Di dalam mobil saat perjalanan pulang, aku hanya terdiam. Mas Tio berkali-kali memanggilku namun aku seperti orang yang melamun.
Mas Tio "Dek... kamu capek ya?"
Aku "Hah? kenapa mas?"
Mas Tio "Kamu bukannya tidur aja, kayaknya keliatan capek gitu"
Aku "Hmm enggak kok"
Mas Tio "Kenapa?"
Aku "Gak papa"
Mas Tio "Oya, tadi temen kamu siapa tuh yang ngajakin sholat berjama'ah"
Aku "Hmm yang mana sih ya?"
Mas Tio "Itu yang pake kaos panjang sama celana cargo"
Aku "Oh... si Rizky"
Mas Tio "Nah iya Rizky, dia dewasa juga. Salut loh sama anak muda kayak dia"
Aku "Hmm.. iya "
Mas Tio "Diantara kalian ada yang pacaran ya?"
Aku "Hah??? emmm gak ada kok mas"
Mas Tio "Bener??? Bagus deh kalo gak ada yang pacaran, jadi kalian ngelakuin kegiatan itu emang tujuannya bagus bukan buat ajang caper-caperan gitu"
Aku "Yee lagian ngapain caper"
Mas Tio "Itu kalian sekelas semua?"
Aku "enggak, kita beda-beda kelas. Cuma Siska dan cowok-cowok itu yang sekelas. Tapi Rizky masih kelas X"
Mas Tio "Hah? Kelas X ?"
Aku "Iya kelas X "
Mas Tio "Lah mas pikir dia lebih dewasa daripada yang lain, kirain udah kelas XII "
Aku "Bukan... dia paling muda, tapi ya emang dewasa sih"
Mas Tio "Wahhh... salut sih, dia agamanya bagus dari attitude juga bagus"
Aku "Iya begitu lah... Tapi dia mau pindah"
Mas Tio "Mau pindah sekolah maksudnya?"
Aku "Iya..."
Mas Tio "Hmmm... jadi ini terakhir kalian main bareng"
Aku "Mungkin..."
Mas Tio "Jadi kamu sedih daritadi mikirin dia?"
Aku "Ehh apasih mas, lagian siapa yang sedih?"
Mas tio "Ituu daritadi mas liat kamu tuh kayak sedih gitu. Matanya kayak berkaca-kaca"
Aku "Enggak... "
Mas Tio "Yaa wajar kok kalo kamu sedih, namanya juga perpisahan dengan teman-teman"
Aku "Udah ah, mas Tio kepo. Pake segala nanya-nanya tentang Rizky"
Mas Tio "Gapapa dong, mas juga pernah muda. Mas pernah ngalamin masa-masa seperti kalian, tapi mas iri. Karna gak pernah kepikiran kayak gitu. Sampe-sampe kalian tuh ada rencana berbuat sosial kayak tadi. "
Aku "Yaa... terimakasih atas pujiannya hehe"
Mas Tio "Intinya pertemanan kalian udah baik. Mas percaya kalian bakal jadi anak-anak yang berguna bagi Nusa bangsa"
Aku "Aaminn... "
Mas Tio "By the way Rizky mau pindah kemana?"
Aku "Hmmm katanya ke pesantren diluar kota"
Mas Tio "Masyaallah... calon ustad dong"
Aku "Mungkin..."
Mas Tio "Hmm... pantesan"
Aku "Dahlah... gak usah bahas Rizky Mulu"
Mas Tio "Okeyy..."
Mas Tio fokus memegang setir namun gelagat mas Tio seperti mengetahui isi hatiku. Sebelum ketahuan lebih baik aku mengalihkan pembicaraan.
Setibanya di rumah, aku segera mandi dan sholat magrib.
Aku berdo'a pada Allah...
"Ya Allah... semoga pertemuan aku dengan dia bukan hal yang kebetulan semata. Aku yakin ini adalah takdirmu. Mungkin perpisahan ini juga yang terbaik bagiku. Sungguh aku hanya bisa menyukai dia dari kejauhan, tidak bisa memilikinya. Aku serahkan hati dan perasaanku kepadamu ya Allah... Jika aku suatu saat aku rindu padanya, tolong sampaikan padanya walau hanya lewat mimpi"
Selesai sholat dan berdo'a entah kenapa hatiku merasa lebih tenang. Tidak seperti tadi saat diperjalanan pulang, hatiku gelisah seakan-akan tak terima berpisah dengannya.
Beberapa saat kemudian, ketika aku sudah merebahkan tubuhku ke kasur. Ponselku berdering, ada panggilan masuk dari Siska.
Aku "Hallo? "
Siska "Pawla... are you okay?"
Aku "Yes. I'm okay"
Siska "Bohong, gue tau perasaan lu gimana"
Aku "Hmmm maunya gimana"
Siska "Paw...mending lu ngomong deh ke Rizky, kalo lu suka sama dia"
Aku "Gak perlu"
Siska "Kenapa gak perlu?"
Aku "Yaa karna gak perlu, toh kita gak akan bisa ketemu lagi"
Siska "Bisaa.... suatu saat nanti"
Aku "Sis.. dia pindah ke pesantren, bukan ke sekolah biasa. Jadi kemungkinan dia gak akan pernah balik ataupun ngabarin kita"
Siska "Kenapa lu jadi takut? Takut dia gak akan balik lagi?"
Aku "Gak takut, tapi gue udah tau bakalan patah hati"
Siska "Patah hati itu kalo lu udah menyatakan perasaan dan lu ditolak. Lah ini belom apa-apa Lu udah patah hati"
Aku "Gue gak mau berharap lagi, makanya gue ngerasa mending gue patah hati duluan"
Siska "Kalo lu gak ngomong, biar gue yang ngomong"
Aku "Gak perlu sis"
Siska "Pawla.... please, gue yakin setelah lu ngomong hati lu bakalan tenang"
Aku "Hmmm... udah sis, gue mau tidur"
Siska "Oh okay, gue gak akan ganggu lu. Semoga lu tidur nyenyak"
Aku "Hmmm..."
Setelah mendengar ocehan Siska, kenapa hatiku kembali gelisah. Apa perlu aku mengungkapkan perasaanku kepada Rizky?
Perasaan suka sejak pertama kali mendengar dia melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an. Sejak itulah aku menyukai suaranya, tanpa melihat rupanya. Dan saat itulah bibirku berucap, dia adalah tipe idaman calon imam ku didepan teman-temanku. Atau mungkin aku suka dengannya sejak dia meledekku masuk dibarisan kelasnya.
Entah kapan perasaan itu hadir, namun aku hanya memendamnya selama itu. Bahkan aku malu untuk mengakui bahwa aku telah menyukainya. Aku terlalu cuek jika dia mendekati, sehingga aku bingung caranya menunjukkan rasa perduli kepadanya.
Hingga pada akhirnya dia memutuskan untuk pergi, disaat kami baru memulai pertemanan dengan baik.
Sebenarnya perasaanku kecewa bercampur gelisah. Namun aku tak bisa mengungkapkannya kepada siapapun.
Hanya buliran air mata penyesalan yang menetes ke area bantal yang aku rebahkan, aku tidak bisa memejamkan mataku. Sungguh pikiranku kini tertuju pada Rizky.
Tiba-tiba suara getar dari ponselku, saat itu sudah pukul 21.00 malam.
Sebuah pesan dari nama kontak : Rizky.
"Assalamualaikum..."
Deg...
Seketika mataku yang sudah setengah ngantuk, langsung tertuju pada layar ponsel. Apakah aku salah baca nama kontak itu bukan Rizky tapi Rindy?