Setelah rasa heranku karena kedatangan Muri, aku pun mencoba bersikap biasa. Melanjutkan kegiatanku yang sempat terhenti, sampai Muri berjalan lebih dekat ke arahku.
"Juragan Arjuna," katanya untuk sekian kali.
Aku tersenyum saja, bingung harus menjawabi ucapan Muri seperti apa. Aku bukan Gusti Pangeran yang patut diberi ucapan seperti itu. Sebab apa yang kupunya hanyalah titipan semata.
"Namun begitu, Muri, sebelum aku melihat dengan mata kepalaku sendiri, aku masih belum bisa memastikan jika keluargamu baik-baik saja, beserta rumah, dan toko barumu itu. Jadi, nanti, kapan-kapan aku akan bertandang ke sana untuk sekadar minum kopi. Apa diizinkan?" kutanya. Muri malah tertawa. "Takutnya, nanti kamu kembali salah paham, kemudian mengira aku ingin merebut istrimu kembali. Kamu, kan, suami yang cemburuan," sindirku.