Dengan mengenakan setelan santai, Rayi melangkahkan kaki masuk ke ruang tamu rumah utama. Daniel terus menemani Rayi masuk kedalam rumah utama, ketika sang tuan rumah menampakkan diri Daniel berhenti dan meninggalkan mereka berdua yang tengah berdiri saling berhadapan.
"Ayah, kenapa kau menyuruh idiot ini untuk datang juga. "
Rayi merasa suara yang barusan ia dengar tidak asing di telinganya. Suara itu datang dari arah belakang. Tanpa Rayi melihat siapa yang datang ia tahu pemilik suara itu. Ia datang dari arah pintu masuk sana. Ia terus melangkahkan kaki menuju ke kedua orang yang tengah berdiri berhadapan diruang tamu.
"Ternyata manusia tidak pernah berubah . " Laki-laki itu adalah Maverik anak Martin. Ia terus memandang Rayi dengan tatapan jijik dan merendahkan lalu ia mendudukkan tubuhnya di sofa.
Rayi begitu gugup, ia terus memegang kedua tangannya dan memainkan jari-jarinya yang saling bersautan satu sama lain. Rayi terus berdiri dengan pandangan tertunduk kebawah sejak pertama kali ia menginjakan kaki di rumah utama.
Martin yang melihat Rayi masih berdiri menyuruhnya untuk duduk dan Rayi pun dengan ragu duduk dengan tatapan yang masih tertunduk dan memainkan kedua jari-jari tangannya.
Rayi duduk saling berhadapan dengan Maverik namun ia tidak berani melirik nya sedikitpun karena ia begitu gugup. Dan Martin duduk di sampai mereka berdua.
"Bagaimana terapi mu di Australia, apakah ada kemajuan. " Martin membuka suara kembali.
"Apa Ayah melihat ada kemajuan dengan si idiot ini. Aku rasa tidak ada. Dia tidak akan pernah bisa normal. Seorang autis tidak akan pernah bisa sembuh." Lagi lagi Maverik memandang Rayi dengan tatapan merendahkan dan sangat jengah dengannya.
Rayi terus memainkan jarinya semakin kuat dengan wajah yang sedikit merah dan tatapan masih dengan posisi tertunduk dengan posisi kaki yang rapat. Persis seperti anak kecil yang tengah marah dan tidak suka dengan apa yang Maverik katakan barusan.
"Ayah kau menyuruh ku hanya untuk memastikan si idiot ini masih hidup. Kau membuang waktu ku. Aku tidak peduli dia hidup atau mati, dia bukan keluarga kita." Maverik berdiri meninggalkan ruang tamu rumah utama, pergi begitu saja setelah melihat ke arah Rayi dengan sangat marah.
Martin dan Rayi hanya diam dan tak bersuara. Martin melihat kepergian Maverik dalam diam, ia melihat kearah Rayi yang terus tertunduk dan memainkan jarinya tanpa henti. Martin juga melihat ekspresi Rayi yang kesal dan marah karena perkataan Maverik kepadanya.
"Apa kau akan tetap tinggal di Dago. " Martin memecahkan suasana.
Rayi mengangguk kan kepala sebagai jawaban atas pertanyaan Martin barusan.
"Baiklah itu keputusanmu. Jika kau memerlukan sesuatu kau bisa mengatakannya padaku Ray. Jangan di ambil hati sikap Maverik barusan. Apa kau akan memaafkan sikapnya tadi. " Rayi hanya mengangguk dengan posisi tubuh yang masih sama menunduk dan terus memainkan jarinya.
"Apa selama kau di Australia kau kehilangan suaramu, kau terus saja diam. Kau bukan Rayi yang ku kenal dulu. "
"Tidak. Aku baik-baik saja. " Marti melihat tingkah Rayi yang begitu cepat menjawab pertanyaan martin barusan dengan antusis membuatnya tertawa kecil. Rayi mirip sekali dengan tingkah anak kecil ketika mereka membela diri.
"Kau bisa tinggal untuk malam ini tidak perlu pulang ke Dago, om lihat kau begitu kelelahan. "
"Tidak om, Rayi baik-baik saja dan rayi akan pulang ke Dago malam ini. Paman Daniel masih menungguku di luar. " Rayi menjawab dengan sangat santai, dan kegugupan yang ia rasakan sedikit menghilang.
Rayi selalu menyebut Daniel dengan sebutan paman. Karena bersama Daniel ia seperti memiliki keluarga yang dekat dengannya. Sudah lama sekali pertemuan seperti ini tidak pernah ada di pikiran Rayi. Selama delapan belas tahun mereka bertiga tidak pernah bertemu kembali. Rayi begitu gugup ketika harus bertemu dengan orang yang selama ini, ia tidak pernah melihatnya.
Martin hanya memberikan perintah kepada Daniel untuk memberikan keperluannya. Tanpa ia datang dan ada melihat Rayi di sana.