"Mungkin ini adalah hukuman untuknya karena telah mengkhianati kepercayaan seseorang yang di cintai oleh Dewa."
.
.
.
"Yuna, ayo turun! Sarapan sudah siap." teriak Mama dari lantai bawah.
"Iya, Ma. Tunggu bentar."
Rumah kami memiliki tiga lantai dan kamar ku terletak di lantai dua, Mama biasa memanggil ku dengan berteriak agar hemat tenaga tidak naik turun tangga. Setelah turun ke bawah, aku segera berjalan menuju ruang makan dan melihat Mama yang sedang menata sarapan kami di meja. Papa dan kakakku sudah duduk dan siap untuk menyantap makanan yang Mama masak.
"Kamu ini cewek, kalau bangun bisa pagian gak sih?" omel kakakku.
Aku hanya bisa tertawa kecil sembari melontarkan permintaan maaf. Sudah menjadi kebiasaan jika pagi-pagi kakakku yang satu ini pasti mengomeliku. Aku sih tidak masalah karena aku tahu kalau kakak adalah tipe orang yang tidak suka membuang-buang waktu.
Nama kakakku adalah Allen Verdandi Putra. Kakak bekerja sebagai seorang pengacara dan lebih tua 10 tahun dariku. Dia memanglah tegas, namun dia mencintai keluarganya dengan sepenuh hati. Selama ini dia cuma punya 3 mantan kekasih. Teman masa kuliah, seorang model, dan yang terakhir seorang polwan. Untuk sekarang statusnya jomblo dan mungkin tidak akan berpacaran untuk ke depannya. Dia bilang dia ingin fokus dengan pekerjaannya dan akan menikah jika bertemu dengan wanita yang tepat. Padahal kak Allen itu punya wajah yang cukup rupawan, tapi dia benar-benar tidak sadar dengan pesonanya.
"Selamat makan!" ucap kami sebelum menyantap makanan yang ada di meja.
Biasanya kami makan dengan tenang dan tidak berbicara, namun Mama memecah keheningan. "Kata Arin hari ini kamu mau ke pameran?"
"Um, iya, Ma. Hasil dari lomba melukis yang aku ikuti diumumkan hari ini dan karya pemenang akan langsung masuk pameran. Jadi, aku berniat untuk melihatnya setelah pulang sekolah bersama Arin."
"Semoga kamu menang ya, Yuna sayang. Tapi kamu hanya pergi dengan Arin? Bagaimana dengan Artha dan Rion? Biasanya kalian berempat selalu bersama."
"Artha dan Rion tidak bisa ikut karena ada urusan lain, jadi aku pergi dengan Arin saja."
"Hati-hati, ya sayang." ucap Papa.
"Tentu, Pa."
Setelah kami selesai sarapan, aku berangkat ke sekolah diantar oleh kak Allen. Kak Allen menurunkanku di depan pintu gerbang sekolah dan aku segera berpamitan. Sesampainya di depan kelas, Arin datang menhampiri dan menyapaku.
"Selamat pagi, Cicil!"
"Selamat pagi, Arin!"
"Nanti jadi kan ke pameran?"
"Tentu saja, aku kan harus tahu siapa pemenangnya."
Artha menghela napas, "Enaknya, aku juga ingin ikut."
"Mau bangaimana lagi, kamu kan ada acara makan bersama dengan keluargamu." ucapku mencoba menghiburnya dan tentu saja itu bukan kalimat yang bisa menghiburnya.
Makan bersama dengan keluarga. Itu adalah hal yang paling tidak disukai Artha. Jika bisa, aku yakin Artha lebih memilih untuk tidak menghadirinya.
"Tidak menyenangkan dan sangat membosankan." sahutnya lirih dengan nada suara yang terdengar tidak tertarik.
Kami berbincang-bincang seperti biasanya, membahas banyak hal yang sebenarnya sangat tidak penting namun kami tetap saja membahasnya sampai guru mata pelajaran masuk dan kami harus bersiap untuk melaksanakan pembelajaran.
Waktu berlalu dengan sangat cepat, tak terasa hari sudah mulai sore. Seperti yang sudah dijanjikan, aku dan Arin pergi ke pameran sedangkan Artha dan Rion melakukan urusan pribadi mereka. Kami pergi ke pameran naik bus kota, jadi memerlukan waktu yang cukup lama karena harus menunggu. Sesampainya di pameran, aku menghubungi pihak penyelenggara untuk bertanya dimana pengumuman lombanya.
"Semua hasil karya yang mendapat juara ada di ruang sebelah dan untuk juara pertama di pajang ditempat yang paling tengah." ucap seorang staff menjelaskan.
Aku dan Arin segera menuju keruangan sebelah dan melihat-lihat hasil lukisan pemenang satu persatu.
"Cicil, aku ke kamar mandi dulu ya."
Setelah ditinggal sendirian oleh Arin, aku mulai berjalan ke sudut ruangan dan memperhatikan lukisan-lukisan yang ada. Banyak sekali lukisan indah disini. Sampai pada akhirnya aku melihat lukisanku yang di pajang ditengah ruangan. Aku memenangkan perlombaan ini. Benar-benar tidak bisa kupercaya. Rasanya seperti mimpi karena aku tidak pernah berpikir bahwa karyaku bisa menang. Biasanya jika aku ikut lomba seperti ini tidak pernah menang, namun kali ini aku berhasil. Aku merasa bahagia karena banyak orang bisa melihat hasil karyaku. Karya yang aku buat ini sangat berarti bagiku karena itu adalah sesuatu yang sering aku lihat di dalam mimpi. Benar, lukisan itu adalah hasil dari apa yang ku lihat dimimpi.
Aku berniat untuk melihat lukisanku dari dekat, namun langkah kaki ku terhenti ketika melihat seseorang berdiri tepat menghadap ke lukisan milikku. Aku juga ingin lihat, tapi rasanya sedikit canggung karena orang itu berdiri tepat ditengah, sangat tidak sopan jika aku memintanya untuk sedikit bergeser. Dari samping, aku bisa memastikan bahwa pemuda itu memiliki wajah yang rupawan karena side profile nya terlihat begitu sempurna seperti ukiran. Benar-benar ketampanan yang tidak nyata. Aku menunggu selama beberapa menit, namun pemuda itu masih saja berdiri mematung dan tidak bergerak sedikitpun.
Apa dia sedang melamun? Ya, mungkin saja. Jika tidak, kenapa dia berdiri mematung seperti itu dari tadi.
Akhirnya aku memutuskan untuk berjalan mendekat karena dia terlalu lama disitu, namun lagi-lagi aku menghentikan langkahku karena melihat pemuda itu menangis. Iya, dia sedang menangis. Matanya mengeluarkan air mata dan aku yakin itu bukan karena debu. Air mukanya seperti seseorang yang telah ditinggal mati oleh orang yang disayangi. Dia terlihat begitu sedih meskipun tidak mengeluarkan suara. Ada banyak pertanyaan yang menghinggapi otakku. Kenapa Kamu menangis? Kenapa kamu terlihat begitu sedih? Aku ingin menanyakannya.
Pemuda itu mengeluarkan sesuatu dari saku celananya. Benda itu bersinar karena pantulan cahaya lampu, sangat indah dan berkilau. Ada semacam rantai panjang berwarna emas yang melilitnya. Ku lihat pemuda itu menekan sesuatu di benda itu dan membuatnya terbuka. Aku samar-samar mendengar suara musik keluar dari benda itu. Aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas karena disini cukup ramai, banyak orang penikmat seni yang sedang berdiskusi.
Sebuah nada yang tidak asing. Aku seperti pernah mendengar lagu ini sebelumnya, namun aku sendiri tidak yakin karena aku jarang sekali mendengarkan lagu klasik seperti ini.
"Ukhh!!"
Tiba-tiba saja kepalaku terasa sangat sakit seperti dipukul oleh sesuatu, secara refleks aku memeganginya. Rasanya sakit sekali seperti mau pecah. Aku tidak tahu apa yang terjadi karena sebelumnya aku baik-baik saja. Dari mana datangnya rasa sakit ini aku tidak tahu. Yang jelas kesadarnku mulai menghilang, semua menjadi gelap. Namun dalam kegelapan tersebut, samar-samar aku melihat sebuah bayangan yang kabur.
***
"Katakan padaku bahwa semua ini adalah kebohongan."
"...."
"Apakah semua yang kau lakukan untukku juga kebohongan?"
"...."
"Aku benar-benar tidak bisa mempercayainya."
*CRASHHHHH*
Terbakar... Semuanya lenyap ditelan oleh api yang membara. Sebenarnya apa ya, ini? Aku ingin tahu lebih banyak siapa kalian.
***
"–Cil..."
"Ci–..."
"Cicil..."
Uhhh...
"Arin..." ucapku lirih.
Entah kenapa aku merasa tidak bertenaga. Tubuhku rasanya sangat lemas dan dadaku terasa sangat sesak. Bau antiseptik begitu menyengat dihidungku. Apa aku ada di rumah sakit?
"Apa yang terjadi?" tanyaku pada Arin yang terlihat sangat mengkhawatirkanku.
"Aku juga tidak tahu, saat aku kembali dari kamar mandi aku mendapat kabar dari panitia bahwa kamu dibawa kerumah sakit karena pingsan."
"Pingsan?"
"Benar, katanya kamu tiba-tiba pingsan."
Yang terakhir kuingat adalah aku sedang memperhatikan seorang pemuda asing yang menangis di depan lukisanku, lalu ketika dia mengeluarkan semacam kalung (?) aku tidak yakin benda apa itu, gang pasti benda itu mengeluarkan suara seperti kotak musik. Dan lagu yang ada di kotak musik itu terasa sangat familiar untukku namun aku tidak yakin dimana pernah mendengarnya. Lalu setelah itu kepalaku terasa sangat sakit dan semuanya jadi gelap. Apa itu berarti aku pingsan?
"Apa kamu baik-baik saja?"
"Aku baik-baik saja kok, sepertinya tadi aku hanya kelelahan saja."
"Kalau begitu ayo pulang! Aku sudah menghubungi tante Mirya."
"Apa Mama akan menjemputku?"
"Tante Mirya sih, bilangnya akan jemput. Jadi kamu tidak usah khawatir."
"Baiklah, terima kasih Arin."
.
.
.
***
"Lebih baik kau memenggal kepalaku, My lord."
"...."
"Tidak perlu mengasihaniku. Aku adalah orang yang terlahir dengan darah iblis Archen. Putri seorang tiran."
"My lady..."
"Kau tidak seharusnya memanggilku seperti itu, My lord. Saat ini aku hanyalah tawanan yang kalah dalam beperang."
"...."
"Kiel... tidak, Lord Ijekiel. Tolong penggal saja kepalaku."
***
Terlihat seorang pemuda sedang berdiri di depan sebuah jendela yang cukup besar. Cahaya lampu dari gedung-gedung dibawah sana terlihat berkilauan seperti berlian. Pemuda itu memegang segelas wine merah, tatapannya terlihat begitu sendu seakan ia habis putus cinta.
"Sepertinya aku harus berhenti minum." ucap pemuda itu lirih.
TBC