Aku bukanlah seorang penerawang maupun cenayang.
Kebiasaanku hanyalah menghitung beberapa kemungkinan.
Meskipun begitu, memanipulasi suasana dan keadaan sekitar sangatlah menyenangkan.
>===o===<
Ah membosankan, rupanya perkiraanku tepat lagi. Pihak luar benar-benar ikut campur dalam hal ini. Arkan dan Edward nampaknya cukup emosi untuk meladeni kedua kakak kelas itu.
Edward terlihat mulai curiga, dia sepertinya akan menanyakan sesuatu. "Tunggu sebentar, kenapa masalah seperti ini harus dicampuri oleh orang luar?"
"Kan sudah kakak katakan tadi ... kami berdua sudah dapat persetujuan dari kepala sekolah," jelas Ruka tersenyum keheranan
Brrak
Arkan marah? Baguslah kalau begitu. Tinggal menunggu waktu diriku yang membuka suara.
"Jangan seenaknya saja! Biarkan kami menyelesaikan masalah ini sendiri," gertak Arkan dengan posisi tangan mengepal di atas meja.
"Woah ... rupanya kedua calon ketua ini sudah menolak mentah-mentah pertolongan kami," ucap Ruka.
"Apakah kalian yakin menyelesaikan hal ini sendiri?" tanya Hannah resah.
Seisi kelas terlihat kesal dengan ucapan dan tindakan Kak Hannah dan Kak Ruka. Sedangkan, aku masih menunggu waktu yang tepat. Lalu, kenapa Arkan melihatku terus? Haruskah aku membuang ekspresi bodo amat ini, sekarang?
"Rafael!"
Kukira Arkan memanggilku, ternyata Edward yang memulai duluan. Aku mulai berbalik dan melihat ke arahnya, mengingat posisi tempat duduknya berada di belakang sisi kiri.
"Ada apa?" tanyaku datar.
"Kamu yang termasuk salah satu calon seharusnya buka suara juga!" perintahnya menatap tajam kepadaku.
Kurasa sekarang saatnya. Aku mulai kembali memperbaiki posisi agar sempurna lalu setelah itu menatap ke arah kedua kakak kelas itu.
"Maaf kak ...," panggilku masih belum merubah emosi.
"Iya, kenapa?" tanya Ruka penasaran.
"Kalau saya sih tak keberatan," ucapku datar seakan tak memiliki dosa.
Seisi kelas kaget dengan jawabanku. Kurasa mereka anggap itu blak-blakan, padahal sebenarnya tidak. Apalagi Arkan dan Edward keberatan mengenai hal itu.
"Apa maksudmu Rafael!" teriak Arkan.
"Tidak kah kau pikir! Jika pihak luar ikut campur maka image kelas kita akan buruk!" jelas Edward masih tenggelam dalam kekesalannya.
Diriku serasa sudah terbiasa mendapatkan kecaman dari berbagai arah seperti ini. Tanpa mengalihkan pandangan aku hanya bisa mematung dan mengucapkan sebuah pertanyaan. "Kalian pikir semua ini salah siapa?"
Mereka berdua terbungkam setelah mendengar ucapanku.
"Yaa benar, semua ini salah anak culun itu," ungkap seorang gadis dengan lantangnya.
Sepertinya aku mengenal suara ini. Aku mencoba melihat ke belakang. Ternyata Elena, tak kusangka tampang se-anggun dan se-elegan itu mampu menghina dan menyindir seseorang.
Lalu aku mencoba menggeser pandangan ke arah orang yang kumaksud tadi. Kurasa Vika sendiri merasa tersinggung. Dia mulai menatap Elena.
"Seenaknya saja mengatakan semua ini salahku! Jangan mentang-mentang aku nomor absen terakhir ya!" sergah Vika.
"Oh ya? Yang dibutakan oleh emosinya sendiri siapa? Seharusnya kamu sadar diri dan membaca situasi pada saat itu!" balas Elena.
"Enak saja! Untung saja waktu itu aku tak memilih Rafael ya!" jawab Vika meningkatkan nada kekesalannya.
Dari kemarin-kemarin gadis yang satu ini memang mengesalkan. Meskipun dari parasnya dia baik dan perhatian, akan tetapi siapa sangka sifat paranoidnya itu sangatlah merusak suasana. Aku harus membuka suara dan melanjutkan ini semua. Masih dengan posisi melihat ke arah Vika dan Elena. Aku memilih untuk fokus terhadap Vika dan menekankan tatapanku kepadanya.
"Vika! Apa maksudmu selalu saja menyinggung namaku?" tanyaku memberikannya tatapan tajam.
"Hah? Kau masih tidak sadar akan kesalahanmu di masa lalu?" tanya Vika kesal serta heran.
Apa maksudnya? Apa yang dia ketahui tentang masa laluku? Aku tak memperkirakan gadis ini akan membuka suara terlalu banyak. Selain itu, aku menyempatkan diri mengintip keadaan sekitar dan yang kulihat para murid lainnya mulai memusatkan perhatiannya kepada Vika. Sedangkan, kedua kakak kelas ini hanya tersenyum sambil memperhatikanku. Sepertinya tujuan mereka disini tak hanya memungut suara, melainkan mengorek informasi tentang diriku. Aku mulai mati kata karena suasana tak terduga ini. Hingga akhirnya.
"Kesalahanku di masa lalu ...," akan terdengar cukup pedih, tapi mau tak mau harus kuucapkan, "memangnya kita pernah satu sekolah?" tanyaku melontarkan ekspresi penuh kebingungan.
Vika mulai terlihat kesal dan marah. Matanya berkaca-kaca. Diriku serasa menjadi tersangka kekerasan karena telah membuat seorang gadis setengah menangis. Dia mulai bangun dari tempat duduknya. Seisi kelas masih melihat sikapnya itu. Dia keluar dari bangkunya dan melangkah ke depan. Menatapku dengan tatapan kesal seakan-akan siap menyingkarkanku kapan saja.
Dia pun akhirnya telah melangkah hingga berada tepat di samping mejaku. Merubah posisi badan ke kanan dan melihat ke arahku.
"Rafael bodoh! Dasar diktator brengsek! Jahat! Aku sangat membencimu!" bentak Vika meluapkan kekesalannya.
Ucapannya cukup kasar dan terbuka. Seharusnya aku tidak menampilkan raut muka ini. Akan tetapi, keadaan memaksaku untuk melakukan hal ini.
Dengan nada pelan dan tatapan mataku yang tajam aku mulai mengatainya.
"Kamu aneh ... kelas ini tidak butuh murid sepertimu ...."
Selepas mendengar ucapanku. Dirinya langsung berlari meninggalkan kelas dengan berlinangan air mata. Mungkin setelah ini aku akan masuk ke BK.
Berani juga dia mengatakan itu tepat di depanku dan di hadapan murid lainnya. Sejujurnya aku kesal akan hal itu, akan tetapi mengingat situasinya yang begini. Aku tak bisa diam dan harus menganggapnya begitu. Tenang saja, tidak hanya diriku yang menganggapnya aneh. Lagipula tidak ada satupun murid yang membelanya.
"Woaahh ... calon ketua kelas kita yang satu ini sangar juga yaa ... mampu membuat seorang gadis menangis dan meninggalkan kelas begitu saja ...," sela Kak Ruka memecah ketegangan kelas.
Anehnya, Arkan dan Edward tidak sedikit pun berkomentar mengenai tindakanku. Terutama Arkan, padahal Vika itu pendukungnya tapi dia malah diam saja. Ku akui dia punya ego dan kepercayaan diri yang besar, namun tidak dengan keberaniannya.
"Baiklah kalau begitu ... kakak ke sini ingin mendengar jawaban dari para murid netral, kan?" tanya Edward seakan akan telah menerima keberadaan kedua kakak kelas itu.
Kurasa emosinya mulai stabil. Sekarang mari kita dengarkan kelima murid yang sedari tadi terdiam menunggu giliran membuka suara.
Kak Hannah mulai melihat-lihat daftar murid kelas.
"Baiklah kalau begitu ... mari kita mulai pemungutan suara murid netralnya ... langsung jawab aja yaa, Absen Enam Danu Arkana!" ujar Kak Hannah.
"Saya memilih Edward ...," ucap Danu.
"Oh oke, selanjutnya Absen Sebelas Hyuki Kina!" panggil Kak Hannah.
"Tetap Netral kak," ucap Hyuki terlihat dingin dengan raut wajahnya yang selalu serius namun serasa tak pernah memikirkan kelasnya sendiri.
Selain itu, sudah kuduga dia akan tetap netral. Mengingat latar belakang dan hubungannya yang buruk terhadap kedua orang tersebut termasuk diriku. Sudah dipastikan murid-murid lain kesal dengan sikapnya yang semena-mena.
"Hei Kina!!! Apa maksudmu tetap bersikap Netral?" ujar Aqilla kesal.
"Maksudku? Tentu saja tetap tidak berpihak pada siapapun," jawab Hyuki tak melihat ke arah Aqilla.
"Issh dasar!!!" kesal Aqilla.
"Sudah-sudah ... berantemnya nanti aja pas jam istirahat, sekarang kita lanjutin aja," ucap Kak Ruka tersenyum.
"Hooh ... waktunya gak banyak loh ... kalau gitu selanjutnya Absen Empat Belas Nadia Askiara!" sambung Kak Hannah.
"Ehm ... kurasa Arkan," jawab Nadia terlihat malu.
"Yakin?" tanya Kak Ruka.
"Iyaaa," jawab Nadia.
Jawaban selanjutnya sudah pasti membuat banyak murid akan kesal nih. Anak yang sok tau segalanya dan selalu saja menggangguku, entah itu di kantin maupun di kelas. Dia selalu saja menanyaiku beberapa hal.
"Absen Tujuh Belas Riki Pratama," panggil Kak Hannah.
"Netral! Saya absolut Netral!" ucap Riki dengan senyum percaya dirinya itu.
"Ckckck ...."
Danu? Dia juga bisa seperti itu ya.
"Astaga ... apa maksudnya coba? Dia bersikap netral juga? Eh Riki! Ngikut kina, ya? Hahahaha," ujar Danu terlihat meremehkan Riki.
"Ah enggak kok ... kamu yang terima suap diam aja ...," sindir Riki santai.
"Hah! Maksudmu?" balas Danu kesal
"Ah sudahlah ... tak usah dibahas ...," balas Riki tersenyum.
Kenapa Riki bisa mengatakan hal itu? Ada benarnya juga sih orang seperti Danu bisa memilih Edward secara cuma-cuma. Mengingat beberapa hari yang lalu, Edward sendiri tidak melakukan apapun. Kecuali ....
Aku mencoba menyalakan HPku dan berniat mengirimkan pesan kepada Rio.
"Eitss ... Rafael! Dilarang bermain HP saat jam pelajaran loh!" bentak halus Kak Ruka.
Ckh ... aku ketahuan. Aku langsung mengantongi HPku dan mencoba kembali tenang seakan-akan tidak terjadi apa-apa.
"Baik ... selanjutnya Absen Sembilan Belas Skyla Almira," panggil Kak Hannah.
"Saya mendukung Rafael," jawab Skyla.
Kurasa ada yang aneh. Aku tidak memperkirakan bahwa gadis itu yang akan memilihku. Namun, hasil seri ini sudah kuperkirakan jauh hari.
"Woaahh ... yeay! Akhirnya semua sudah menentukan pilihannya. Kalau begitu mari kita lihat hasilnya, Hannah ... coba sini kulihat hasilnya!" pinta Kak Ruka terlihat senang.
"Ehm ... Rukaaa ... hasilnya beneran seri loh!" ucap Kak Hannah ragu.
Arkan terlihat tepok jidat dan merasa kesal akan hal itu. Beda hal nya dengan Edward yang raut mukanya cukup tenang untuk situasi seperti ini. Aku mulai curiga kepada murid ber-uang sepertinya.
"Wah bahaya nih, tapi kakak mau nanya dulu nih ... untuk Kina dan Pratama, apakah kalian benar-benar tidak ingin menentukan pilihan?" tanya Kak Ruka.
Seisi kelas mulai menuai harapan kepada kedua murid ini. Hanya saja, hal tersebut tak akan terjadi.
"Tidak akan," ucap Hyuki datar.
"Tidak," jawab Riki tersenyum.
Tuh kan benar. Jujur saja aku tak suka jika harus berakhir seperti ini terus. Namun, kalkulasiku sendiri sudah memperkirakan kemungkinan ini. Di sisi lain kita sepertinya sudah mendapatkan dua orang dengan cap sebagai murid paling dibenci.
"Nah ... jadi kehadiran kami di sini tidak sia-sia, kan?" tanya Kak Ruka tersenyum.
"Yups benar sekali ...," sahut Kak Hannah.
"Hannah! Tolong jelaskan kepada mereka tentang program kita untuk mengatasi masalah mereka."
"SUDAH CUKUP!!!" bentak Arkan.
Arkan sudah ada di puncak emosinya. Tatapannya cukup tajam untuk menyaingiku.
"Eh??? Ada masalah apa?" bingung Kak Ruka.
"Sudah cukup! Sudah kukatan! Biarkan kami menyelesaikan masalah ini sendri," ujar Arkan.
"Oh ya? Apa yang akan kamu lakukan dengan hasil seri ini?" tanya Kak Ruka terlihat berusaha memojokkannya.
"Ehmm ... mengadakan pemilihan ulang?" ragu Arkan.
Dasar Arkan, gampang banget kebawa emosi. Kedua Kakak kelas ini akan selalu menyanggah pendapatmu. Lebih baik diam dan dengarkan cara apa yang akan mereka lakukan.
"Oh iya? Mau sampai kapan diulang jika di antara kalian saja masih ada perselisihan seperti ini?" ujar Kak Ruka.
Arkan terdiam setelah mendapatkan ujaran dari Kak Ruka yang mencoba menyudutkannya. Kurasa suasana kelas saat ini bercampur aduk. Ada yang emosi, tenang, curiga, dan antusias.
"Gimana Arkan? Oke deh kalau gak bisa jawab ... Hannah! Tolong lanjutkan," sambung Kak Ruka.
"Baik saya akan menjelaskan program dari OSIS untuk masalah kalian. Calon Ketua Kelas A akan ditentukan berdasarkan suara terbanyak yang didapatkan dari luar kelas. Jadi pada dasarnya seluruh anggota kelas B hingga E akan menyumbangkan suara kepada Ketiga calon ketua kelas ini," jelas Kak Hannah
"Yaa jadi kesimpulannya sih, pinter-pinter kalian mencari pendukung di luar kelas. Lagian kalian ... hal sepele begini aja sampe seri untuk kedua kalinya. Ckckck ... resiko kalian dah. Masalah kayak begini sampe diurus secara eksternal," sambung Kak Ruka.
Semua murid sepertinya termenung karena mendengarkan ucapan Kak Ruka. Aku sendiri sebenarnya tak terima jika harus melakukan suatu hal yang mampu membuat nama kelas ini terdengar buruk. Namun, inilah satu-satunya cara tercepat dan tepat untuk mendapatkan hasil yang kuinginkan.
Kak Hannah sepertinya ingin menambah sesuatu, "oh iyaaa ... kami dari OSIS memberikan kalian waktu sebulan-"
"HAAHH!!!!" setengah kelas berteriak.
Lucu aja jika mereka bisa kompak di saat seperti ini.
"Kelamaan lah kak!"
"Iya kak! Kalau begitu kami tidak akan mendapatkan pelajaran!"
"Betul tuh kak!"
Akhirnya mereka semua membuka suara setelah lama terdiam.
"Hah?" bingung Kak Ruka.
"Pak Saragi tak akan masuk kelas sampai kami benar-benar memutuskan siapa yang akan menjadi ketua kelas," jelas Arkan.
Kak Ruka dan Kak Hannah mulai bingung dan memikirkan sesuatu.
"Jadi gimana nih hannah?" tanya Kak Ruka.
"Kurasa ... kita bisa mempersempit waktunya," ragu Kak Hannah.
"Oke! Kami memberikan waktu seminggu kepada kalian untuk mengumpulkan pendukung. Jadi sebarkan lah potensi kalian dan visi misi kalian memimpin kelas A," jelas kak Ruka.
"Berarti, seminggu lagi kami harus mengadakan Final Election bagi kelas-kelas seperti kalian yang tak dapat menentukan pemimpinnya ...," sambung Kak Hannah.
"Heeeh ... bukankah hanya kelas E yang bernasib sama seperti mereka?" tanya Kak Ruka kepada Kak Hannah.
"Yaa intinya begitu sih hehehe ...."
Kring!!! Kring!!! Kring!!!
Bel sudah berbunyi. Vika terlalu lama keluar sehingga akhirnya tak kembali sama sekali. Yaa kurasa dia sedang menangis di toilet atau sedang mengadu ke guru saat ini. Lebih baik kembali fokus ke Kak Ruka dan Kak Hannah.
"Woahh belnya sudah berbunyi ... ya udah deh sekian dari kami berdua, terima kasih atas waktunya ... bye-bye!" ucap Kak Ruka.
"Selamat tinggal yaa adik-adikku ... ingat yaa untuk setiap calon harus menampilkan potensinyaaa ...," sambung Kak Hannah.
Setelah itu kedua kakak kelas itu berjalan meninggalkan kelas kami. Baik kalau begitu. Semua yang terjadi hari ini sudah tepat dengan perkiraanku.
Heh ....
Menampilkan potensi apanya?
Murid kelas mana yang ingin kelas tertinggi ini mendapatkan pemimpin yang hebat.
Mulai saat ini, kelima orang tersebut akan menjadi bidakku untuk menyebarkan beberapa hal ke seluruh penjuru sekolah.
Eh tunggu dulu ....
Kurasa empat orang deh, yang lagi satu masih belum berguna.
>===x===<
Cerita ini adalah fiksi.
Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.
Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.
Nächster?
Errate dich