekelas Lyona. Master sempat melatihku kemarin," ujarnya memperkenalkan diri.

Ain hanya menatap pemuda itu dengan wajah datarnya lalu berkata, "Kau sudah paham? Seharusnya kau bisa membela dirimu sendiri tanpa mengharapkan bantuan orang lain. Gunakan akalmu kalau ototmu tidak mampu. Itulah bagaimana seharusnya seorang pasukan Cerberus bersikap."

Sebelumnya Ain memang berlaku kasar pada Zen. Tapi hal itu disebabkan karena Ain geram melihat Zen yang hanya diam ketika dipukuli oleh seniornya. Terlebih lagi, Lyona sampai harus turun tangan membela Zen.

"Mungkin dia segan karena mereka itu seniornya, Ain," ujar Tiash sembari beranjak dari tempatnya untuk bersiap pergi mengikuti Ain.

"Hm. Tidak peduli senior atau bukan, salah ya tetap salah," jawab Ain dengan nada datar miliknya. "Ini juga berlaku untukmu, Lyona. Tidak selamanya masalah bisa diselesaikan hanya dengan kata-kata," sambungnya, sambil melirik ke arah Lyona yang melemparkan senyum penuh rasa terimakasih.

"Iya Ka... Ah, maksudku... Master Ain!" jawab Lyona yang lalu memberi hormat khas pasukan Cerberus pada Ain.

Baik Zen maupun Lyona, keduanya mendapat pelajaran berharga dari Ain. Terutama bagi Zen, ia mendapat pelajaran yang tak terlupakan setelah melihat pertarungan tadi.

Ain memiliki tubuh yang bisa dikatakan kecil, sama seperti dirinya. Tapi Ain bisa melawan empat pemuda sekaligus yang berbadan lebih besar darinya.

Zen merasa bersalah, juga merasa kecewa pada dirinya sendiri. Seharusnya ia bisa memberanikan diri untuk membela dirinya sendiri tanpa harus mengharapkan bantuan dari orang lain. Apalagi, sampai dibela oleh Lyona yang seharusnya ia lindungi.

Ain yang teringat akan rencana untuk bertemu dengan Heim segera berjalan pergi meninggalkan mereka. Sebelum pergi Ain sempat berkata, "Aku tunggu kalian di pasukan Cerberus."

Kata-kata terakhir dari Ain membuat Zen kembali menundukan badannya, dengan air mata mengalir deras. Ia menangis bukan karena sedih, melainkan rasa haru. Dalam hatinya ia bertekad untuk berlatih lebih keras lagi agar ia menjadi jauh lebih kuat dari sekarang. Baik secara mental, maupun secara fisik.

Lyona mengusap-usap punggung Zen yang masih tertunduk dengan isak tangis walau sosok Ain sudah tidak ada di sana. Ia juga menteskan air matanya dengan senyum terlukis di bibirnya. Gadis periang itu juga merasa haru. Ia merasa Zen akan berubah setelah diberi nasehat oleh Ain.

Selama ini Zen yang bertubuh kecil sering kali dibuli di kelas, selain dibuli oleh para senior.

Lyona sangat berharap kalau Zen akan jadi jauh lebih kuat lagi setelah kejadian itu.