"Hanya dia lah yang mengingat semua kenangan itu, kenangan yang begitu menyedihkan untuk diingat."
.
.
.
Pedang yang tertancap di batu itu, dulunya milik seorang Putri dari sebuah Kerajaan yang begitu makmur dan subur. Berbagai tanaman dan bunga dapat tumbuh dengan baik di tanah Kerajaan tersebut. Rakyat hidup dengan bahagia karena memiliki Raja yang bijaksana. Disana, lahirlah seorang Putri cantik yang tumbuh sedikit berbeda dengan Putri dari Kerajaan lain.
Dia tidak suka menyulam dan juga tidak suka berdansa, yang dia sukai adalah memegang sebilah pedang dan menjadi seorang kesatria. Menjadi seseorang yang bisa melindungi Kerajaannya adalah sesuatu yang sangat ia inginkan. Statusnya sebagai seorang Tuan Putri menghalangi mimpinya, namun dia tidak pernah menyerah. Ia berusaha dengan keras membujuk ayahnya agar ia bisa berlatih pedang sampai akhirnya Raja yang bijaksana tersebut memberikan izin.
Sebuah peristiwa yang tidak terduga terjadi di masa depan. Kerajaan yang awalnya damai tersebut, kini telah menjadi medan perang. Tuan Putri yang pemberani itu, kini telah tumbuh menjadi seorang pendekar pedang wanita yang memiliki kemampuan yang cukup mumpuni. Perang yang berkepanjangan tersebut akhirnya merenggut nyawa Tuan Putri tersebut, dengan tertancapnya pedang miliknya sendiri ke dadanya.
Dan itulah awal dari segalanya. Sebuah kisah jauh dimasa depan melewati dimensi ruang dan waktu, tentang seorang pemuda yang hidup dalam penderitaan karena ingatan tentang sebuah masa lalu.
.
.
.
Hai! Namaku Aryuna Cecilia Putri, biasa dipanggil Yuna atau Cicil. Benar, Cicil, bukan Cecil. Bacanya juga bukan Cicil seperti dicicil, tapi Sisil. Sebenarnya tidak banyak yang memanggilku Cicil, hanya beberapa sahabatku saja, aku akan memperkenalkan mereka satu persatu.
Yang lagi dihukum di depan kelas itu, namanya Artha. Dia itu tipe cowok yang selalu muncul dalam novel, kaya raya, ganteng dan punya banyak sekali penggemar, padahal artis saja bukan. Kulitnya putih dan hidungnya mancung, tubuhnya pun tinggi dan juga atletis, namun semua tertutup dengan sifatnya yang serampangan. Sering banget berantem sama kakak kelas, apa lagi kalau keluarganya diungkit, bisa-bisa kena tinju. Saking seringnya berantem, orang-orang nyebut dia Iblis. Padahal sebenarnya, dia ini rapuh banget, apa lagi kalau sudah menyangkut keluarganya yang rumit.
Next, yang duduk disebelah aku namanya Arinka, atau biasa dipanggil Arin. Dia ini punya kembaran cowok namanya Rion. Arin itu tipe cewek cerewet tapi punya telinga tajam kalau soal gosip. Mau gosip itu penting atau tidak, dia pasti mengetahuinya. Orang-orang menyebutnya Sumber Informasi, dengan kata lain dia ini tukang gosip. Terkadang berantem sama Rion karena hal-hal sepele seperti, Arin meminum susu coklat kesukaan Rion dan mengambil es krimnya di kulkas. Meski begitu mereka tetap menjadi saudara yang cukup dekat dengan satu sama lain, walau mereka menyangkalnya.
Lalu yang duduk di belakangku sambil tiduran di meja ini kembarannya si Arin, yup, Rion. Berbeda dengan Arin yang cerewet, Rion itu sangat pendiam. Sukanya dengerin musik sambil pake earphone dan tiduran di kelas. Jarang marah kecuali seseorang mengambil susu coklat kesukaannya dan menjelekkan adiknya, Arin yang lahir beda 10 menit saja. Sahabat aku satu ini tipe cowok yang juga selalu ada di novel, cowok pendiam dan juga dingin. Tapi dibanding dengan Artha, Rion ini sedikit lebih normal. Normal dalam artian dia tidak seperti karakter yang hanya muncul dalam novel.
Kami berteman sudah cukup lama. Tapi yang paling lama bersamaku adalah Artha. Kami sudah saling mengenal sejak berumur 6 tahun. Sejak saat itu pula aku mengetahui sifat Artha yang sebenarnya. Yah, dia punya masalah keluarga yang cukup rumit dan bagiku dia ini adalah seseorang yang harus ku lindungi. Aku tidak ingin dia terluka, karena dia cukup berharga bagiku. Dan Artha adalah satu-satunya orang yang mengetahui rahasiaku. Iya, aku punya sebuah rahasia yang tidak diketahui oleh orang lain selain Artha. Mungkin suatu hari nanti aku juga akan menceritakannya pada kalian semua.
Bel tanda istirahat berbunyi, semua teman sekelasku menghentikan kegiatan mencatat mereka dan bergegas menuju ke kantin. Artha yang tadi di hukum di depan kelas, entah sejak kapan sudah berada di mejaku dan menarik tanganku, menyeretku keluar kelas.
"Hei, Artha! Dasar gila." teriak Arin ketika ia melihat Artha dengan kasar menarikku keluar kelas. Artha yang aku yakin mendengar teriakan Arin tidak menggubrisnya sama sekali.
*PLAK!*
Arin memukul kepala Rion dengan cukup keras, sehingga ia terbangun dari tidurnya.
"Hei, Rion! Ayo cepat ke kantin, Artha lagi-lagi menculik Cicil." ucap Arin lalu ia berlari mengejarku dan Artha.
Rion yang terbangun karena pukulan Arin mencoba untuk mengumpulkan tenaga untuk berjalan menuju kantin dan bergumam, "Dasar adik durhaka."
Di kantin, seperti biasa Artha memilih tempat duduk paling pojok dekat jendela besar yang jika kita lihat, menampakkan taman sekolah yang terlihat sangat terawat. Aku mencoba menenangkan diri karena kesal dengan sikap Artha yang seperti ini.
Mulutku sudah terbuka untuk memakinya, namun perasaan marah dan kesalku seketika hilang melihat wajah Artha yang begitu lesu dan tidak bersemangat.
"Ada apa?" tanyaku.
Suaraku terdengar sangat lembut berbeda dengan biasanya. Melihat wajahnya yang seperti ini, sepertinya ada ia ada masalah dengan keluarganya.
"Tidak ada, hanya saja ..." Artha menggantung ucapannya, dia menatap kedua mataku dengan raut wajah seperti seseorang yang telah kehilangan arah.
"Tidak apa-apa, berceritalah. Aku akan selalu mendengarkanmu."
Belum sempat Artha membuka mulutnya, Arin tiba-tiba saja memukul kepalanya dari belakang dengan sangat keras sampai Artha merintih kesakitan memegangi kepalanya.
"Dasar gila! Lagi-lagi kau meninggalkan kami. Kau mau mati, hah?!" Arin yang pada dasarnya tidak pernah bisa membaca suasana, langsung melakukan headlock pada Artha dan membuatnya sesak napas.
"Berhentilah, dasar adik bodoh. Kau bisa membunuhnya." ucap Rion yang sudah duduk di kursi sebelahku entah sejak kapan.
"Biar saja! Ini adalah hukuman karena telah menculik tuan putri." sahut Arin sembari melepaskan headlock nya dan duduk disebelah Artha yang kini terbatuk karena sesak napas.
"Tuan putri apanya?" tanyaku diselingi tawa ringan.
"Kalau Cicil tuan putri, berarti aku ini pangerannya. Apa salahnya seorang pangeran menculik tuan putri untuk dibawa ke kerajaannya?" sahut Artha yang kini sudah kembali seperti Artha yang biasanya.
Memang ya, Arin itu sejak dulu bisa mengalihkan perhatian kami terhadap sesuatu dengan ucapannya.
"Pangeran apanya? Kamu ini tidak mungkin menjadi seorang pangeran." Arin menepuk paha Artha dengan sangat keras dan menyahuti Artha dengan nada mengejek.
"Kenapa tidak? Memangnya ada orang sesempurna aku disini? Kaya? Ganteng? Tinggi? Kurasa gak ada."
Kami sebagai sahabat Artha memang sering mendengar Artha berbicara seperti ini, memuji dirinya sendiri dan menganggap dirinya selalu menjadi nomor satu dalam hal apapun, kecuali belajar. Meski begitu, Arin adalah satu-satunya orang yang paling tidak tahan ketika Artha seperti ini. Karena itulah Arin sering sekali mengejek Artha sebagai kacung tuan putri. Tuan putri yang dimaksud adalah aku, Arin menyebutku begitu karena dulu sekali saat pertama kali kita bertemu, Arin bilang kalau aku itu punya aura seperti tuan putri. Aku sendiri tidak mengerti apa maksudnya, yang pasti aku tahu ini salah satu cara Arin untuk mengejek Artha saja.
"Heh! Kamu pikir cuma kamu yang punya kriteria seperti itu? Dasar kurang update!"
"Maksudmu ada orang yang menakjubkan sepertiku di sekolah ini? Siapa?"
"Tentu saja kak Sena! Dia bahkan seribu kali lebih baik darimu."
Ini pertama kalinya aku mendengar nama itu keluar dari mulut Arin. Sebelumnya Arin tidak pernah sekalipun menyebut nama kakak kelas itu dihadapan kita. Ariasena, dia adalah kakak kelas yang cukup populer di sekolah ini. Sudah sejak lama aku sering mendengar banyak hal tentangnya, namun tidak pernah sekalipun kami bertemu.
"Oh, maksudmu laki-laki psikopat itu?" sahut Rion yang sedari tadi diam dan entah sejak kapan sudah ada susu coklat ditangannya.
"Dasar Rion bodoh! Kau barusan memanggilnya apa?"
"Psikopat."
"Kamu udah gila ya?! Kak Sena yang sebaik itu kau sebut psikopat, sepertinya ada yang salah dengan kepalamu."
"Kenapa kau menyebutnya psikopat?" tanya Artha penasaran.
Sebagai seseorang yang sudah berteman sejak lama dengan Rion, tentu saja aku mengerti kenapa Artha penasaran dengan ucapan Rion. Rion adalah orang yang pendiam dan terkesan dingin, jarang membuat masalah dengan siapapun dan selalu mencoba menjauhkan dirinya dengan orang asing, makanya sangat aneh ketika Rion yang seperti itu mengomentari seseorang secara negatif. Dari apa yang aku dengar, sepertinya orang yang bernama Sena itu baik-baik saja kok. Tidak senegatif apa yang Rion ucapkan karena semua orang selalu memujinya dengan kata-kata yang baik.
Rion terdiam ketika pandangan kami mengarah padanya. Lalu ia menatap mata kami satu persatu membuat kami semakin penasaran. Arin yang tadinya protes pun ikut diam, karena Rion jarang sekali melontarkan ucapan bernada negatif terhadap seseorang seperti tadi jika orang tersebut tidak pernah berbuat salah padanya.
"Bukannya dilihat saja sudah kelihatan? Lihat sorot matanya ketika menatap para gadis yang mengidolakannya. Bibirnya tersenyum tapi sorot matanya tidak."
"Kamu mengada-ada ya? Mata kak Sena selalu membentuk bulan sabit kalo sedang tertawa tuh." ucap Arin membela.
"Kalau kamu melihatnya seperti itu, anggap saja seperti itu."
Aku belum pernah bertemu dengan kak Sena ini, tapi dari yang ku dengar sepertinya sih dia orang yang baik. Memang ya, seharusnya kita tidak menilai orang dari luarnya saja.
"Kalau begitu aku harus melihatnya langsung supaya bisa berkomentar." ucap Artha yang terlihat sedang merencanakan sesuatu.
"Lupakanlah! Kamu ini sudah membuat masalah dengan banyak sekali kakak kelas, tidak usah cari gara-gara lagi." ucapku mencoba menasehatinya.
"Iya sih." sahutnya.
Ibu kantin meletakkan makanan di atas meja kami. Ada nasi goreng, bakso, mie ayam, dan gongso ayam. Tapi kan kami belum pesan apapun.
"Aku dan Rion yang pesan." ucap Arin sambil tersenyum seolah-olah ia baru saja membaca pikiranku.
"Oh, benarkah? Terima kasih ya." ucapku sambil membalas senyum Arin.
"Tentu saja, aku tahu kalo si bodoh Artha pasti lupa memesan makanan." ucap Rion yang sedang menyantap mie ayamnya.
"Hei! Lagi-lagi kalian seperti ini padaku."
"Karena ini kesalahan Artha, jadi nanti silahkan bayar makanan kami, ya." ucap Arin sambil menyeruput es jeruk pesanannya.
"APA?!"
Kami tertawa lepas melihat ekspresi Artha yang sedang terkejut. Benar-benar sangat lucu. Seperti inilah kebiasaan kami sehari-hari di sekolah. Menghabiskan waktu bersama sahabat yang selalu ada untukku.
.
.
.
"Kak Sena, tolong lihat ke sini!" teriak murid-murid perempuan dari lantai dua dan tiga.
Ketika Sena ada jam olahraga, para murid perempuan itu selalu memenuhi jendela yang bisa melihat lapangan olahraga secara langsung untuk menyaksikan idola mereka berolahraga.
Sena yang merasa dipanggil menoleh kearah para murid perempuan tersebut.
"KYAAAA~" teriak murid-murid perempuan itu ketika melihat Sena menoleh kearah mereka.
"Gila! Ganteng banget."
"Wajahku terasa panas sekali."
"Dia seperti malaikat."
Sena yang melihat kerumuman di jendela mencoba untuk berbicara dengan para murid tersebut agar tidak berada disana.
"Teman-teman, jangan berada di dekat jendala, berbahaya, nanti kalian bisa terjatuh." ucapnya sambil tersenyum manis membuat semua murid wanita hampir pingsan.
"BAIK KAK SENA, KAMI MENGERTI!!" teriak kerumunan tersebut dan tak lama kemudian semua jendela menjadi kosong hanya dengan beberapa kalimat dari Sena.
Sena mengusap keningnya yang berkeringat dengan wristband yang ia kenakan. Lalu ia menatap jendela yang tadinya ramai penuh orang menjadi sangat sepi. Sorot matanya menggelap tiba-tiba dan senyumnya menghilang. Sungguh tatapan yang begitu dingin.
.
.
.
"Cicil, kamu udah submit lukisan yang akan kamu lombakan?" tanya Arin.
Saat ini kami sedang berjalan menuju kelas setelah dari kantin sedangkan Rion pergi ke perpustakaan mencari buku referensi untuk tugasnya dan Artha seperti biasa langsung cabut pulang karena mood nya sedang tidak baik.
"Udah dari lama kok, kan besok sudah pengumuman."
"Serius?"
"Iyalah, Rin."
"Aku yakin sih kamu pasti jadi pemenangnya."
"Kenapa bisa begitu?"
"Karena lukisanmu memiliki arti yang sangat dalam kan?"
Aku tersenyum kecil mendengarnya, "Itu tidak benar, aku hanya ingin melukis sesuatu yang sering aku lihat saja."
"Kamu masih sering melihatnya?"
"Ya, begitulah." jawabku sambil mengingat-ingat lukisan yang ku kirim untuk lomba.
TBC