Chereads / RUNAWAY BRIDE (JAPAN VERSION) / Chapter 27 - Bab 26

Chapter 27 - Bab 26

Narita Airport. Pukul 05.00 p.m.

"Diberitahukan bahwa pesawat Britain Air dari London telah mendarat. Untuk para penumpang dipersilakan segera menuju gerbang kedatangan. Terimakasih telah bersama kami"

Tampak para penumpang pesawat Britain Air menuruni tangga pesawat dan menuju gerbang kedatangan. Seluruh penumpang tampak menanti dengan sabar menunggu munculnya bagasi mereka.

Tampak seorang pria paruh baya bertubuh jangkung dibalut setelan kasual yang chic meraih sebuah koper berukuran sedang. Di wajahnya yang masih terlihat tampan bertengger sebuah kacamata gelap bermerek mahal. Meski pun rambutnya mulai banyak diwarnai warna kelabu, pesonanya masih saja membuat lawan jenisnya menatapnya tanpa berkedip. Tubuhnyapun masih terlihat tegap ketika melangkah ringan sambil menyeret kopernya.

Kenji Fujita kembali menginjakkan kakinya di Tokyo setelah 19 tahun berlalu. Dan dia merasakan sebuah perasaan gamang ketika menghirup udara yang sudah lama ditinggalkannya. Seakan semua kenangan kembali muncul di depan matanya.

Kenji melihat seorang pria tua bertubuh kecil dengan setelan jas hitam membungkuk hormat padanya.

"Selamat datang di Tokyo, Kenji-sama. Silakan." Pria itu menunjuk sebuah mobil sedan mahal yang terparkir di depan bandara dengan pintu penumpung yang terbuka.

"Apakah kau Ryo Aoki? Asisten Peter?" Tebak Kenji.

Ryo Aoki mengangguk hormat. "Iya, Kenji-sama."

Kenji memasuki mobil tersebut dan membiarkan Ryo menutup pintunya. Dia menatap bagaimana pria tua itu berjalan memutari mobil dan duduk di belakang setir.

Meskipun ini adalah yang pertama Kenji bertemu pria itu, semasa hidupnya Peter selalu mengatakan bahwa asistennya adalah yang terbaik. Usia tua tidak membuat kegesitannya berkurang. Asistennya juga adalah orang yang cepat tanggap dan selalu siap. Tapi ke manakah dia sewaktu pembunuhan Peter terjadi? pikir Kenji.

Bagai memiliki sepasang mata di belakang, tiba-tiba Ryo menoleh sebelum menjalankan mobil. "Apa anda langsung ke apartemen?"

Kenji berjengit kaget ketika terpandang langsung pada sepasang mata sipit itu. Dia cepat menjawab lugas. "Ya. Aku butuh istirahat." Aku butuh istirahat setelah 19 tahun aku tidak berada di sini.

****

Mamasita Club. Pub and Resto. 07.00 p.m.

Sebuah klub yang dipadati oleh para pria berjas licin itu tampak hingar bingar oleh suara musik dan para pelayan seksi hilir mudik dengan kostum kelincinya. Semua bar tampak penuh dan barterder tampak sibuk dengan gelas-gelas sloki berisi wine, vodka maupun tequila. Wanita-wanita penggoda hilir mudik menggoda para pria yang ada di klub itu. Tampak sebuah panggung melingkar berada di tengah-tengah klub dengan sebuah tiang di tengah panggung. Sebentar lagi penampilan dari sebuah pole dance akan dimulai. Para pengunjung klub masih menunggu sang pemilik yang masih bermain billiard sambil berbicara bisnis dengan seseorang yang sangat penting.

Sang pemilik sekaligus sang mafia Lucifer, Junichi Kimura sedang bermain billiard di sebuah ruang kedap suara yang berada di ujung lorong klub tersebut. Dia sedang membidik sebuah bola biru yang berada di tengah-tengah seraya berkata pelan pada seorang pria yang duduk di sebuah sofa single yang ada di ruangan itu.

"Jadi malam ini seluruh polisi pilihan kepolisian akan memburu si pengantar pizza itu?" Junichi menggerakkan ujung sticknya.

"TAK!!" Bola biru itu menggelinding cepat mengenai bola merah yang berada di ujung lubang dan jatuh ke dalamnya.

Junichi menegakkan punggungnya dan menatap pria yang sedang duduk. Tampak dua kancing kemeja Junichi terbuka sehingga dadanya yang bidang mengintip. "Apakah kau sudah mempersiapkan seorang yang akan menggantikan Mamoru mendekam di penjara, Kepala Ichiro Nakano?" Senyum miring penuh kelicikan bermain di wajah tampan itu.

Sebuah tawa keras membahana sebagai jawaban atas pertanyaan Junichi. Ichiro berkata dengan suaranya yang berat. "Tidak begitu sulit untuk mendapatkan orang yang ingin dibayar meski harus mendekam di penjara selama bertahun-tahun. Aku bukanlah seorang yang amatir, Junichi-kun. Hal seperti ini sudah pernah kulakukan 19 tahun lalu. Menjadikan seorang suami sebagai tersangka pembunuhan atas isterinya untuk membersihkan tangan ayahmu."

"Tapi kau gagal menjadikan itu bukti utama sehingga kasus Toshima ditutup!" tukas Junichi tajam.

"Itu karena ulah Takao Watanabe dan Yoshio Katoo. Kalau aku tidak segera melaporkan kecurigaan mereka pada Kepala Saburo Nakajima, kerja sama kita akan terbongkar. Lagipula selama 19 tahun kasus itu tenggelam begitu saja sementara kita selalu mencari keberadaan Kenji Fujita yang sudah mencuri gelang rahasia itu."

Junichi mengancingkan kemejanya dengan rapi. Dia menatap ke manik mata Ichiro. "Bagaimana perasaanmu ketika mengetahui anak perempuan yang kau rencanakan mati di tebing itu muncul di depanmu dan di depan mayat Jiro Miura? Tentu kau kecewa bukan? Seorang saksi mata yang melihat langsung pembunuhan itu ternyata tidak mati di lautan Odaiba?"

Wajah Ichiro berubah gelap. Dia cukup mengingat dengan jelas bagaimana sebenarnya dia terkejut ketika malam kematian Jiro, Daiki datang ke markas bersama anak perempuan Akemi Kondoo yang selama ini dikiranya sudah lama mati.

"Aku cukup kecewa namun kali ini dia kuserahkan padamu, Junichi-kun. Aku mesti mengurus dua detektif yang selalu ikut campur itu."

Junichi meraih jasnya. Sepasang matanya tampak berkilat. "Ah..tentu saja. Bagian Kenji dan anaknya adalah di tanganku."

Koji Hayashi datang mendekati Junichi. Dia berbisik pelan pada majikannya itu. Apa yang dilaporkannya membuat senyum Junichi terkembang selebar wajahnya. Pria itu menatap wajah Ichiro yang keras.

"Kenji Fujita sudah berada di Tokyo." Junichi bertepuk tangan dengan puas. Ichiro terlihat berdiri dengan wajah tersenyum pula.

"Aku harus segera pergi dari sini. Pencarian "si pengantar pizza" akan segera dimulai. Aku menunggu pertemuan kita selanjutnya setelah ini."

Junichi mengangkat tangannya dan berkata senang. "Tentu saja. Besok malam aku akan membuka pintu rumah di Azabu. Kita bisa mulai membahas bisnis kita."

Ichiro terbahak dan menuju pintu keluar ruangan dan berpapasan dengan seorang pria besar tinggi berpakaian serba hitam. Pria itu segera mendekati Junichi dan membungkuk hormat.

"Apa hasil darimu pagi ini?" tanya Junichi tajam.

Pria itu meletakkan sebuah map cokelat di atas meja billiard. "Semuanya ada di dalam sini, Junichi-sama."

Junichi menatap map cokelat tipis itu. Diraihnya benda itu dan tanpa menoleh dia mengusir anak buahnya. Dengan tidak sabar dia membuka map tersebut dan menatap isinya dengan pandangan murka.

Dengan geraman marah Junichi membanting beberapa lembar foto Sayuri yang bertemu dengan Ruri di sebuah kadai kopi di Shibuya. Tidak puas dengan membanting foto-foto tersebut, Junichi menerjang meja billiard tersebut hingga terbalik, membanting semua yang ada di atas meja tamunya.

Koji menatap kemarahan Junichi dengan ekspresi datar. Tidak ada gunanya dia berusaha menenangkan mafia muda itu jika sedang mengamuk seperti itu. Junichi lebih beringas dari Kimura tua. Lebih baik memilih diam jika tidak ingin celaka. Pria itu akan berhenti dengan sendirinya setelah puas membantingi semua yang ada di dekatnya.

Junichi mengatur napas kemarahannya. Dia mengepalkan kedua tinjunya. Dengan berusaha tenang, dia merapikan kemejanya dan jasnya yang licin. Dia menoleh Koji yang berdiri tegak di dekat pintu.

"Hubungi Sayuri-sama. Katakan padanya untuk tidak tidur sebelum aku kembali! Cepat!" perintah Junichi menggelegar.

Koji mengeluarkan ponselnya sementara Junichi berjalan keluar dari ruangan diikuti Koji yang sedang berbicara pada Sayuri.

Suara hiruk pikuk di klub menyambut kehadiran Junichi. Bukan hanya anggota klub dan para pelacurnya yang menanti sang mafia, namun di sofa VVIP telah menanti pula Kepala Polisi Soji Hasegawa bersama Saburo Nakajima, mantan Kepala Kepolisian 19 tahun lalu.

~~~Oo~~~

Seluruh Distrik dan perfektur di Tokyo. Pukul 09.00 p.m.

Beberapa tim dari Kepolisian tersebar di tiap Distrik yang ada di Tokyo. Mereka menggeledah semua tempat yang bernama Pizza Orabachan bahkan beberapa apartemen kumuh. Daiki dan Hideo yang tergabung pada tim A hanya bertugas menunggu Tim Inti menggerebek tiap tempat pada pintu pintu masuk gedung apartemen atau toko pizza.

Hideo menggerutu panjang pendek dengan tugas sepele itu. Dia dan Daiki merupakan polisi kompeten yang selalu turun ke lapangan bukan sekedar menjadi pagar betis seperti ini.

"Ini sungguh memalukan! Mengapa Kepala Nakano menempatkan kita di posisi seperti ini!" Hideo menoleh Daiki yang diam saja.

Dengan jengkel Hideo menekan ujung pistolnya pada rompi anti peluru yang dikenakan Daiki. "Daiki! Jangan abaikan celotehku!" desis Hideo.

Daiki menghela napas berat. Dia mendelik pada Senpainya yang menjadi sangat ceriwis malam itu. "Tutup mulutmu! Tidak salah kau disebut seperti Oba-san oleh Ruri kalau sudah banyak mulut seperti ini!" Daiki menyemprot Hideo dengan sebal seraya menepis ujung pistol Hideo dari tubuhnya.

Hideo mendekat pada Daiki. "Habisnya aku kesal. Kita memburu orang yang salah..."

"Makanya kita diletakkan dalam posisi seperti ini! Kau mengerti tidak?!" potong Daiki tidak sabar.

Hideo terdiam. Dia semakin merapat pada juniornya itu. Dia berbisik. "Apa kau juga curiga?"

Daiki mengangguk. "Sekarang kunci mulutmu. Setelah penangkapan baru kita bahas di apartemenku. Di saku celanaku ada flashdisk dari seorang yang bernama Sayuri Fukuda. Dia bertemu dengan Ruri kemarin."

"Sayuri Fukuda? Namanya sama dengan nama pemilik rekening Bank of Tokyo untuk membeli gelang itu!" seru Hideo tertahan.

Daiki mendecak kesal. Dia melotot pada Hideo. "Demi Tuhan, Senpai! Kembali ke posisimu. Sekarang! Mereka sedang menuju kemari"

HIdeo memutar tubuhnya dan melihat 5 orang polisi yang tergabung di dalam tim inti datang dari lobi apartemen dengan menyeret seorang pria muda bertubuh sedang ke arah mereka.

Terdengar ketua dari tim inti menghubungi markas. "Di sini Tim Inti bersama tim A. Berada di Shinagawa pada apartemen di dekat taman Shinagawa . Kami berhasil mendapatkan tersangka pembunuhan Jiro Miura dengan barang bukti Baretta 92 dengan isi peluru yang sama yang ditemukan pada tubuh korban beserta sidik jarinya pada jeruji sel."

Daiki dan Hideo berpandangan. Siapa pun yang mengetahui awal pembunuhan itu, tahu bahwa sang pembunuh sama sekali tidak meninggalkan sidik jari apa pun di TKP selain dia mengetuk jeruji sel dengan gelang White Guardian Brecelet itu.

Baik Daiki mau pun Hideo melihat pria muda itu diangkut ke mobil polisi. Pria itu memiliki postur yang sama seperti si pengantar pizza itu. Tepatnya seperti postur tubuh Mamoru! pikir Daiki masam.

Daiki dan Hideo tidak ikut iringan mobil polisi kembali ke markas. Mereka menuju kembali ke apartemen Daiki. Sambil menyetir, Hideo berkata pada Daiki. "Tidakkah kau berpikir bahwa ini sudah menjadi sebuah penipuan besar-besaran pada kasus ini? Ada permainan kotor di kepolisian kita! Apa yang kita temukan di komputer Shinobu Kimura benar! Ada kerjasama antara kepolisian kita dan kelompok mafia itu"

Daiki menyentuh bibirnya dengan ujung jarinya. Ekspresi Ichiro kembali membayang di benaknya. "Kita harus menemukan Kenji Fujita lebih dulu daripada mereka."

Hideo menghentikan mobil secara tiba-tiba. Dia menatap Daiki dengan terkejut. "Maksudmu kita keluar dari penyelidikan kasus ini?"

Daiki mengangguk. "Kau ingat tulisan di kain beledu di bawah kotak White Guardian Brecelet yang kosong di rumah Shinobu? Kau sendiri berkata bahwa itu sejenis kode rahasia yang terdapat pada Bank Of Tokyo. Kau ahli di bidang itu. Gelang itu awalnya berada didalam brankas yang dibobol Kenji. Besar kemungkinan gelang itu juga dirampok pria itu. Hal itulah mengapa penyelidikan 19 tahun lalu pihak kepolisian memburu pria itu sebagai tersangka utama pembunuhan Akemi Kondoo. Hanya kedua ayah kita yang menyangkalnya karena melihat perselingkuhan antara Kenji dan istri mafia Shinobu dan tersangka utama tertuju pada mafia tersebut yang akhirnya membuat kasus Toshima ditutup dan kedua ayah kita dipecat dari kepolisian."

Hideo memeluk setir mobil dan menatap Daiki. Suara lalu lalang kendaraan di luar mobil mereka terdengar jelas. Gemerlap Tokyo seakan menutupi segala kemaksiatan di dalamnya. Pemandangan yang ironis bagi mata Daiki dan Hideo.

"Ini menjadi sangat berat bagi kita. Jika benar analisismu dan kenyataan malam ini tentang penangkapan palsu pembunuh Jiro Miura, kita berdua menghadapi kejahatan paling licik yang dilakukan oleh para petinggi kepolisian bersama seorang penjahat besar dan keturunannya. Kita hanya berdua menghadapinya. Haruskah malam ini kita membahas semuanya di apartemenmu?" Hideo menatap Daiki dengan memelas. "Tidakkah kau ingin bersama Ruri malam ini?"

Mau tak mau Daiki tertawa mendengar bujukan Hideo di akhir percakapan mereka. Dia mendongak ke langit-langit atap mobil dan nyengir pada Hideo.

"Aku akan mengantarmu ke apartemen Naoko."

Wajah Hideo berbinar cerah ketika mendengar kalimat Daiki. Dengan bersemangat dia kembali menjalankan audy milik Daiki. Dia menoleh. "Apakah kau akan ke tempat Ruri atau kembali ke apartemenmu?"

Senyum khas Daiki muncul. Dia menjawab ringan. "Pikirmu aku bakal ke mana?"