Chereads / Friend and Rival / Chapter 11 - Kampagne

Chapter 11 - Kampagne

Aku tidak ingin menjadi pion dalam kampanye kelas.

Justru, aku sendiri yang ingin menggerakkan pion tersebut.

Meskipun begitu, aku tidak suka memainkan permainan catur.

>==o==<

Setelah beberapa menit, keadaan fisikku mulai pulih kembali. Kepalaku tidak terasa berat dan pusing seperti tadi. Saat ini Aku, Ivan, dan Clarissa masih berada di ruang UKS bersama Marie yang nampaknya mulai sedikit akrab. Mungkin aku harus mengusaikan pembicaraan mereka.

Eh? Sebentar dulu. Aku baru mengingat Riki yang sebelumnya dibawa oleh teman-teman Marie.

"Ehm Marie ...," panggilku.

"Iya, kenapa?" jawabnya tersenyum.

"Temanku yang tadi pingsan, sekarang dimana?" tanyaku penasaran.

"Oh! Itu dia di belakangmu masih tiduran," tunjuk Marie sambil menengok ke belakang.

Aku mencoba menghadap ke belakang dan ternyata benar. Aku mendapati Riki masih tertidur dengan posisi mulut terbuka dan posisi badannya yang tak biasa. Mungkin tempat tidur UKS serasa kasur kamar sendiri baginya.

"Ya sudah, biarin aja Riki di sini," ucapku segera bangun dan bergegas pergi.

"Eh udah mau pergi?" tanya Marie.

"Maaf Marie ... tapi aku harus melakukan sesuatu. Ivan ... Clarissa ... ayo balik ke kelas, ada suatu hal yang harus kita lakukan," ajakku.

"Hmm oke deh ... aku juga mau balik, kurasa guru di kelas sedang mempertanyakan absensiku."

Yaa aku sih tak peduli dengan perkataannya. Aku langsung meninggalkan UKS bersama Ivan dan Clarissa.

Entah kenapa aku merasa tidak nyaman dengan posisi kami bertiga. Meskipun kesannya agar tidak menghabiskan ruang lorong ini, akan tetapi kenapa harus aku yang berjalan di depan? Pada akhirnya aku sendiri hanya bisa berjalan dan menatap ke bawah. Meninggalkan Riki sendirian bukanlah keputusan yang salah.

Aku tak sempat menanyakan kepada Marie obat apa yang dia gunakan kepada Riki. Namun, coba ku tanyakan kepada mereka berdua yang sedari tadi sudah bercakap-cakap cukup lama. Yaa selagi belum sampai di kelas, ada baiknya ku tanyakan sekarang.

"Ivan," panggilku tetap berjalan dan menatap ke depan.

"Yak?" sahut Ivan.

"Apa saja yang kalian berdua bicarakan dengan Marie?" tanyaku datar.

"Yaa banyak hal sih ...," ucap Ivan.

"Apa saja?" tanyaku.

"Seperti keadaan kelas kita, sikapmu di kelas, kebiasanmu-"

"Eh tunggu dulu! Astaga ... sudah berapa banyak yang kau jelaskan?" potongku sedikit menoleh ke arahnya dan tak menghentikan langkah.

"Gak banyak sih, aku hanya menjelaskan yang terjadi di kelas," ucap Ivan dengan muka datarnya tanpa merasa bersalah.

Ah ... aku sendiri sedari tadi tidak bisa fokus dengan apa yang mereka bicarakan. Selepas Marie menjelaskan tentang suara kelas C, aku sendiri langsung merebahkan badanku di kasur UKS dan sesekali mengistirahatkan kepalaku. Entah berapa topik yang telah kulewati. Selain itu, kurasa perasaan Clarissa mulai stabil, tapi dia masih saja mengacangiku.

"Hmm ... apakah kalian sempat bertanya tentang Riki yang tertidur pulas?" tanyaku.

"Iya ... kami sempat menanyakan hal itu ...," ucap Clarissa.

Bagus ... akhirnya Clarissa berbicara kepadaku. Aku langsung melihat ke arahnya, namun sayangnya dia masih tak mau menatapku. Aku hanya merasa tidak tenang jika gadis sepertinya tetap cuek kepadaku.

"Obat yang digunakan Marie bernama flunitrazepam," sambung Clarissa

"Kurasa aku tidak asing dengan nama obat itu ...," gumamku.

"Eh kamu tau tentang obat itu?" tanya Clarissa sedikit terkejut.

"Obat bius, kan? Efeknya dapat membuat orang tertidur panjang hingga dua sampai delapan jam," jawabku spontan.

Ivan sedikit bertepuk tangan setelah mendengar ucapanku.

"Wah hebat sekali Rafael ... tak kusangka kau tau mengenai obat tersebut," ucap Ivan.

Aku langsung melihat ke arah Ivan, "eh aneh, kah?" tanyaku heran.

"Ya aneh lah! Orang misterius tanpa prestasi sepertimu tau tentang obat-obat'an, apalagi obat bius," bentak Clarissa.

Bentakkan Clarissa membuatku berpaling kepadanya. Rupanya Clarissa mulai mencurigaiku. Karena keadaannya seperti ini dan mereka sudah kuanggap teman, aku tak harus berbohong lagi.

"Apa kamu pernah menggunakan obat itu?" tanya Ivan penasaran.

"Ah iya ... saat masih SMP, aku pernah beberapa kali menggunakan obat tersebut, tapi ... aku tak meminumnya, melainkan kugunakan untuk kepentingan sekolah, apalagi obat ini tidak memiliki rasa dan bau serta larut dalam air yang membuatnya sulit di deteksi sehingga banyak orang tidak menyadarinya ketika obat itu dicampurkan ke dalam makanan atau minuman. Selain itu, orang yang terkena obat ini tidak bisa mengingat apa yang terjadi selama ia berada dalam pengaruh obat," jelasku percaya diri.

Mereka berhenti melangkah? Apakah mereka kaget dengan apa yang aku jelaskan tadi? Kurasa aku terlalu berlebihan. Aku mencoba memastikan suatu hal dengan berbalik badan dan melihat ekspresi mereka berdua.

Tidak jauh dari ekspetasiku. Ivan heran dan memegang jidadnya, sementara itu Clarissa benar-benar terkejut dan sedikit terlihat ketakutan.

"Ckckck ... jadi benar yaa yang diceritakan Marie ...," ucap Ivan terlihat sedikit kecewa.

"Aku seharusnya menyebutmu kejam tapi ...," ucap Clarissa memalingkan pandangan.

Ivan menepuk pundakku dan berkata, "kami berdua benar-benar telah menaruh kepercayaan kepadamu."

"Eh tunggu dulu ... maksud kalian?" ucapku sedikit malu setelah diperlakukan seperti ini.

Clarissa sedikit tersenyum dan menatapku.

"Ya ampun ... meskipun begitu, Marie kan anak kelas C, kami sendiri tak semudah itu untuk percaya terhadap murid kelas lain," ucap Clarissa.

Aku sama sekali tidak tahu apa saja yang telah Marie ceritakan kepada mereka berdua. Namun, aku sendiri merasa senang jika perspektif mereka tentang diriku tidak berubah menjadi buruk. Dengan begini, aku benar-benar menaruh kepercayaan kepada mereka berdua. Kami bertiga sepakat melanjutkan perjalanan ke kelas.

Hingga akhirnya kami telah sampai di kelas. Kulihat suasana kelas yang nampaknya secara perlahan mulai hidup. Meskipun tiap kubu masih memendam rasa persaingan, akan tetapi terlihat jelas jika mereka masih tetap berbincang sesuai bakat dan hobi masing-masing.

Aku segera duduk di tempatku, begitu pula dengan Ivan dan Clarissa. Saat ini aku hanya bisa duduk diam menunggu waktu serta memikirkan sesuatu. Namun, sesekali aku menengok ke belakang dan memperhatikan suasana kelas yang sudah berbeda dibandingkan pertama kali kulihat.

Yaa begitulah, saat pertama kali datang ke kelas ini. Kami semua benar-benar memancarkan aura individualisme yang tinggi. Namun sekarang sudah lebih baik karena berkat hasil pemilu yang seri itu lah membuatku lebih mudah untuk menganalisa tiap murid. Bukan setiap murid, tapi tiap kubu.

Yang aku herankan cuma satu hal, perkembangan sosial para gadis lebih cepat dibandingkan para lelaki. Apalagi sikap Luna yang nampaknya sangat friendly terhadap cewek-cewek dari kubu lain.

Inilah alasanku membuat peraturan khusus untuk fraksiku yang berbunyi, "sebisa mungkin jangan menjaga jarak dari murid lainnya."

Awalnya sih untuk menghindari kecurigaan yang terarah ke fraksiku. Namun, kurasa Luna salah paham. Buktinya kali ini dia terlihat mudah bergaul dengan gadis-gadis dari kubu lainnya. Selain itu, kurasa tempat duduknya yang strategis termasuk faktor pendukung.

Posisi kubu Arkan yang berpusat di sebelah kiri dan posisi kubu milikku yang berada di sebelah kanan. Lain halnya dengan kubu Edward yang berada di belakang. Ku akui posisi kubu Edward sangat strategis karena mereka semua tidak jauh-jauh dari pemimpinnya.

Ngomong-ngomong soal kubu, aku baru sadar jika Arkan saat ini tidak berada di kelas. Aku mencoba menanyai teman-temanku yang sedari tadi berada di kelas lewat grup chat.

Hanya Rio yang membalas pertanyaanku. Wajar aja sih, Luna masih sibuk berinteraksi dengan yang lainnya. Dia mengatakan kepadaku jika Arkan, Dika, dan Darren saat ini berada di luar kelas. Sayangnya Rio tidak tau kemana mereka pergi. Mungkin aku bisa mengabaikan Arkan dan teman-temannya.

Di sisi lain, Edward hanya duduk terdiam dengan tangan terlipat sambil menatap jam yang ada di atas papan. Aku merasa heran dengan sikapnya itu.

Semenjak kedatangan Kak Ruka dan Kak Hannah. Sifatnya mulai sedikit berubah dan cukup mencurigakan bagiku. Entah apa yang dia rencanakan, aku sendiri awalnya tidak berniat untuk menyelidiki rencananya. Meskipun begitu, aku harus memikirkan sebuah cara untuk mendapatkan suara lebih banyak.

Memang benar adanya suara kelas C sudah ada di tanganku. Hanya saja tak akan ada kemungkinan hal itu seratus persen benar. Maka daripada itu, aku mencoba mencari suara cadangan.

Oh iya! Aku baru ingat kalau hukumanku belum tuntas semua. Bisa bahaya nih jika seorang guru atau pak satpam mencariku ke sini.

Ya sudah, aku mau bersih-bersih sesuai hukuman. Aku langsung bangun dan segera meninggalkan kelas dengan tampang datar agar tak menarik perhatian.

"Rafael!" panggil seseorang.

Kurasa itu suara Ivan.Barusan niatku agar tidak menarik perhatian, kan? Tapi gorilla ini sepertinya menarik pelatuk terlebih dahulu.

"Hmm?" sahutku menoleh ke arahnya.

"Mau kemana?" tanya Ivan.

"Melakukan tugas pelayanan masyarakat sekolah," jawabku datar.

Ivan mulai berpikir sesuatu. Kuharap dia tidak salah paham dengan maksudku.

"Aku boleh ikut?"

Tuh kan sepertinya dia salah paham.

"Gak usah van, biar aku aja. Lagi pula ada suatu hal yang harus kulakukan."

Aku langsung berbalik badan dan meninggalkan kelas.

"Oh oke siap, aku mengerti rencanamu!"

Hadeuh ... terkadang sifat tegasnya membawa malapetaka. Rencana apanya coba? Toh aku cuma mau menjalani hukuman.

>===X===<

Hari sudah mulai sore. Kuperkirakan sudah jam empat. Suasana kelas benar-benar sepi. Namun ... kenapa hanya ada diriku ?!?!?!

Ah iya juga sih, jam pulang sekolah memang jam tiga. Tanpa memikirkan apa pun lagi, aku langsung mengambil tas dan segera bergegas pulang.

Tak kusangka membersihkan WC akan selama ini. Tapi ada benarnya juga, mengingat jumlah WC yang ada di sekolah ini.

Ya! Seluruh WC di sekolah ini!

Dasar guru br*ngs*k!!!

Padahal tadi Pak Satpam cuma bilang bersihin WC guru.

Kenapa jadi bersihin WC seluruh sekolah?

Kurasa benar adanya jika guru tersebut menyuruhku begitu, mengingat yang terjadi kemarin-kemarin. Aku telah membuat nangis seorang gadis.

Sepertinya aku tidak boleh meremehkan label sekolah dengan fasilitas terlengkap dan terbanyak. Selain itu rencana menurunkan reputasi dengan cara terlambat bukanlah hal yang bagus.

Kok ada yang kurang rasanya?

Ah perasaanku saja, soalnya dari kemarin-kemarin aku tak pernah pulang sendirian.

Ah benar juga!

Clarissa pulang sama siapa ya? Ah sudahlah bodo amat.

Sudah berhari-hari sekolah di sini pasti dia sudah tau arah pulang yang benar.

Baru kali ini rasanya.

Iya baru sekarang kurasakan hal yang berbeda. Cuma pas suasana saat ini saja.

Pandanganku mulai terarah ke papan pengumuman.

Kulihat ada poster aneh di situ. Aku langsung menghampiri papan tersebut.

Jadi inilah alasannya dia tak ada di kelas. Kalau kupikir-pikir lagi, alasannya gak cuma ini. Mungkin dia ada rencana lain.

Seketika kuperhatikan sekelilingku. Tak lupa juga memastikan ada atau tidaknya CCTV di sekitar sini. Herannya daerah mading bersih dari alat pengawas. Apa karena mading ini bersebelahan dengan ruang guru ya?

Selain itu, aku juga memastikan tak ada seorang pun di sini. Senyum jahat yang tak pernah dilihat siapapun muncul. Selain itu, niat burukku mulai menggebu-gebu.

Kutarik paku kertas yang menancap pada poster itu. Lalu kubalikkan seratus delapan puluh derajat poster tersebut. Terakhir kutancapkan lagi paku-paku kertas ini.

Setelah itu aku segera pergi dan berlari keluar dari sekolah ini. Meskipun aku telah berlari hingga keluar dari pintu gerbang, diriku tak dapat menemukan pak satpam sama sekali.

Baru kali ini aku merasakan pulang sekolah dengan tenang. Gak ada seorang gadis yang berusaha keras memecah suasana canggung dan seorang kutu yang tak dapat menghentikan ucapannya. Suasana sore hari begini memang enaknya menyuruput teh atau kopi. Apalagi sambil melihat senja yang perlahan-lahan akan hilang.

Drrt drrtt ... drrt drrt ...

Tanpa menghentikan langkah, aku segera mengangkat telepon tersebut sembari melanjutkan perjalanan, "iya Halo?"

"Bagaimana kehidupanmu di sekolah, nak?"

Bukankah terlalu cepat? Katanya malam ini akan menelpon. Dasar ayah ... selalu saja melakukan hal yang tak sesuai perkiraanku.

"Lumayan menarik, apalagi aku merasa tertantang untuk membangun semuanya dari nol," jawabku.

"Wah hebat hebat ... tak salahkan ayah memasukkan kamu kesana ... hahaha!"

"Yah meskipun begitu ... Rafael masih benci karena dipaksa masuk ke sini."

"Ah tidak apa-apa ... lagipula masih ada banyak hal yang harus kamu telusuri tentang sekolah tersebut."

"Hah? Maksud ayah apa?"

"Hmm ... kamu lupa yaa alasan ayah memasukkanmu ke sekolah itu?"

Semenjak kedua orang tuaku mendapatkan surat dari seseorang yang cukup misterius. Awalnya mereka curiga apalagi ibuku sebelumnya menolak mentah-mentah isi surat tersebut. Namun, tidak dengan Ayahku. Ketimbang mendaftarkanku ke sekolah negeri malah berubah ke sekolah yang ada di dalam surat tersebut.

"Memangnya ayah memberitahu alasannya? Bukankah ayah hanya memaksaku masuk ke sekolah ini tanpa sebuah alasan!"

"Jadi ... mereka benar-benar menghapus ingatanmu yaa?"

Mengahapus ingatan? Kedengarannya aneh. Namun, kurasa ada benarnya yang ayah katakan. Sudah ada dua orang yang tidak kuketahui identitasnya tapi tetap saja mengaku bahwa mereka mengenalku. Mungkin berpura-pura ada baiknya.

"Aku tak mengerti maksud ayah ...."

"Kamu sekarang di mana!" bentak ayahku.

"Masih di perjalanan ke asrama ...."

"Kamu ingat nama ayah?"

"Ingat, William Charles-"

"Oke kalau begitu, apakah kamu masih ingat dirimu saat SMP?"

"Masih, wakil ketua osis ...."

"Sebelum itu, ada yang ingin kamu tanyakan kepada ayah?"

"Oh iya ... Marie Rochie Antoinette tuh siapa?"

"Kamu tak mengingat dia? Ayah merasa kasihan dengan gadis itu, karena telah dilupakan olehmu."

Seketika aku menghentikan langkahku.

"Eh? Maksud ayah apa?"

"Ah sudahlah ... sepertinya mereka tak menghapus ingatanmu ... melainkan hanya merubah beberapa saja ...."

"Hah? Maksud ayah apa sih? Mereka siapa?" tanyaku semakin bingung dan penasaran.

"Perlu ayah jelaskan ... Sekolah Wissenschaft memang sekolah swasta namun hanyalah sebuah label belaka. Mereka yang ayah maksud adalah orang-orang yang menjadi faktor pendukung penempatanmu di kelas A."

Hmm ... aku masih belum ada bayangan 'mereka' yang ayah maksud. Lalu yang orang sebut-sebut swasta itu hanyalah label? Sebenarnya sekolah macam apa ini?

Aku mulai melanjutkan langkah sambil berpikir.

"Aaahh ... masih terlalu sulit untuk mencerna apa yang ayah katakan ...."

"Ya sudah kamu tak harus memikirkan hal itu ... cepat atau lambat kamu akan mendapatkan ingatanmu kembali."

Mendapatkan kembali ingatanku? Kurasa ayah benar-benar serius mengenai ingatan yang dirubah.

"Lalu apa yang harus kulakukan?"

"Ikuti alurnya, gapai tujuanmu saat ini, jika perlu kau harus menjadi dirimu yang dulu untuk mengingat hal-hal yang telah hilang dari ingatanmu."

"Oh oke-"

"Sudah yaa ...."

Tit ... tit ... tit ... tit ....

"Eh tunggu bentar Marie tuh siapa!"

Malah ditutup duluan. Padahal aku masih penasaran tentang gadis yang bernama Marie. Selain itu, label swasta yang digunakan Sekolah Wissenschaft tuh apa maksudnya coba?

Argh ....

Kepalaku tak dapat berpikir semakin jauh setelah menyusun beberapa hal tentang pengumpulan suara untuk menjabat ketua kelas.

Sudah berapa lama yaa aku berjalan?

Ah bodo amat! Lagipula asrama sudah berada di depanku.

Mungkin saja malam ini aku tak dapat tidur dengan tenang.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Gliederung