Chereads / Friend and Rival / Chapter 10 - Diplomasi

Chapter 10 - Diplomasi

One function of diplomacy is to dress realism in morality.

- Will and Ariel Durant

>===o===<

"Glek ... glek ... glek ... AHH ... WOAAH! Segar juga nih ...," ujar Riki seusai melepas dahaga.

Aku sendiri masih penasaran dan memandangi gadis ini. Kenapa pada situasi begini, gadis sepertinya tiba-tiba muncul?

"Raf mau gak?" tawar Riki menyodorkan botol minumnya.

Kurasa kewaspadaan Riki sangatlah rendah. Dengan mudahnya menerima pemberian orang yang belum dia kenal. Meskipun begitu, kepalaku masih dipenuhi banyak pertanyaan. Kenapa orang terpenting dari kelas C tiba-tiba muncul begini? Padahal ini kan masih jam pelajaran.

"Maaf Riki ... aku gak haus," tolakku masih memandangi sang ketua kelas C ini.

"Weleh ... ga usah malu-malu mah ... mentang-mentang di depan cewek nih," ujar Riki menggodaku.

"Lagian juga tinggal 100ml ...," ucapku mulai memperhatikan ke arah botol yang masih dipegang oleh Riki.

"Hah benarkah?" bingung Riki melihat isi botolnya.

"Woaahh ... Natha pinter juga yaa ...," ucap gadis itu.

Perhatianku kembali ke gadis tersebut setelah mendengarnya mengucapkan hal itu. Natha? Tunggu sebentar, Natha adalah bagian dari nama belakangku yaitu Tendranatha, tapi dia hanya memanggil sebagian saja. Seharusnya hanya anggota keluargaku yang memanggil begitu.

"Maaf ... kenapa kamu memanggilku seperti itu?" tanyaku memberikan tatapan tajam.

"Heeeh ... kamu tak mengingatku? Padahal sebelum masuk sekolah ini, kita sudah dikenalkan oleh kedua orang tua kita," ucap gadis itu malu malu.

Sumpah demi apapun! Aku tak mengingatnya. Dia ini siapa sih? Mungkin bisa jadi topik yang bagus untuk berbincang dengan ayahku nanti malam. Kemarin, Ayah mengirim pesan kepadaku. Katanya akan menelpon malam ini dan menanyakan beberapa hal tentang kondisiku di sekolah ini.

"Raf ... kok panas yaa rasanya ...," ucap Riki mulai memainkan bajunya.

Aku mulai melihat ke arah Riki dan merasa aneh dengan tingkah lakunya, "yaelah ... udah minum sebotol aja masih serasa panas," ujarku heran.

"Eh beneran Raf ... matahari serasa nyengat banget ke kepala, terus ... gue pingin buka baju juga ...," ucap Riki ngelantur dengan salah satu tangan di jidatnya dan satunya lagi mencoba membuka kancing bajunya.

"Woe ... sadar ada cewek!" bentakku.

"Eh eh? itu temenmu kenapa?" tanya gadis itu mendekat.

"Raf pinjem pundak ...."

Jiah enak banget pingsan di pundakku. Inilah alasan membiarkan dia berangkat dan telat bersamaku. Karena aku sudah menghitung kemungkinan beresiko seperti ini dari kemarin. Pasalnya seluruh murid sudah tau kondisi kelas A. Yaa terkadang berpikir berlebihan itu ada gunanya.

Jika aku mengajak salah satu keempat anggota kelompokku, mungkin saja akan bernasib sama seperti Riki. Hingga akhirnya aku yang disalahkan atas rencana yang mengancam nyawa.

Aku mencoba mengambil botol yang masih dipegang Riki. Kucoba mencium bau botol tersebut dan melihat lebih detail isinya. Hasilnya nihil tidak ada apa-apa. Aku langsung menatap ke gadis tersebut.

"Namamu siapa?" tanyaku masih dengan ekspresi wajah yang sama.

"Ah membosankan ... jadi kamu benar-benar lupa tentangku? Oh oke lah," ujarnya heran.

Mau diperhatikan berapa kali pun, ekspresi itu tidak dapat menyembunyikan niatnya yang lain.

"Perkenalkan namaku Marie Rochie Antoinette. Aku adalah ketua kelas C. Salam kenal untuk kedua kalinya yaa," sambungnya tersenyum.

Dia bilang kedua kalinya? Jadi kami benar-benar pernah berkenalan sebelumnya? Aku sama sekali tak mengingat apapun mengenainya.

"Oh oke salam kenal juga. Kamu pasti sudah tau namaku, kan?" balasku datar.

"Yaps ...," sahut Marie masih tersenyum.

"Jadi ... apakah aku boleh memanggilmu Marie?" pintaku.

"Hmm ... aku jadi tak yakin kalau kamu ini benar-benar lupa soal pertama kali kita kenalan," curiga Marie.

"Lah kenapa?" tanyaku bingung.

"Sama seperti pertama kali kita berkenalan ... kamu memanggilku dengan nama depan."

"Ah maaf ... kebiasaanku memanggil orang lain dengan nama depan."

Ekspresinya sedikit terkejut setelah mendengar ucapanku. Namun, aku baru sadar suatu hal.

"Tongkat apa itu yang ada di pinggangmu?" tanyaku melirik tongkat yang sepertinya terikat pada ikat pinggang.

"Ah ini?" ucapnya menunjukkan tongkat tersebut.

"Hooh ... senjata kah? Untuk perlindungan diri?" terkaku.

"Hmm ... di kelasmu belum dijelaskan tentang benda ini ya? Oh iya aku baru ingat! Untuk memastikan aja, kamu kelas A, kan? Atau kelas E?" ujarnya masih tersenyum.

Entah kenapa aku rasanya tersindir karena dikira kelas E. Untung saja aku sabar jika berhadapan dengan seorang gadis.

"Iya aku kelas A," jawabku.

"Woaah pantas aja ... pasti walimu belum menjelaskan benda ini, kan? Ini namanya tongkat komando! Setiap ketua kelas memegang tongkat ini," jelasnya.

Pak Saragi tidak menjelaskan tongkat ini kepada seluruh murid kelas A. Mungkin saja untuk menghindari perselisihan yang kian memanas. Tongkat itu berwarna hitam dengan ukurannya yang kisaran 40 sentimeter, atau anggap saja ukurannya sama seperti penggaris besi yang biasanya digunakan murid-murid pada umumnya.

"Lalu gunanya?" tanyaku.

"Ra-ha-sia ... aku tau kok kamu itu nyalon jadi ketua kelas, tapi fungsinya nanti tau sendiri lah ...," ujar Marie.

Nih cewek malah sok imut. Yaa, jujur dia memang manis sih, meskipun aku masih heran, ada apa dengan rambutnya sampai terlihat putih begitu. Ah aku terlalu sibuk berbicara dengannya. Sampai-sampai aku tak ingat dengan Riki.

"Ehm ... Marie ...."

"Ah iya?"

"Bisakah kamu bertanggung jawab atas pingsannya temanku ini?"

Dia langsung menjetikkan jarinya. Tanpa menunggu waktu lama, datanglah beberapa murid yang aku sendiri tidak tahu siapa mereka. Marie memberi mereka kode dan dengan sigap para murid tersebut mengangkat Riki. Kurasa dia mau dibawa ke UKS.

"Mereka itu teman kelasmu?" tanyaku.

"Ah bukan kok ... beberapa teman dari kelas lain."

"Kenapa mereka mau?"

"Ouh ... kami terlambat bareng tadi hehehehe ... trus pas aku liat kamu, jadi kepikiran sesuatu deh."

Aku mulai curiga kepadanya. Tatapanku sendiri saat ini membuatnya sedikit takut.

"Jadi rencanamu adalah meracuniku?" tanyaku.

"Yaa ... gimana yaa ... meracunimu memang rencanaku tapi-"

Aku bangun dan mendekat dengan cepat hingga jarak antara muka kami berdua hanyalah beberapa senti. Meskipun dia terlihat sedikit ketakutan, aku sendiri yakin itu bukan ekspresi yang sebenarnya.

"Oh yaa ... apa yang akan kamu lakukan? Jarakmu terlalu dekat loh ... orang lain akan salah paham tentang hubungan kita berdua ... apalagi ada seseorang di lantai dua sana yang mengintip pembicaraan kita," ujar Marie berusaha menutupi ketakutannya.

Lantai dua? Berarti kelasku? Kuharap Clarissa tidak memikirkan yang aneh-aneh. Setelah mendengar ucapannya. Aku sedikit menjaga jarak dan tetap memperhatikannya.

"Niatku itu cuma mengetes dirimu saja kok ...," ucap Marie.

"Untuk apa? Siapa yang menyuruhmu?" tanyaku semakin curiga.

"Tidak ada kok ... aku hanya mengetes, apakah yang di depanku ini benar-benar Rafael atau bukan ...," ujar Marie.

Memangnya ada berapa Rafael di sekolah ini? Lalu apa bedanya diriku yang dulu dan sekarang? Memang dasarnya sih beda.

"... selain itu aku juga ingin menawarkan bantuan kepadamu," sambung Marie

"Bantuan apa?"

"Bantuan suara-"

"Gak mau," potongku.

"Eh kenapa? Kan enak ... seluruh suara kelas C ada di tanganmu!" ujar Marie.

Meskipun begitu. Pasti dia kira aku tak memikirkan syarat berkelanjutan dari dirinya. Tapi jika dipikir-pikir lagi, ada untungnya juga dengan penawarannya itu selama tak merugikanku.

"Kenapa? Bingung? Santai mah ... kalau sama aku syaratnya gak berat-berat kok ...," tawar Marie.

"Jadi gimana syaratnya?" tanyaku.

"Cukup membangun kembali hubungan kita yang dulunya sangat erat ...," ucap Marie tersenyum.

"Ah sudahlah. Aku tidak terobsesi dengan suara kelas dan jabatan tersebut," balasku.

"Alasan banget dah gak obses ama suara dan jabatan ... pasti kamu juga lupa, kan?"

"Hah?"

"Aku lah yang paling mengenal caramu memimpin saat SMP, yaa meskipun kita berdua berbeda sekolah dulunya. Tapi siapa sangka jika kita dulunya benar-benar dekat," ujarnya.

Lagi-lagi membicarakan masa lalu. Aku sudah bersikeras melupakan ingatanku mengenai hal itu! Mau sampai kapan orang-orang seperti dia hadir dalam hidupku untuk menggunjing masa laluku!

"Oh ya? Apakah kamu sakit? Mukamu merah dan nampak tak sehat? Pusing, kah?" tanya Marie khawatir.

Kurasa yang dia pertanyakan ada benarnya. Jujur saja, sejak berusaha mengingat siapa dirinya kepalaku serasa pusing. Padahal aku tak meminum air pemberiannya. Atau rasa pusing ini dikarenakan ingatan yang mencoba memberontak di dalam kepalaku?

Aku mulai memegang kepalaku. Rasanya benar-benar sakit.

"Ayolah ... jika memang sakit aku bisa kok mengantarmu ke UKS," tawarnya.

"Tidak ... tidak usah ...," jawabku.

Astaga!

Aku hampir terjatuh, untungnya kesadaranku masih kuat.

"Tuh kan! Ayo sini ikut aku!" ucap Marie langsung menarik tanganku.

Meskipun pandanganku mulai perlahan-lahan gelap dan berat, aku sendiri hanya bisa pasrah mengikutinya entah kemana.

>===o===<

Clarissa Dorothy POV

Sebentar dulu! Sama siapa tuh Rafael? Aneh ... kok rambutnya putih ya? Eh sudah jam berapa nih?

Tidak seperti yang Rafael katakan. Padahal ini baru jam delapan. Aku harus segera memberitahu yang lain. Eh tunggu dulu! Hampir saja aku lupa tentang peraturan kubu kami yang nomor dua.

"Dilarang berkomunikasi digital saat di kelas ... itu artinya aku harus membicarakan ini secara langsung dengan seseorang ... eh Ivan mau kemana tuh?" gumamku.

Aku langsung berdiri dan menghampiri Ivan yang hendak keluar kelas.

"Ivan!!! Tunggu!" panggilku.

"Ah, iya ada apa?" sahut Ivan.

"Ehm ... lebih baik kita bicarakan di luar kelas," ucapku langsung menariknya keluar kelas.

Saat kami berdua sudah berada di luar kelas.

"Kamu mau kemana?" tanyaku.

"Mencari Rafael," jawabnya.

"Eh? Bukannya Rafael bilang jam sembilan?" tanyaku sedikit panik.

Ivan terkejut setelah mendengar ucapanku. Sepertinya kemarin aku salah dengar. Eh! Tapi ingatanku tidak salah kok. Rafael benar-benar mengatakan jika jam sembilan akan ada suatu perkara.

"Ah Clarissa ... tak usah panik begitu ... tidak aneh kok jika yang kamu katakan itu berbeda," terang Ivan.

"Hah maksudmu?" tanyaku bingung.

"Kemarin, beberapa menit setelah bubar ... Rafael tiba-tiba saja mengejarku ...."

"Hah? Terus?"

"Yaa dia bilang kalau aku harus mencarinya jam delapan."

"Oh ya? Terus kamu ingin mencari dia sendiri? Lalu ... Kok dia gak ngasik tau aku sih ...."

"Entah ... yaa kukira dia sudah memberitahumu."

"Gak kok ... sama sekali gak ada ...."

"Ah sudahlah ... aku ingin mencarinya," ucap Ivan langsung meninggalkanku.

Aku baru ingat kondisi Rafael yang terlihat setengah sadar sambil ditarik oleh seseorang. Aku langsung menarik lengan Ivan dan memberhentikannya.

"Hah ... Kenapa lagi?" tanya Ivan.

"Aku ikut!"

"Gak usah ... Rafael hanya menyuruhku, lebih baik kamu di kelas aja."

"Tapi ini gawat!"

"Gawat kenapa?"

"Aku melihat kondisi Rafael setengah sadar dan sedang dibawa seseorang, sayangnya aku tidak tau kemana."

Ivan mulai memikirkan apa yang telah aku sampaikan. Tidak lama kemudian mimik mukanya menjelaskan jika dia telah mengetahui sesuatu.

"Seharusnya masuk akal ... jika Rafael di bawa ke UKS ... mengingat melakukan tindakan penyekapan dan penculikan sangat tidak mungkin di sekolah ini," jelas Ivan sembari berpikir dan melihat keadaan sekitar.

"Yaa benar! Apalagi banyaknya CCTV yang ada di sekolah ini.

"Kalau begitu, pertama-tama kita harus mencarinya ke UKS, Clarissa! Kalau begitu kamu harus juga ikut untuk memastikan perkataanmu!"

Eh? Jadi aku dicurigai nih? Ah sudahlah aku ikut saja. Lagi pula yang kukatakan adalah fakta. Aku dan Ivan segera bergegas menuju tempat yang kami maksud.

>===÷===<

Setelah melewati beberapa menit perjalanan. Aku dan Ivan hampir sampai di ruangan UKS. Anehnya, kali ini aku yang mengikuti dari belakang mampu menahan lamanya suasana canggung ketika berjalan bersamanya. Lain halnya jika berjalan bersama Rafael, pasti saja aku tak tahan dengan suasana canggung meskipun hanya semenit.

"Tunggu sebentar!" ujar Ivan menyuruhku berhenti.

"Kenapa Van?" heranku dengan Ivan, padahal UKS sudah ada di depan kami

"Ternyata dugaanmu benar."

"Ah elah ... kukira apaan, udah ah langsung aja!" ujarku mendahuluinya masuk menuju ruang UKS.

Astaga Rafael! Kenapa dia bersama nenek-nenek! Eh tunggu dulu ... parasnya masih muda dan cantik kok. Lalu, posisi macam apa itu hah! Di saat aku dan Ivan mengkhawatirkannya, dia malah keenakan tertidur di paha seorang gadis.

"Fiuww ... sepertinya bos kita tertidur di pangkuan seseorang nih ...," ucap Ivan.

"Hah bos?" sahutku.

"Ara ara ..., kalian siapa?" tanya gadis itu.

"Ehm ... kami teman kelasnya Rafael," jawabku.

Aku masih tidak paham. Hubungan apa yang dimiliki Rafael dengan Gadis tersebut. Bahkan Rafael sendiri tidak pernah bercerita kepadaku tentang hubungan asmaranya. Meskipun, aku pernah menanyakan hal itu dan dia hanya menjawab tidak punya. Dia mulai mengelus-elus rambut Rafael sehingga membuatnya membuka mata.

"Haah ... dimana aku?" tanya Rafael lemas.

"Hmm ...," sahutku sedikit kesal.

"Eh sebentar dulu!" ujar Rafael langsung bangun dari posisi awalnya.

Ivan tersenyum dan menahan tawa melihat ekspresi Rafael yang benar-benar seperti orang baru bangun tidur.

"Ckckck ... jangan-jangan rencanamu memanggil kami berdua ke sini adalah memamerkan pacarmu itu?" tanya Ivan sedikit geleng geleng kepala.

"Eh bukan-bukan! Dia bukan pacarku! Bahkan kami baru berkenalan!" ujar Rafael berusaha membela diri.

Kenapa Rafael memandangiku?

"Clarissa! Ini tak seperti yang kamu kira," ujar Rafael.

"Hemph ...," balasku mengalihkan pandangan.

"Ah iyaa ... kamu masih marah soal yang tadi pagi yaa ...," ucap Rafael lemas.

"Ah sudahlah ... Rafael! Coba jelaskan rencanamu yang sebenarnya!" ujar Ivan mulai serius.

"Rencana?" ucap gadis itu kebingungan.

"Perkenalkan ... namanya Marie. Dia adalah ketua kelas C. Dia tadi menolongku saat aku menjalani hukuman."

"Hemph ... bohong ...," sahutku.

Seluruh orang di ruangan ini terkejut setelah aku menceletuk ke dalam pembicaraan mereka.

"Aku melihat semuanya loh ... saat kalian berdua berdekatan di depan patung itu," sambungku.

"Oh yaa ... jadi kamu yaa yang sedari tadi mengintip kami berdua," ucap Marie.

Jadi dia sadar saat aku melihatnya melewati jendela? Mendengarnya berbicara seperti itu, membuatku sedikit membencinya. Namun, aku sendiri tidak ingin memperpanjang masalah ini. Mengingat waktu terus berjalan dan akan ada guru yang curiga dengan keberadaan kami di ruangan ini.

"Ah sudah-sudah! Tujuan Marie benar-benar membantuku tadi! Sekarang kubu kita sudah mendapatkan bantuan yang besar," ujar Rafael.

"Bantuan?" tanya Ivan.

"Benar sekali! Seluruh suara kelas C sudah ada di tangan kalian loh ...," celetuk Marie.

"Eh beneran?" tanyaku terkejut.

"Benar kok ... aku sudah melakukan beberapa kesepakatan dengannya mengenai hal ini. Jadi kita sudah mempunyai kekuatan untuk mendapatkan posisi tertinggi di kelas A," jelas Rafael penuh percaya diri.

Aku masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh Rafael. Selain itu, apakah gadis ini benar-benar bisa dipercaya mengenai seluruh suara kelasnya? Aku mulai curiga dengan sosok ketua kelas C ini. Mungkin saja dia punya maksud dan tujuan tertentu. Lalu, harga apa yang dia tawarkan untuk seluruh suara tersebut?

Di sisi lain, ada apa dengan diriku ini? Kenapa sedari tadi aku begitu peduli dengan Rafael? Tidak seperti biasanya aku akan perhatian kepada seorang lelaki. Ah mungkin saja ada yang salah dengan diriku ini. Meskipun begitu, aku sangat penasaran hubungan antara Marie dan Rafael.

>===o===<

Cerita ini adalah fiksi.

Semua orang, kelompok, tempat, dan nama yang muncul di Cerita ini.

Tidak ada kaitannya dengan dunia nyata.

Nächster?

Campagne