Chereads / Wanita Sang Boss / Chapter 25 - Main Ke Rumah

Chapter 25 - Main Ke Rumah

Meta melangkah menaiki anak tangga, membuka pintu kamar kontrakannya yang tampak sepi kemudian dia tersenyum simpul. Biasanya, Kinan akan memakai kamarnya meski sekadar menghabiskan waktu untuk menonton salah satu dari koleksi filmnya. Tapi untuk sekarang, tidak ada siapa-siapa? Padahal ini adalah hari minggu. Seharusnya teman-teman kontrakannya ada di rumah semua. Bukan karena mereka malas keluar, hanya saja, sudah menjadi suatu tradisi, tinggal di kontrakan dan diapelin sebelum malamnya keluar adalah rutinitas yang harus mereka lakukan. Maklum, karena dua perempuan yang sudah berumur itu masih jomlo. Siapa lagi kalau bukan Mbak Tanti, dan Mbak Hesti.

"Elo tumben ke kontrakan? Kirain udah lupa pulang lo, secara udah betah hidup enak di apartemen si bos," ucapan itu sontak membuat Meta yang mengintip kamarnya itu melompat.

Dia memutar pandangannya, melihat Kinan rupanya sudah bersedekap di belakangnya sambil melotot. Tatapannya yang penuh selidik itu, benar-benar membuat Meta ingin menoyor kepalanya.

"Aduh anak Mama ngambek, ya? Enggak ditengokin? Duh duh duh," kata Meta mengajak bercanda. Sembari mengacak rambut Kinan sekilas.

Kinan langsung masuk kamarnya, dibuntuti oleh Meta kemudian dia mengambil posisi duduk di ranjang Meta. Sementara Meta, langsung merebahkan tubuhnya. Berbelanja dengan Yoga ternyata lelah juga, padahal dia sangat menikmati waktu belanja tadi.

"Becanda aja lo, gue masih emosi, nih, gegara semalem!" kata Kinan mulai sewot. "Berengsek banget, sih, Fabian. Tega banget ngerjain kita kayak gitu!" dengusnya lagi.

"Gue juga mau ngebahas ini ama elo. Makanya gue kesini...," kata Meta. "Gue bener-bener nggak paham, tujuan Fabian apa coba ngelakuin itu? Terlebih dia ngelibatin elo, Kin, sahabatnya dia! Apa dia nggak mikirin perasaan lo? Dan dari sini gue bener-bener bisa liat dia yang sebenernya, dia nggak lebih dari seorang anak orang kaya, yang suka ngerendahin, dan ngelecehin cewek!" Meta mendengus, dia benar-benar tak habis pikir memang dengan Fabian, yang notabene adalah sahabat karib dari Kinan. Seorang sahabat kenapa sampai tega menjerumuskan sahabatnya sendiri ke dalam kandang buaya.

"Gue juga nggak tahu, Met. Gue bener-bener jijik ama Fabian sejak kemarin. Bahkan dia bener-bener ngga ngehargain cowok gue. Benci gue ama dia. Tapi gue rasa emang dia sedang ngincer elo, deh," Kinan lantas melirik ke arah Meta, dia ingin melihat ekspresi apa yang Meta tunjukkan sekarang.

"Hah, gue?" pekik Meta semakin bingung. Sambil nunjuk dirinya sendiri dengan jari telunjuknya. Wajahnya benar-benar polos, seolah dia sama sekali tak tahu tentang tabiat Fabian semalam yang memang sudah sangat jelas, jika Fabian tengah menargetkannya.

"Elo ngerasa nggak sih kalau Fabian itu tertarik ama elo?" kata Kinan lagi, kini dia langsung membenarkan posisi duduknya, memandang Meta dengan serius. "Mulanya, ya, dia nanyain tentang elo ke gue, terus bilang ke gue kalau ada lowongan jadi sekertaris di perusahaan sepupunya. Dan posisi, elo ama dia nggak kenal, kan? Apa coba maksudnya dia ngelakuin itu? Terus semenjak lo kerja di perusahaan Pak Yoga, dia nanyain mulu apa aja kesukaan elo lah, hobi elo lah, dan banyak deh. Terus puncaknya kemarin malem, apa coba maksudnya? Gue liat dengan mata kepala gue sendiri, Met, kalau dia ganti kertas yang mau lo ambil itu. Apa mungkin dia berharap jika lo kalah dalam permainan ini elo bakal nyium dia? Bisa jadi, kan, dia mau dapetin elo?"

Meta mengerutkan keningnya, dia masih tak percaya jika ucapan Kinan itu benar adanya. Bukan apa-apa, dia hanya seorang Meta, dia tak mau besar kepala dulu. Kini, dia langsung mengambil posisi duduk, seolah tengah berpikir keras namun dia tak menemukan satu petunjuk pun di sana. Sebab bagaimanapun, bersahabat dengan siapa saja Meta itu oke-oke saja. Itu sebabnya dia tak memiliki rasa curiga kepada siapa pun yang bahkan, berniat buruk kepadanya sekalipun.

"Tapi...," kata Kinan yang berhasil membuat Meta memandang ke arahnya. "Kenapa lo malah nyium Pak Yoga? Ampun, Met, apa yang elo lakuin jadi trending di group kantor, tau, nggak! Bahkan, banyak karyawan yang ngerekam adegan ciuman panas elo ama Pak Yoga itu."

Meta kembali diam untuk beberapa saat, kemudian dia menggaruk tengkuknya yang tiba-tiba terasa gatal. "Gue juga nggak tahu, sih, Kin. Kenapa coba gue malah nyium Pak Yoga. Gue hanya ngerasa saat itu di tempat itu, nggak ada yang bisa bikin gue aman kecuali ama Pak Yoga," jelas Meta jujur. "Lagi pula, apa elo pengen gue dibilang pecundang karena nggak ngelakuin hukumannya? Lo tau kalau yang nggak ngelakuin hukumannya maka salah satu cowok yang ada di sana bakal nyium gue. Dan lo pikir, siapa cowok yang harus gue cium di sana? Pak Yoga, kan? Hanya dia kandidat teramannya."

Kinan tersenyum penuh arti, kemudian dia menoel-noel lengan Meta. "Gue rasa elo naksir, deh, ama Pak Yoga. Ya, kan? Ngaku! Elo naksir, kan? Iya, kan? Iya pasti!" seloroh Kinan.

"Ih, apaan. Enggak!" bantah Meta mati-matian, tapi raut wajahnya memerah karena godaan dari Kinan itu. Bahkan, kedua pipinya mendadak terasa panas.

"Eh, ada cupang lagi di dada elo! Semalem abis ciuman panas itu elo ngapain aja ama Pak Yoga? Ngaku lo!" desak Kinan semakin parah. "Eh, eh! Ada kalung juga di leher elo! Met, ini dari Pak Yoga? Ampun, ini kalung harganya mahal banget gila! Udah lo kasih apa Pak Yoga ampek ngasih semuanya buat elo? Hmm, ngaku lo!"

Seketika meta langsung memeriksa lehernya, ternyata apa yang dikatakan oleh Kinan memang benar, ada sebuah kalung yang melingkar di lehernya.

Sejak kapan Yoga mengenakannya di lehernya? Meta sama sekali tak ingat akan hal itu. Sebab sedari pagi tadi, saat dia sibuk mengganti pakaian, dia masih belum mengenakan ini.

"Gue—"

"Elo elo, Met! Bintang viral di kantor ada di sini,"

Meta, dan Kinan menoleh. Rupanya di sana sudah ada Mbak Tanti, berdiri di ambang pintu dengan wajah antusiasnya.

"Elo abis mimpi apa, Met? Ciuman apa Pak Yoga?" katanya kemudian, menaruh tasnya lalu ikut duduk dengan kedua cewek itu.

"Elo nggak paham ya, Mbak, ini aja dadanya udah penuh bekas cupangan. Gue rasa kisah Meta ama Pak Yoga macam film panas luar negeri. Di mana bos butuh kepuasan, dan sang sekertaris memberikannya. Imbalannya si bos memberikan apa pun buat si sekertaris," kata Kinan berapi-api.

"Kampret lo!" dengus Meta, melempar bantal ke arah Kinan dengan emosi. "Gue masih ting-ting, ya! Gue masih perawan, elo tahu? PERAWAN!" bantahnya tak mau terima.

"Jangan percaya, Mbak Tanti. Liat aja di lehernya, udah melingkar manis kalung yang harganya setara mobil mewah. Gila nggak tuh!" bantah Kinan lagi.

"Ih, Kinan! Rese deh!" marah Meta karena tak bisa mengatakan apa-apa lagi.

"Eh, itu bukannya polaris, ya?" kata Mbak Tanti yang berhasil membuat perseteruan Meta, dan Kinan terhenti. Kemudian ketiganya memandang kalung milik Meta.

"Mana gue tau!" kata Meta masih tampak jengkel.

"Elo tahu, Met, kalau cowok ngasih kalung ke cewek itu tandanya dia ingin ngungkapin perasaan cintanya ama elo. Terlebih elo tahu, nggak, polaris itu melambangkan cinta sejati, lho."

"Ah, masak sih? Yakali yang ngasih ini paham begituan, Mbak? Gue kira Pak Yoga ngasih pun mungkin karena asal. Dia kan seorang bos, yakali bakal mikir masalah gituan segala, ya kan?" kata Meta kepada dua sahabatnya.

"Iya juga, sih," kata keduanya lagi kompak.