Ternyata aku tidak salah membaca nama kontaknya, benar saja itu dari Rizky.
Tapi kira-kira ada apa dia menghubungi aku?
Lalu aku mengetik balasan pesan kepadanya.
Berulang kali ketika itu aku hapus, lalu aku ketik kembali. Ah, rasanya bingung mau balas apa. Akhirnya....
"Walaikumsalam.." jawaban pesan singkat dariku.
Lalu tak lama kemudian dia membalas lagi.
"Maaf ganggu, kamu udah tidur belum?" dari Rizky.
"Engga kok, belum tidur. Ada apa?" jawabku.
"Sebelum saya pergi, apa gak ada yang mau diucapin ke saya?"
Tiba-tiba pertanyaan Rizky memancing emosiku. Entah kenapa aku malah membalasnya dengan keangkuhan.
"Maksudnya apa ya? Perasaan gue gak ada salah sama lu"
"Hehe... bercanda kok, cuma mau chattingan aja. Soalnya nanti pas di pesantren udah gak bisa megang handphone."
"Ouhh.. berarti lu chattingan sama yang lain juga dong."
"Hemm.. iya sih, tapi yang lain gak bales. Mungkin udah tidur."
"Kenapa lu chating gue?"
"Karna sebelumnya jarang chattingan kan? Siapa tau nanti kamu kangen hehee"
Balasan pesan dari Rizky, saat itu membuat aku tersenyum sendiri.
"Jangan geer, emang lu gak mau balik lagi kesini?" tanyaku.
"Hemm... entah, saya aja gak tau bisa balik lagi atau engga."
"Ouhh.. jadi intinya lu gak mau balik lagi"
"Bukan gak mau, tapi bakalan sulit. Karena saya mau mendedikasikan diri saya ke pesantren setelah lulus."
"Hemm... Semoga itu jalan terbaik buat lu"
"Pawla... saya boleh nanya?"
Deghh...
Tiba-tiba jantungku semakin berdebar kencang. Rasanya ada hal yang ingin Rizky ungkapkan kepada aku.
"Iya boleh... mau nanya apa? Jangan susah-susah"
"Hehe.. serius nih..."
"Tumben serius, biasanya bercanda."
"Kamu selama ini gak salah paham kan sama saya?"
"Salah paham gimana?"
"Yaa soal sikap saya ke kamu, saya sering ngeledekin kamu atau saya sering rese sama kamu. "
"Ouhh biasa aja, kan emang lu rese.."
"Tapi saya suka sama kamu, yang cuek gitu. Kamu gak caper ke cowok, beda dari yang lain."
"Hah? Suka gimana?"
"Suka aja punya temen kayak kamu, semoga kamu bisa dapetin pasangan yang bisa hargain kamu yaa. "
What??? dia suka sebagai teman?
Baru saja aku merasa senang dia mengungkapkan "suka" tapi malah sebagai teman.
"Ouhhh... iya amin. Makasih lu udah do'ain gue."
"Sama-sama.. Saya bakalan kehilangan teman-teman yang asyik kayak kalian."
"Termasuk gue ?"
"Iya lah... By the way udah malem nih, maaf ya udah ganggu. Sekarang tidur sana..."
"Minta maaf mulu kayak lebaran, kan gue bilang tadi gak ganggu. Tapi ya udah deh, gue tidur aja"
"Hehe maaf jangan ngegas dong, ini yang terakhir kita chattingan loh. Kita baik-baik aja ya hehe"
"He'eh... ya udah, gue juga kebetulan udah ngantuk. Mungkin lu juga udah mau tidur kan"
"Good night, semoga mimpi indah (emotikon senyum)"
"Night too"
Aku mencoba menghela nafas pelan-pelan, yang memburu sedari tadi terasa sesak.
Tak ada hal yang mesti disampaikan atau diungkapkan. Jika aku harus mengungkapkan perasaanku yang sebenarnya, rasanya akan sia-sia. Gayung tak bersambut begitu kata pepatah. Dan kapal ku tidak akan pernah bisa berlayar.
Akhirnya aku harus memaksakan mataku agar terpejam. Aku berharap esok hari bisa segera melupakannya. Bahkan kalau boleh, aku hilang ingatan saja. Sehingga aku tak bisa mengingat semua tentang Rizky.
Dear Rizky...
Udah ya, lu gak usah balik lagi ke dalam hidup gue.
Lu itu bagian kenangan indah, tapi percuma semuanya singkat dalam hidup gue.
Pergi jauh-jauh dan jangan pernah balik lagi.
Anggaplah gak pernah saling kenal.
Begitulah kiranya isi hatiku yang ingin aku sampaikan. Ingin rasanya berteriak, tapi nanti malah disangka gil* karena sudah malam begini.
Huffftt....
Ayo mata, pliss kerja samanya...
Gue gak mau nangis apalagi mikirin dia yang mau pergi...
Dan malam itu akhirnya aku bisa tertidur lelap walau hanya 4 jam.
Ketika adzan subuh berkumandang, aku segera bangun.
Waktu subuh...
Adalah waktu pertama kali aku mendengar suaranya yang sedang melantunkan ayat-ayat Al-Qur'an di asrama.
Mengingat semua itu membuat aku tak sadar meneteskan air mata di sela do'a ku selesai sholat.
Aku percaya pertemuan aku dengan dia pasti adalah takdir. Dari suaranya, mengenal kepribadiannya, lalu akhirnya menjadi teman adalah sebuah takdir. Aku tak pernah menyesal sama sekali, dipertemukan dengan dia melalui cara yang baik. Suara itu yang terus terngiang dalam ingatanku. Bahkan suara itu masih aku simpan dalam ponselku.
Tapi jujur saja aku benci harus berpisah dengan cara seperti ini. Kenapa dia harus pindah sekolah?
Menangis sejadi-jadinya diatas sejadah, membuat aku merasa lega.
Aku tak bisa mengungkapkan perasaanku kecuali pada sang pemilik hatiku.