"Aku rindu kamu, Tita," lirihnya kemudian.
Meta tersenyum, tapi air matanya menetes begitu saja. Dia bahkan tak bisa berkata apa pun selain melihat sosok yang ada di depannya kini adalah nyata. Dia Yoga, kan? Dia Yoganya, kan?
Saat Meta hendak melangkah, dia tiba-tiba terhenti. Tidak... dia tidak boleh lancang, dia tidak boleh terlalu percaya diri untuk sekadar melangkah dan memeluk Yoga. Terlebih, untuk mengatakan kalau dia rindu Yoga. Meta benar-benar tak memiliki hak untuk itu.
Dialah yang meninggalkan, dialah yang mencampakan. Jadi, bagaimana bisa dia yang percaya diri untuk datang. Tidak... dia tidak punya hak apa pun tentang Yoga sekarang.
Meta lantas menghapus air mata yang menetes di pipinya, kemudian dia membalikkan badannya hendak pergi. Tapi, dia harus menghentikan langkahnya, saat tangannya dipegang erat oleh Yoga.