Chereads / Wanita Sang Boss / Chapter 23 - Benda Paling Bermakna

Chapter 23 - Benda Paling Bermakna

Tapi, Yoga memilih diam. Terlebih melihat pegawai kasir itu tampak terkekeh mendengar ucapan Meta. Setelah membayar belanjaan Meta, mereka beruda pun keluar. Mencari-cari barangkali ada hal yang ingin mereka beli lagi.

"Ga, nanti temenin beli make-up, ya?" pinta Meta. Yoga hanya mengangguk, tanpa protes. Sebenarnya, ini adalah kali pertama ia menemani seorang wanita belanja. Dan dia tak berpikir, jika menemani belanja seorang wanita adalah hal yang paling membosankan. Buktinya, Meta, belum ada satu jam sudah mendapatkan semua barang yang ia inginkan.

Hati Meta agaknya hari ini bahagia, sudah ada ATM berjalan, dibawain belanjaannya, dan mau mengikuti ke mana pun dia mau, pula. Jarang-jarang ada bos baik seperti Yoga. Padahal Kinan pun, tidak mesti mau jika dimintai tolong seperti itu. Nanti, Meta mau ke kontrakan, mau memamerkan atas apa yang telah Yoga lakukan untuknya. Menemaninya belanja, membayarinya belanja, dan lain sebagainya. Meta sudah bisa membayangkan, bagaimana teriak histeris sahabatnya itu. Atau bahkan, Kinan tidak akan percaya dengan apa yang telah ia lalui hari ini. Seketika senyuman itu terukir di kedua sudut bibir Meta dengan sangat jelas.

"Kamu masuk dulu...," kata Yoga. Dia sedang tertarik pada sebuah tempat, dan dia ingin mampir sebentar. Setelah melihat Meta pergi, Yoga berjalan mendekat pada etalase sebuah toko yang di dalamnya berjajar rapi perhiasan-perhiasan mahal. Pegawai-pegawai di sana pun, seolah memperlakukan perhiasan yang ada di sana seperti seorang anak raja.

"Pak Yoga?" sapa pemiliknya yang kebetulan ada di sana. Wajahnya langsung sumringat, saat tahu jika orang yang disapa adalah benar-benar seorang Prayoga Mahardika. Seorang pimpinan dari perusahaan raksasa, yang bahkan memiliki cabang di mana-mana.

Yoga hanya tersenyum simpul, sambil terus memerhatikan dertan perhiasan itu. Sementara si pemilik yang merasa telah kedatangan pengunjung sekelas Yoga, dia buru-buru mendekat, serah mungkin kepada pengunjungnya itu sambil sesekali mendokumentasikan pertemuan itu. Memajang potret Yoga di tokonya, adalah suatu yang sangat menguntungkan. Yang akan berdampak bagi penjualan yang menanjak pesat.

"Sedang cari apa, Pak?" tanya si empunya toko lagi.

"Sesuatu yang indah," jawab Yoga.

Si empunya toko itu pun tampak berpikir keras, dia bingung apa yang dicari oleh seorang bos dari perusahaan besar itu. Namun setelah sesaat dia berpikir, dia mengambil dua buah benda, dan ditunjukkan kepada Yoga.

"Ini adalah cincin dari perancang ternama dunia, Bapak bisa berikan kepada pasangan Bapak. Pasti pasangan Bapak akan suka," katanya. Tapi Yoga masih tak peduli, matanya tertuju pada sebuah kalung yang terpajang di depan toko. "Oh, ini...," kata si empunya toko, mengambil kalung itu dengan sangat hati-hati, kemudian ditunjukkan kepada Yoga. "Ini adalah kalung berliontin polaris, Pak. Yang dipercaya sangat bagus untuk pasangan. Artinya adalah sebuah kekekalan dari cinta sejati. Ini, sangat cocok untuk Pak Yoga jika hendak diberikan kepada pujaan hatinya," jelas si pemilik toko.

Mata Yoga memandang pemilik toko itu sejenak, kemudian dia memegang kalung itu, "Sepertinya murahan, tidak ada bentuk seperti ini tapi yang paling mahal?" tanya Yoga. Meski dia tak begitu mengerti tentang perhiasan perempuan, tapi setidaknya dia lebih dari tahu, mana emas asli, mana permata asli, dan lain sebagainya. Matanya, tidak pernah bisa ditipu dengan barang murahan apa pun.

Si pemilik toko hanya bisa melongo, untuk kemudian dia mengedipkan matanya kepada salah satu pegawainya. Di sana, di belakang etalasi, sebuah lemari mewah itu pun dibuka. Sebuah kalung berliontin polaris, dengan permata berwarna ruby di sana. Untuk kemudian si pemilik toko menunjukkannya kepada Yoga, dengan senyuman lebar. Bahkan sang pelayan itu, begitu tampak hati-hati, membawa kotak beludru yang terbuka itu bahkan terbungkus rapi dengan sebuah kaca.

"Ini, paling mahal, dan hanya ada satu-satunya, Pak. Bahkan di belahan dunia mana pun, hanya memproduksinya dengan jumlah eksklusif," kata si empunya toko pada akhirnya. Sebenarnya dia sangat tak enak hati, kenapa tadi dia tak menunjukkan perhiasan ini kepada Yoga? Malah menunjukkan perhiasan lainnya. Tentunya dia tahu betul siapa Yoga, laki-laki itu adalah bos dari perusahaan besar. Tentu akan sangat mudah baginya melihat, mana barang yang benar-benar cocok bagi kelasnya atau pun yang tidak. Meski, sang pemilik toko pun tak menampik, jika perhiasan tadi sudah sangat lebih dari cukup dibilang mewah. Harganya pun bukan main-main, tentunya.

"Aku beli," jawab Yoga.

Setelah transaksi yang cukup singkat itu, Yoga langsung menemui Meta. Dan memasukkan kalung yang baru saja ia beli ke dalam salah satu kantung belanjaan Meta.

Yoga menarik sebelah alisnya, saat melihat Meta yang masih tampak bingung di depan beberapa peralatan perang perempuan itu. Kemudian Yoga mendekat, melirik Meta sekilas yang masih mencoba sebuah lipstik.

"Pink, peach...," kata Yoga, yang berhasil membuat Meta menoleh. "Aku suka kamu memakai warna itu," lanjutnya, sambil menarik sebelah alisnya kepada Meta.

"Tapi aku suka warna orange," kata Meta.

"Kayak jigong," jawab Yoga yang berhasil membuat Meta mangap.

"Merah,"

"Kayak mak lampir habis makan darah," timpal Yoga lagi.

\ Meta langsung berkacak pinggang, memandang Yoga yang sudah tak mempedulikannya. Sibuk melihat-lihat barang yang ada di depannya.

"Jadi, ambil nomor berapa, Mbak?" tanya pegawai yang ada di sana.

"Semua merk yang warnanya pink, dan peach," jawab Yoga yang berhasil membuat pegawai itu tersenyum.

"Pacar Mbak perhatian sekali, lho. Ganteng banget lagi," bisik si pegawai itu.

Tapi, Meta tak merasa jika Yoga perhatian. Apa untungnya memborong semua lipstik di berbagai merk jika yang dibeli Cuma warna pink, dan peach. Toh orang lain tidak akan tahu itu merk beda. Apa perlu Meta menempelkan merks lipstik tersebut di bibirnya agar orang lain tahu kalau setiap ia pergi ia ganti merk lipstik?

Meta menghela napas panjang, setelah itu menghirup lagi udara dalam-dalam untuk mengurangi emosinya.

Kemudian dia kembali melirik ke Yoga, yang rupanya sudah memilihkan banyak make up dengan sangat asal.

"Yo—"

"Pensil alis?" kata Yoga ragu-ragu, sambil membawa sebuah pensil alis dan menunjukkannya kepada Meta. "Kenapa perempuan harus pakai ini? Alis perempuan bagus alami. Lagi pula, jika mereka ingin, bukankah mereka bisa menggunakan spidol?"

"Yoga!" geram Meta pada akhirnya.

Yoga pun tertawa. Meta terdiam sejenak melihat tawa Yoga, baru kali ini dia melihat bosnya itu tertawa. Dan bosnya tampak semakin tampan jika seperti itu. Menyadari jika wajahnya tampak panas, Meta pun memilih menunduk. Kemudian mencari-cari benda lainnya.

"Lupakan, cari yang murah aja. Aku nggak bisa makek," kata Meta, mengambil pensil alis yang dibawa Yoga kemudian mengembalikannya ke tempatnya.

"Kenapa harus yang murah? Semakin mahal bukankah semakin bagus?" tanya Yoga.

"Aku nggak bisa makek, kalau nggak panjang sebelah, ya tinggi sebelah. Nggak bisa simetris," curhat Meta.

Yoga pun mengangguk, kemudian mengambil pensil alis tadi untuk diberikan kepada pegawai kasir.

"Jika kamu tidak bisa, aku bisa melakukannya. Akan kubuat alismu simetris dengan penggaris."

"Yoga!!!"

Setelah puas berbelanja keduanya pu memutuskan untuk pulang. Karena Yoga ada meeting dengan salah satu rekan bisnisnya. Sementara Meta, meminta untuk diantar ke kontrakan. Dia benar-benar ingin membahas masalah kemarin, kekacauan yang disebabkan oleh Fabian. Tapi, di sepanjang perjalanan Meta malah tertidur, dan itu berhasil membuat Yoga menghela napas panjang.