Ruri menggeliat dan meregangkan tubuhnya di atas ranjang. Dia membuka matanya dan membalikkan tubuhnya dan terbelalak melihat Daiki yang sedang berbaring miring dengan siku ditekan di atas ranjang dan sedang tersenyum padanya.
Ruri mencelat bangun dan langsung duduk tegak dengan rambutnya yang berantakan.
"Daiki?! Sejak kapan ada di sini?" Ruri menatap jam bekernya yang terletak di atas meja kecil di samping ranjang Dia melihat angka 5.30 pada jarumnya. Dia kembali menatap Daiki yang sudah duduk tegak.
Daiki membalas tatapan Ruri dengan lembut. Sejak kembali dari Koto, dia jarang bertemu Ruri karena kesibukannya mencari bukti kasus pembunuhan. Setelah semalam dia dan Hideo olahraga malam di rumah Shinobu bersama puluhan pria tukang pukul itu, Daiki sama sekali tidak bisa tidur di apartemennya. Untuk membuka data yang diambilnya dari komputer Shinobu juga dia merasa lelah.
Akhirnya dia mandi pada pukul 4 subuh dan berdiri menatap pemandangan Tokyo yang indah dari jendela apartemennya. Ingatannya melayang pada Ruri dan pertemuan singkat mereka semalam membuat dia meraih jaketnya dan membawa mobilnya menuju apartemen Ruri.
Dia menekan nomor kombinasi apartemen Ruri dan masuk dengan pelan. Dia menyusuri apartemen yang sangat feminim itu dan tersenyum ketika membetulkan letak sebuah bantalan sofa yang jatuh di lantai. Sepertinya Ruri menghabiskan malam tadi dengan memakan snack sambil menonton televisi.
Dia menuju kamar tidur dan melihat bagaimana nyenyaknya Ruri tidur. Selimut yang hanya menutup dari pinggang ke bawah tampak tersingkap berantakan. Dengan pelan Daiki merapikan letak selimut hingga menutup bahu telanjang Ruri. Ruri selalu tidur dengan tank top dan tanpa bra, Daiki sudah tahu akan hal itu.
Dia berbaring di samping Ruri dan menatap wajah terkasih itu dengan berbagai perasaan. Rasa sayang, cinta dan takut membayangi hatinya terhadap Ruri. Apa yang dikatakan ayahnya benar. Bahwa hingga sekarang Ruri belum pernah merasakan kebahagiaan seutuhnya. Dia menyentuh garis wajah itu dan bersumpah akan memberikan kebahagiaan itu pada Ruri.
"Sejak pukul 4.30.." sahut Daiki.
Ruri memegang kedua pipinya yang seketika memerah. "Ya Tuhan! Kau pasti telah melihatku tidur.."
Suara tawa Daiki terdengar geli. Dia memajukan tubuhnya mendekati Ruri. Dia berkata rendah. "Aku sudah puas melihat kau tidur selama hampir usiaku. Lagipula kita sudah tidur bersama. Apa lagi yang perlu kau malukan?" Smirk evil Daiki muncul. Sambil berkata demikian, dia mengecup ringan pipi Ruri yang menghangat.
Ruri makim bersemu merah ketika merasakan lengannya dibelai lembut oleh Daiki. "Daiki...aku belum mandi.."desisnya pelan.
Kembali terdengar tawa Daiki. Pria itu memundurkan wajahnya dan mendorong dahi Ruri dengan lembut. "Aku tidak akan mengajakmu bercinta pagi ini. Belum. Tapi nanti." Daiki tersenyum penuh misteri semakin membuat wajah Ruri merona.
Ruri menyibak selimut dan turun dari ranjang sehingga mau tak mau mata Daiki melihat tubuh indah itu hanya dibalut V String hitam dan tanktop putih. Daiki terpaksa menghembuskan napasnya ketika harus menyaksikan itu.
Daiki bergerak dan berjalan menuju pintu. Dia berusaha tidak merobek string rapuh yang membalut Ruri. "Aku ingin mengajakmu berkeliling."
Ruri tersenyum melihat bagaimana Daiki mengeraskan hatinya ketika melihat dia mengenakan underwear rapuh itu. Dia tidak bermaksud menggoda pria itu, itu sudah menjadi kebiasaan tidurnya. Ruri meraih handuk dan berteriak sebelum masuk ke kamar mandi.
"Apa mau kubuatkan sarapan?"
"Tidak! Kita sarapan di luar saja," sahut Daiki cepat.
Daiki menghela napas seraya mengusap wajahnya sambil menggelengkan kepalanya. Sejak mereka beranjak remaja dia sudah tahu bahwa Ruri berkembang menjadi seorang perempuan yang seksi dengan bentuk tubuh nyaris sempurna. Namun kadang wanita itu tidak sadar atau justru sedang menggodanya dengan keindahan itu.
Daiki tersenyum sendiri. Jika tidak berencana kencan layaknya sepasang kekasih mungkin dia lebih memilih seharian memeluk Ruri disela rasa penatnya dengan kasus itu. Akhirnya dia mengakui juga akan perkataan Hideo yang mengatakan bahwa kepenatan sebagai detektif kadang akan terlupakan jika sudah berada dalam pelukan Naoko.
Sambil meraih remote televisi, Daiki bergumam pelan. "Otakku tidak sepenuhnya diisi dengan seks, Hideo senpai." Daiki menatap layar televisi dan ternganga ketika melihat berita yang baru saja disiarkan.
Seorang reporter melaporkan bahwa pembunuh atas pembunuhan kasus Bank Asing Saitama dan Toshima mengalami titik terang. Melalui rekaman CCTV, Kepolisian sedang mencari seorang pria yang menyamar sebagai pengantar pizza dengan Logo yang terdapat di punggung jaket si pengantar pizza.
Daiki menatap rekaman CCTV yang tampak kabur dan menemukan detail kecil bahwa gelang yang menjadi idetitas si pembunuh tidak ditampakkan. Bagian di mana Guardian mengetuk jeruji sel terlihat kabur dan rekaman itu terlalu singkat. Dia hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya dan segera meraih ponsel untuk menghubungi Hideo. Namun sebelum dia menelpon, pria itu sudah lebih dulu menghubunginya.
"Apa kau melihat berita barusan?" -suara Hideo.
"Aku sedang melihatnya di apartemen Ruri. Bagaimana bisa rekaman dan keterang palsu ini dipublikasikan? Itu bukan Guardian! Tidak ada gambar Jiro Miura yang terbunuh di rekaman itu! Mereka bermaksud mengaburkan penjahat yang sesungguhnya pada masyarakat! Sialan!" Daiki merasa amarahnya semakin meningkat ketika Kepala Polisi Soji Hasegawa dan Kepala Ichiro Nakano mengeluarkan pernyataan akan segera menggeledah seluruh toko pizza di Tokyo.
Daiki menghentikan percakapannya pada Hideo dan memutuskan untuk menelpon langsung Kepala Divisi Kriminal itu. "Matikan sambunganmu. Aku ingin menelpon seseorang."
Daiki langsung menghubungi nomor pribadi Kepala Ichiro. "Bagaimana bisa rekaman CCTV itu bisa dipublikasikan, Kepala?" Daiki berseru penasaran.
"Tenanglah detektif Watanabe. Aku tidak tahu bagaimana media mendapatkan semua informasi tersebut. Lagipula dari awal kita sudah mengambil kesimpulan akan menggeledah toko pizza yang ada di Tokyo.."
"Anda tahu bahwa identitas si pembunuh bukan pada logo toko pizza tersebut tapi terletak pada White Guardian Brecelet yang dikenakannya. Dan aku bersama detektif Hideo sudah hampir bisa membekuknya..."
"Berhenti berbiara seolah kau bukan bawahanku, Detektif Watanabe. Malam ini kita akan mulai melakukan pencarian si pengantar pizza itu. Kau dan detektif Katoo tergabung dalam tim A. Kuharap kalian mempersiapkan diri!" - suara Ichiro tegas.
"Kepala Nakano!" Tapi sambungan telah terputus membuat Daiki menghempaskan punggungnya di sandaran sofa. Daiki menekan batang hidungnya ketika suara Ruri muncul di hadapannya.
"Apa yang terjadi?"
Daiki menatap Ruri yang berdiri di depannya dengan penampilannya yang sempurna. Rambut panjangnya terlihat dikepang samping dan Ruri tampak imut dengan blus lengan pendek longgar dipadu rok kulit hitam di atas lutut.
Daiki meraih tubuh Ruri dan mendudukkannya di atas pangkuannya. Dia memeluk Ruri dan membenamkan wajahnya di perut Ruri.
"Daiki..ada apa..?" Ruri bertanya heran.
"Biarkan aku sejenak seperti ini. Aku sedang marah dan ingin memukul siapa saja. Jadi kumohon redakan amarahku. Hanya memelukmu sudah cukup."
Ruri menatap rambut cokelat berantakan itu yang terbenam di perutnya dan merasakan betapa kencangnya Daiki memeluk pinggangnya. Tubuh pria itu bergetar tanda sedang berusaha mengendalikan amarahnya yang siap meledak. Ruri tidak berkata apapun dan hanya membelai lembut rambut cokelat itu.
Untuk sejenak mereka hanya seperti itu. Ruri seolah terkenang saat mereka kanak-kanak. Sejak kecil Daiki sudah seperti itu jika dia sedang dilanda amarah. Tubuhnya akan gemetaran dan dia sanggup memukuli siapa saja yang mengganggunya. Namun jiwa Daiki yang lembut tidak akan sanggup melakukan itu dan dia akan mencari Ruri. Daiki akan memeluk Ruri sejenak untuk meredakan amarahnya. Rasanya itu sudah terjadi bertahun-tahun lalu. Di mana dengan bertambahnya usia, Daiki sudah sanggup mengendalikan amarahnya. Kini Ruri tidak tahu apa yang menyebabkan Daiki menjadi begitu marah.
Sedikit demi sedikit amukan amarah di dada Daiki mereda. Tubuhnya mulai rileks dan perlahan dia melepaskan pelukannya. Dia mengangkat matanya dan menatap Ruri yang tengah memandangnya.
"Terimakasih..." ucap Daiki tersenyum.
Ruri balas tersenyum. Dia tidak pernah ingin bertanya apa yang menyebabkan Daiki begitu marah. Dari dulu dia seperti itu. Dia hanya menunggu hingga pria itu bercerita.
Dengan halus Ruri turun dari pangkuan Daiki dan berkata halus. "Di mana kita sarapan?"
Daiki bangkit berdiri dan memeluk bahu Ruri dan meletakkan kepalanya di puncak kepala wanita itu. "Kita ke Meguro." Harum rambut Ruri menggelitik hidung Daiki. Diciumnya puncak kepala itu dan dia bergumam pelan. "Seharian ini kita jalan-jalan."
Ruri mendongak dan tertawa. "Apa kau tidak ke markas?"
Daiki mendengus pelan dan berjalan menuju ke pintu. "Aku butuh suasana segar."
****
Daiki dan Ruri mengunjungi Meguro. Jalanan utama dipenuhi oleh para pejalan kaki dan terutama gang-gangnnya yang penuh oleh kios-kios jualan. Mereka menikmati sarapan mereka di sebuah warung bubur yang lengkap dengan makanan khas Jepang lainnya. Bahkan setelah mereka sarapan, Ruri masih ingin mencicipi jajanan inovatif yang dijual di Meguro. Ruri memilih memakan Choco Banana dan Daiki justru memilih kue dango.
Sambil memakan itu mereka berjalan-jalan menikmati Meguro di pagi hari. Kadang Ruri meminta di foto saat berada di etalase merk terkenal. Mereka juga menikmati berbelanja aksesoris murah di kios-kios yang tersebar sepanjang Meguro.
Ruri mengantongi banyak belanjaan aksesoris dan tertawa girang saat melongok ke dalam tas belanjaannya. "Sebentar lagi lampu buatanku akan lengkap."
Mereka menuju parkiran mobil saat Daiki melirik belanjaan Ruri. Dia tahu Ruri sedang membuat lampu untuk mereka berdua. Melihat wajah Ruri yang merona, Daiki tersenyum dan meraih jemari wanita itu. Digenggamnya dengan erat sepanjang jalan hingga menuju mobilnya.
Setelah berada di dalam mobil, Daiki mengeluarkan sesuatu dari dalam kantong celananya dan membawanya ke pergelangan tangan Ruri.
Sebuah gelang tipis dari tembaga melingkari pergelangan tangan Ruri. Ruri menatap benda itu dengan kaget campur senang.
"Woaah! Kapan benda ini kau beli untukku?" Ruri mencoba mengingat sepanjang mereka menyusuri Meguro, Daiki sama sekali tidak pernah terpisah darinya.
Daiki berdehem sambil menghidupkan mesin mobil. Dia melirik Ruri sekilas dan tersenyum tipis. "Sebenarnya gelang itu sudah lama kusimpan untukmu. Kira-kira sewaktu kau lulus kuliah.." Daiki menjalankan mobil keluar dari area Meguro.
Ruri memperhatikan gelang berbahan tembaga tipis itu. Gelang itu polos dan hanya ada sebuah batu merah menjadi hiasannya. Tiba-tiba Daiki menunjuk batu itu dan berkata pelan.
"Kalau kau menekan batu merah itu, kau bisa mengirimkan sinyal keberadaanmu lebih cepat dari pada GPS yang langsung terhubung ke ponselku."
Ruri membentuk mulutnya menjadi O besar dan mencoba menekan batu merah itu. Sebuah suara nyaring terdengar melalui ponsel Daiki yang terletak di atas dashboard. Ruri meraih benda itu dan sekali lagi berseru kagum. Tampak di layar ponsel Daiki muncul peta di mana dia berada dan hebatnya langsung ada keterangan dia ada di mana.
"Woaaah! Bagaimana ini bisa menjadi seperti ini?" Ruri mengangsurkan gelang yang dipakainya ke dekat Daiki.
"Gelang itu baru saja kumodifikasi tadi malam. Jika kau merasa tidak aman akan sesuatu..kau bisa langsung menekan batu merah itu dan terhubung pada ponselku."
Seakan teringat sesuatu, Ruri segera merogoh isi dalam tasnya. Dia teringat akan perkataan Sayuri yang mengatakan bahwa dia dalam bahaya.
Ruri meletakkan flashdisk pemberian Sayuri di atas dashboard di depan Daiki.
"Wanita bernama Sayuri itu memberiku ini. Dia bilang semoga bisa membantu penyelidikan."
Daiki menoleh Ruri dengan cepat dan kemudian menatap flashdisk yang terletak di depan matanya. Diraihnya benda itu.
"Wanita itu melakukannya sampai sejauh ini?" Daiki memperhatikan flashdisk di tangannya. Jantungnya berdebar kencang sekaligus heran mengapa Sayuri Fukuda melakukan hal yang nekad seperti itu. Apakah murni untuk menolong Ruri ataukah ada rencana terselubung?
Ruri mengangguk cepat. "Kau pasti heran mengapa dia melakukannya untukku. Dia mengetahui semua tentangku dan memintaku merahasiakan pertemuan kami pada siapapun terutama...." Ruri merasa ragu untuk menyebutkan nama Mamoru. Sampai detik ini dia tidak mengerti mengapa Mamoru tidak boleh tahu pertemuan itu. Apakah wanita itu dan Mamoru saling kenal?
"Terutama siapa?" tanya Daiki.
Ruri memainkan kukunya dan berkata lapat-lapat. "Mamoru. Wanita itu melarangku jangan sampai Mamoru tahu.." Ruri menghentikan kalimatnya ketika melihat perubahan wajah Daiki.
Mendengar itu Daiki menggenggam erat flashdisk tersebut. Dia semakin penasaran dengan tujuan wanita itu. Disimpannya flashdisk itu ke dalam kantong celananya dan menyentuh wajah Ruri dengan tangannya.
"Kupikir kau boleh mempercayai wanita itu dan mencoba berteman dengannya." Daiki menatap manik mata Ruri yang bening. "Aku akan segera membuka flashdisk itu.."
Ruri memegang telapak tangan Daiki yang menempel di pipinya. Dibawanya tangan hangat itu ke bibirnya dan dikecupnya dengan lembut.
"Kapan semua ini berakhir, Daiki? Wanita itu berkata bahwa pria itu begitu membenciku dan ayahku hingga ke sum-sum tulangnya. Apakah karena aku menjadi saksi atas pembunuhan ibuku? Apakah yang sudah ayahku lakukan di masa lalu? Aku hanya tahu bahwa ayahku selalu berteriak di depan wajah Okaa-san..memukulinya tanpa bisa kuhentikan." Tanpa sadar sepasang mata Ruri berlinang airmata.
Daiki meraih Ruri dalam pelukannya. Dipeluknya erat tubuh itu seolah ingin meremukkannya. Berulang kali dikecupnya puncak kepala Ruri dan dia merasakan bagaimana Ruri membalas pelukannya sama eratnya.
"Aku berjanji. Aku berjanji akan menuntaskan kasus ini.." bisik Daiki.
Ruri menjauhkan wajahnya, jari-jarinya mencengkram bagian dada polo Daiki. Dia mendongak dengan pipi merona.
"Apa gaun yang dirancang Naoko akan segera kukenakan?" senyum Ruri.
Daiki menunduk dan perlahan menyentuhkan bibirnya di atas bibir Ruri. Ruri memejamkan matanya saat di mana bibir Daiki mengecupnya begitu lembut. Seakan yang ada adalah kasih sayang seutuhnya tanpa dibarengi nafsu.
Daiki melepaskan bibirnya dari bibir Ruri dan tersenyum tipis. "Sebenarnya aku ingin menghabiskan hari ini bersamamu tapi panggilan tugas malam ini mengharuskanku membatalkan rencanaku." Daiki menggembungkan pipinya. Dia menoleh Ruri. "Kepolisian mengeluarkan perintah penangkapan pembunuh Jiro Miura."
"Apakah kau yakin akan menangkap pembunuh yang sebenarnya nanti malam?"
"Tidak. Itu bukan pembunuh yang sebenarnya."
Keduanya saling berpandangan. Daiki meraih bahu Ruri dan merapatkan tubuh wanita itu di dekatnya. "Aku dan Hideo Senpai menghadapi penjahat kelas kakap, Ruri. Mereka bekerja sama dengan para petinggi kepolisian. Hal itulah yang membuat ayahku dan Yoshio Oji-san didepak dari kepolisian."
Ruri terdiam. "Jika kau dan Hideo-san melepaskan kasus ini bukankah hidup kita akan baik-baik saja?"
Daiki menoleh Ruri. Ingatan akan sosok seorang pria bernama Junichi Kimura di pusat perbelanjaan Koto terbesit jelas di pelupuk mata Daiki berikut Mamoru yang tiap hari bersama Ruri. Bahkan sebelum kasus ini diusut, keparat itu sudah mengatur semuanya!
Daiki memegang erat bahu Ruri. "Tidak! Hidup kita tidak akan baik-baik saja apalagi jika kasus ini kutinggalkan."
"Aku takut kau dan Hideo-san bernasib buruk."
Daiki mendengus tertahan. Ruri memukul bahu lebar itu dengan gemas. "Daiki! Aku serius! Tiap kali kau dan Hideo-san pergi menyelidik, sepanjang hari itu aku selalu berdoa. Aku hanya memiliki kalian. Aku hanya memilikimu." Ruri membuang mukanya.
Daiki tertawa pelan dan meraih wajah Ruri, membawanya agar menatapnya. Dia berbisik penuh godaan. "Kau tahu, aku ingin sekali "memelukmu" saat ini."
Wajah Ruri memerah saat mendengar nada seksi Daiki ketika mengucapkan "memelukmu". Dia tahu ke mana arah bicara pria itu. Dia mendorong dada Daiki.
"Daiki! Ternyata kau memang mesum!"
Daiki terbahak. Dia melepas pelukannya. "Kalau aku memang mesum, pagi tadi sudah kurobek stringmu dan membawamu berada di bawahku." Dan dia kembali menerima pukulan keras Ruri pada bahunya.