"Seharusnya kamu ndhak usah minum, toh! Dasar anak bau kencur, kerjaannya menyusahkan orang!" gerutu Muri kepadaku.
Saat ini sudah hampir pagi. Kira-kira kurang lebih jam dua dini hari. Muri menyeretku untuk segera menuju pintu depan rumahku. Setelah amarahnya dari kota sedari tadi.
Sebenarnya, penyebab semua kekacuan ini berawal dariku. Kami minun, dan telah menghabiskan hampir dua botol. Muri sehat, normal, dan ndhak apa-apa. Sementara aku teler seperti ini. Gusti, rupanya mabuk itu ndhak enak sekali.
Kepalaku benar-benar terasa pusing, dan berat. Seolah-olah, dunia seperti terbalik, dan runtuh. Sementara perutku seperti diaduk-aduk, seolah semua yang ada di dalamnya ingin tumpah ruah. Wajahku pasti pucat pasi sekarang, karena keringat dingin begitu terasa deras membanjiri tubuhku.
"Seharusnya aku ndhak percaya padamu. Malah merepotkanku saja kamu ini! Kenapa bisa-bisanya, aku nurut saja kamu ajak berhenti di warung itu tadi!" marah Muri lagi.
Dia harus rela tengah malam mengantarkanku ke Kemuning, padahal rencana awalnya ia ingin mengurus beberapa pekerjaan yang tertunda di kampung sebelah. Karena dia takut terjadi apa-apa kepadaku, itulah sebabnya dia terpaksa pulang. Meski dia memiliki sifat pemarah, dan ringan tangan. Rupanya, ada sisi baik dalam dirinya. Pantas saja jika Arni ndhak bisa lepas darinya.
"Jangan bawa aku pulang...," rintihku, yang masih mencoba menguasai secuil dari kewarasanku. "Romo galak. Nanti aku dibunuh Romo,"
Aku ndhak bisa membayangkan, jika nanti Romo Nathan tahu aku pulang-pulang dalam keadaan teler seperti ini. Yang ada aku akan ditendang, dan dipukuli habis-habisan olehnya.
"Siapa peduli!" ketus Muri. Lantas, ia langsung mengetuk pintu rumahku dengan cara ndhak sabaran. "Kulanuwun!" teriaknya kencang-kencang. Aku yakin jika Romo akan benar-benar marah karena ulah tua bangka sialan ini.
"Manusia ndhak tahu diri seperti apa yang tengah malam mengetuk pintu rumah orang sambil berteriak dengan sangat kurang ajar!" kata Romo, berdiri sambil berkacak pinggang, tepat setelah pintu dibuka oleh salah satu abdi dalem keluarga.
Dia diam sejenak saat tahu siapa gerangan yang mengetuk pintu rumahnya dengan ndhak sabaran. Setelah tahu jika yang dibawa orang tersebut adalah aku, cepat-cepat Romo meraihku sampai aku dalam dekapannya.
"Romo... heek!"
"Laki-laki wajah kingkong! Apa yang kamu lakukan kepada anakku sampai dia jadi seperti ini, hah! Apa karena kamu dendam kepadanya masalah istri murahanmu itu terjerat pesona anakku lantas kamu balas dendam dengan putraku!" marah Romo Nathan.
Aku hendak meluruskan kesalahpaham ini, tapi kepalaku terlalu sakit untuk sekadar berpikir. Semoga saja Muri ndhak sakit hati dengan ucapan Romo. Sebab bagaimana pun juga, Romo paling terkenal sebagai Juragan bermulut pedas di Kampung ini.
"Saya ini ndhak melakukan apa pun kepada putra kesayanganmu ini toh, Juragan. Dia sendiri yang malah memaksaku untuk minum tuak di perempatan gapura Ngargoyoso itu, lho," jawab Muri lantang.
"Kamu—"
"Huek!!!"
Semuanya langsung mengabaikan perdebatan yang baru saja tersusun itu. Romo buru-buru membawaku masuk, dan langsung mengunci pintu rapat-rapat dari dalam. Dia membawaku ke kamar mandi, sebab aku yakin seluruh kausnya penuh dengan muntahanku.
"Romo—"
"Sekarang bersihkankan dirimu. Aku akan menyuruh biungmu untuk membuatkanmu teh jahe agar kondisimu pulih. Selepas itu istirahatlah."
"Maafkan aku, Romo," kataku. Aku benar-benar ndhak menyangka, jika Romo akan bersikap seperti itu. Kupikir tadi, dia akan marah besar karena ulahku,
Rasanya benar-benar ndhak enak sama sekali. Mengetahui jika Romo sama sekali ndhak memarahiku. Entah apa yang ada di dalam benak Romo, sampai-sampai perbuatanku sefatal ini dianggapnya wajar.
Romo Nathan menepuk bahuku, kemudian dia tersenyum ke arahku dengan begitu hangat seperti biasanya. "Romo dulu juga pernah muda," dia bilang. Kemudian pergi setelah melepas kausnya.
Dan alasan lainku begitu menyayangi Romo Nathan adalah ini. Kurasa akan sangat jarang seorang Romo berperilaku seperti romoku. Yang mampu membuat malu anaknya dengan caranya sendiri, yang mampu mempermalukan anaknya tanpa harus dimarahi atau dimaki-maki.
Dan jika benar kalau Romo saat mudanya dulu juga pernah melakukan kesalahan yang sama sepertiku, mabuk seperti ini. Apakah alasannya juga sama? Karena seorang wanita? Jika iya, apakah wanita itu Biung? Ataukah ada yang lain? Lantas, jika benar itu Biung, apa gerangan yang Biung lakukan sampai seorang Nathan Hendarmoko, yang notabennya seorang laki-laki yang bersih, sampai bisa meminum minuman keras, dan mabuk? Aku penasaran sekali akan hal itu.
*****
Hari ini mentari rupanya cukup terik menyinari bumi. Lihatlah bagaimana ia membuat bunga-bunga sepatu di samping kamarku tampak layu, bagaimana ia membuat para abdi dalem mengeluh beberapa kali. Karena hawa panas yang mulai membakar kulit sawo matang mereka. Membuat mereka selalu mengeluh tatkala mengerjakan pekerjaan di luar rumah.
"Arjuna...,"
Aku menoleh sekadarnya sebab aku tahu siapa gerangan yang masuk ke dalam kamarku. Berengsek, memang. Bahkan suaranya pun membuatku tahu siapa perempuan ndhak tahu diri itu.
Manis tampak takut-takut mendekat ke arahku, dia membawa nampan yang di atasnya ada sebuah mangkuk dan mug. Aku tebak isinya adalah bubur, beserta teh jahe buatan dari Biung.
Dan yang paling membuatku ndhak habis pikir adalah, dia ndhak punya malu untuk sekadar bertemu denganku? Benar-benar perempuan dari apa wajahnya terbuat. Kurasa, dari beton. Atau paling endhak, jika benar dia seorang manusia yang memiliki akal, dan pikiran. Bisa, toh, dia untuk enyah dari hadapanku. Memberiku ruang untuk bernapas, karena rasa sakit yang ia berikan telah menghujam jantungku bertubi-tubi? Atau dia sengaja melakukan itu, mungkin melihatku menderita, adalah bagian dari rencana gilanya.
"Bubur, dan teh hangat untukmu. Barangkali bisa membuat keadaanmu mendingan," dia bilang. Bagaimana bisa mendingan, melihatnya saja bukan sembuh yang kudapat, malah rasa sakit yang teramat.
Aku mengabaikan ucapannya, kembali tidur sambil menyelimuti seluruh tubuhku dengan selimut. Tapi, tampaknya ia enggan pergi. Terdengar jelas jika suasana kamarku menjadi sangat sunyi.
"Arjuna...."
"Keadaanku sudah baik dan kembali buruk karena kedatangan perempuan sundal sepertimu...," marahku. Aku ndhak peduli kalau saat ini dia kaget dengan ucapanku itu. "Apa kamu ndhak punya muka sampai kamu masih bisa menginjakkan kaki di rumah ini. Terlebih, bertemu denganku?" lagi, Manis tampak diam. Dadaku berdesir hebat melihat tingkah munafiknya itu. Bahkan, rasa cintaku yang menggunung kini berubah menjadi badai kebencian terhadapnya. Mengingat apa yang telah ia lakukan beberapa waktu lalu, mengingat jawaban-jawaban kejamnya beberapa waktu lalu, benar-benar telah meluluh lantahkan hatiku.
"Kurasa pelacur rendahan sepertimu memang ndhak akan pernah tahu bagaimana rasa malu itu," sindirku lagi, kali ini aku akui memang, jika ucapanku rasanya berlebihan. Mengatai seorang perempuan sebagai pelacur, sementara aku sendirilah yang telah menidurinya, benar-benar perbuatan yang kurang ajar.
"Tega benar kamu mengatakan hal itu kepadaku."
"Lantas apa lagi yang bisa kukatakan kepadamu? Setelah semua yang telah kita lakukan. Dan setelah aku berniat untuk bertanggung jawab sebagai seorang lelaki, lalu... kamu mengatakan jika semua yang pernah kita lakukan bukanlah apa-apa? Sungguh, aku baru menemukan pelacur mengerikan sepertimu, Manis."
Bagus, Arjuna! Teruslah berbiara busuk sampai Manis benar-benar semakin membencimu. Sampai Manis tahu, bagaimana bencinya kamu kepadanya saat ini!
"Arjuna...."
"Berapa?" tanyaku memotong lagi ucapannya.
Aku menoleh menatapnya, rupanya wajah putihnya sudah merah padam. Sementara matanya sudah nanar. Aku yakin dia benar-benar sangat tertampar dengan apa yang baru saja kukatakan. Tapi, siapa peduli? Toh, kemarin-kemarin dia ndhak pernah peduli dengan ini.
Aku lekas berdiri, mengambil beberapa lembar uang di lemari. Kemudian kulempar uang-uang itu kepadanya.
"Jika kurang, beritahu aku. Nanti kutambah. Atau, tulis semua daftar keinginanmu. Nanti kuberikan semua kepadamu. Anggap itu sebagai bayaran atas apa yang pernah kita lakukan tempo dulu."
Manis langsung keluar dari kamarku. Tanpa mengatakan apa pun. Sementara aku, lebih memilih memunggunginya. Rasanya, hatiku kembali panas. Seolah terbakar dan nyaris habis karena rasa benciku kepada Manis.
"Kang Mas!"
Aku menoleh tapi, apa yang kudapat benar-benar di luar dugaan. Sebuah tangan kecil menamparku dengan begitu keras. Sampai pipiku terasa panas.
"Ndhak seharusnya Kangmas mengatakan hal itu. Itu menyakitkan Manis sekali," suara itu terdengar bergetar, nada emosinya berseru dengan sangat lantang. Dan sosok itu memandangku, dengan cara yang berbeda dari biasanya.
"Rianti... Dik Rianti?" kataku, ndhak percaya karena adikku tercinta ada di depan mataku.
Mata bulatnya melotot ke arahku, bukan pelukan atau ciuman yang kudapat melainkan sebuah tamparan. Jenis salam macam apa ini?
"Kenapa kamu menampar Kangmasmu? Kita sudah ndhak bertemu lama. Seharusnya, kamu memberiku sebuah pelukan dan ciuman, Dik!" kataku, mencoba membujuknya yang sedang emosi.
Rianti tampak menutup pintu kamarku, kemudian duduk di atas dipanku dengan kesal.
"Awalnya, aku sangat ndhak sabar bertemu dengan Kangmas, karena telah lama kita ndhak saling bertemu. Namun, setelah melihat hal menyakitkan tadi. Semua rinduku menguap begitu saja, Kangmas. Apa yang kamu lakukan kepada Manis? Apa yang telah kalian lakukan di belakangku?" tanyanya.
Aku diam, ndhak membalas ucapan Rianti yang panjang lebar. Sebat sifatnya, ndhak jauh dari Biung yang gemar sekali berbicara.
"Dengan mengatakan jika Manis adalah pelacur murahan itu benar-benar jahat, Kangmas. Bahkan, Biung sama sekali ndhak pernah mengajarimu untuk mengatakan hal itu. Biung ndhak pernah mengajarimu untuk merendahkan perempuan. Apa pun itu pekerjaannya. Terlebih, itu Manis, Kangmas. Manis!"
Kuhelakan napasku mendengar dikte dari Rianti. Sungguh, aku ndhak pernah ingin, dan ndhak menyangka. Jika adikku sendiri malah membela perempuan itu dari Kangmasnya sendiri. Selama kami ndhak bertemu, ndhak bisakah dia sedikit berpikir lebih jernih untuk sekadar melihat mana yang jadi korban sekarang?
"Jika niatmu datang jauh-jauh dari Jakarta untuk memarahiku seperti ini, lebih baik kamu kembali saja, toh. Kupingku ini lho, panas benar mendengar ceramahmu di siang hari yang sudah panas ini."
Aku mengambil posisi tidur, memungungi Rianti tapi dia dengan keras kepala menarik lenganku agar memandangnya.
Kupeluk Rianti kemudian dia ikut tidur denganku. Tidur dalam dekapanku. "Kangmas cerita denganku, ada apa? Kukira, hubungan kalian akan maju. Rupanya malah semakin mundur seperti ini. Kukira, aku disuruh pulang Biung perihal pernikahanmu dengan Manis. Nyatannya, Manis menikah dengan laki-laki lain. Ini ada apa, toh, Kangmas? Mboknya cerita, lho. Aku benar-benar ndhak paham."
Apa aku harus cerita ke Rianti perkara ini? Jika aku cerita kepadanya, akankah dia diam? Atau malah dia akan cerita masalah pribadiku yang pelik ini kepada Romo, dan Biung? Aku kaget, tatkala Rianti menyikut perutku. Matanya melotot, sementara bibir mungilnya sudah mengerucut. Itu tandanya, jika aku harus menjawab jujur pertanyaannya, sebelum dia akan semakin murka.
"Beberapa waktu lalu, aku bertandang ke rumahnya," jawabku pada akhirnya. Kugantung jawabanku, sembari memandangnya yang kian penasaran dengan kejadian yang hendak kuceritakan itu.
"Lalu?"
"Aku berniat mempersuntingnya," kujawab lagi, tapi lagi-lagi, kugantung jawaban untuknya. Membuatnya tampak lebih jengkel dari sebelumnya.
"Terus?"
"Nyemplung kali. Basah!" marahku. Rianti tampak marah.
"Aku serius, Kangmas."
"Terus terus. Kamu pikir apa!" bentakku, dia tampak cemberut. "Tapi, Simbahnya yang sialan itu menolakku mentah-mentah. Mengataiku jika aku adalah anak haram yang akan membawa petaka sampai tujuh turunan. Dan kamu tahu, sahabat yang kamu bangga-banggakan itu berkata apa?"
"Mana aku tahu, toh, lha wong aku ndhak ada di sana, lho!" bantah Manis. Anak ini benar-benar menyebalkan juga rupanya. Ndhak bisa apa dia simpati barang sedikit saja kepada kangmasnya yang sedang merana ini? Ucapannya yang ceplas-ceplos sama persis seperti Romo Arjuna. Ingin sekali kukuncir bibirnya kalau sudah kumat menyebalkan seperti itu.
"Dia mengatakan jika apa yang telah kami lakukan ndhak berarti apa-apa. Berengsek memang."
"Tunggu...," kata Rianti menyela ucapanku. Dia langsung mengambil posisi duduk. Memandangku lekat-lekat seolah mengetahui sesuatu. "Jadi, yang Biung maksud itu. Manis?"
"Apa?" kutanya sebab, bingung juga apa yang Biung adukan kepada anak kecil satu ini.
"Jika kamu pernah tidur dengans seorang perempuan. Dan Biung menyuruhku untuk mencari tahu siapa perempuan itu. Perlukah kubilang saja kepada Biung perihal ini agar Biung, dan Romo memersatukan kalian, Kangmas?" tanyanya.
Mudah benar dia ini mengambil keputusan. Seolah-olah, apa pun yang sudah menjadi mudah di tangannya.
"Ndhak usah. Aku ndhak butuh. Toh pelacur rendahan itu ndhak menginginkannya," ketusku.
Rianti kembali melotot, sepertinya dia benar-benar marah. Ndhak tahu saja, jika aku teramat rindu dengannya. Tapi, rasa rinduku harus berubah menjadi asam karena pembahasannya saat ini. Di saat, kami baru bertemu setelah berpisah sekian tahun lamanya. Gusti, adikku ini benar-benar kelewatan.
"Jika Manis pelacur, kenapa sedari dulu dia ndhak meminta apa pun darimu, Kangmas? Pernahkah dia meminta materi kepadamu setelah apa yang kamu lakukan kepadanya? Dia hanya diam, dia bungkam, setelah apa pun yang kamu lakukan kepadanya. Itu apa artinya?"
"Ya, mungkin karena dia gatal," bantahku.
Rianti langsung memukul kepalaku.
"Karena dia mencintaimu. Karena dia jatuh hati kepadamu."
"Jika benar seperti itu, lantas kenapa... kenapa dia ndhak mau denganku? Bahkan, aku sudah memberinya kesempatan untuk menjelaskan ini kepada simbahnya pun dia ndhak mau?" tanyaku.
Rianti menghela napas panjang, kemudian dia menepuk-nepuk kepalaku. "Karena laki-laki itu berpikir menggunakan logika, sementara perempuan menggunakan hati. Jadi, sampai kapan pun, Kangmas ndhak akan pernah paham. Jadi, begini lho, Kangmas...," Rianti mulai bercerita. Pasti, panjang kali lebar. "Kangmas ndhak akan pernah mengerti, arti kata balas budi. Di mana kita ndhak bisa melakukan apa yang kita inginkan karena telah hutang budi dengan seseorang. Setahuku, sedari dulu, itulah yang dilakukan Manis terhadap simbahnya, Kangmas. Itulah salah satu sebab kenapa, apa pun ucapan simbahnya selalu dituruti tanpa membantah sepatah kata pun. Sedari kecil yang mengurus Manis itu simbahnya, yang memberikan apa pun itu simbahnya. Terlebih, waktu dulu, saat aku masih sering bermain dengannya. Aku sering dengar jika simbahnya terus saja mengungkit-ungkit apa pun pemberiannya kepada Manis. Dan menyuruh Manis balas budi. Jadi kurasa, posisi Manis saat ini ada di tempat yang benar-benar membuatnya risau. Jadi seharusnya, Kangmas bisa meyakinkannya. Bukan malah memusuhinya. Terlebih, sebentar lagi Manis akan menikah dengan orang lain. Apa Kangmas benar-benar yakin, dan ikhlas akan kehilangan Manis selamanya? Manis akan menjadi milik orang setelah ini, Kangmas."
Aku diam, mendengar ucapan Rianti yang panjang itu. Aku ndhak bisa menyimpulkan, dan mencerna apa-apa. Sebab di otakku, benar-benar buntu. Rasa benciku kepada Manis ndhak semudah itu luntur hanya karena pembelakaan Rianti. Yang mana, ia adalah kawan baik Manis.
"Kangmas ingat ndhak, kalau dulu Manis begitu ingin bersekolah? Lalu, Simbah Manis menentangnya. Dia terpaksa berhenti beberapa tahun demi menuruti simbahnya, dan menelan semua asanya yang tinggi itu. Kalau bukan aku yang meminta kepada Romo untuk meyakinkan simbahnya, mungkin sampai detik ini Manis akan menjadi seorang Manis yang ndhak berpendidikan. Itu, adalah salah satu contoh kecil, Kangmas. Belum contoh-contoh lainnya. Ketahuilah, Manis juga tertekan. Hidupnya penuh dengan tekanan. Dia hidup bersama simbahnya, tapi bagaikan hidup bersama seorang majikan. Itulah yang membuatnya menjadi perempuan keras kepada, itulah yang membuatnya menjadi perempuan tangguh, Kangmas."
Aku kembali diam, kemudian kupandang Rianti yang tampaknya penasaran dengan jawabanku.
"Abaikan Manis, sekarang peluk Kangmasmu ini. Kangmas rindu."
"Tapi—"
"Ayo, kalau ndhak mau, bali saja sana ke Jakarta!" marahku.
Dia tersenyum kemudian memeluk tubuhku erat.
"Rahasiakan masalah ini dan Romo, dan Biung. Kangmas bisa menyelesaikannya sendiri."
Rianti mengangguk, kemudian dia memeluk tubuhku erat-erat. Rasanya, sudah lama sekali aku didekap adik perempuanku ini. Dan, rasanya waktu begitu cepat berlalu hingga kusadari kalau adikku sudah ndhak kecil lagi. Dia memang masih manja, masih kekanakkan. Tapi, dia sekarang sudah dewasa. Sebentar lagi mungkin Romo, dan Biung akan sibuk memilihkan calon suami untuknya. Sebab, begitulah aturan anak perempuan dari kalangan Juragan. Meski Romo, dan Biung ndhak begitu memaksakan aturan itu.
"Ayo, kita bertemu dengan Romo, dan Biung. Pasti, mereka sangat merindukanmu."
Kurangkul bahu Rianti, dia langsung menarik tanganku sambil mengajak bercakap-cakap. Kuringkan wajahku untuk sejenak memandang paras ayu adikku. Entah, sudah berapa lama aku ndhak bertemu dengannya. Rupanya, dia telah cepat menjadi dewasa. Sebentar lagi, dia pasti akan merasakan yang namanya jatuh hati. Apakah dia akan bahagia? Apakah dia akan menemukan laki-laki yang benar-benar bisa menjaga hatinya? Gusti, memikirkan perkara ini saja benar-benar membuatku risau. Aku benar-benar ndhak akan pernah mengampuni siapa pun yang menyakiti hati adikku.
"Romo, Biung!" teriak Rianti yang berhasil membuat buyar lamunanku.
Ia melepas rengkuhanku, kemudian berlari mencium tangan Romo, dan Biung. Lalu, memeluk mereka erat-erat. Lihatlah betapa Biung menahan tangis karena rindu, dan lihatlah betapa Romo berkali-kali menciumi kepala Rianti. Mereka, benar-benar merindukan anak perempuan tersayang mereka itu.
"Jadi, hanya perempuan cengeng itu saja yang dipeluk, dicium. Aku endhak?" kataku.
Romo, dan Biung lantas memandang ke arahku. Dengan sebongkah senyuman Romo Nathan menarikku, dan kami pun berpelukan.
"Kedua anak kesayangan Romo, ndhak ada yang dibeda-bedakan satu pun," kata Romo Nathan.
Aku tersenyum mendengar ucapan itu. Seolah-olah benar, jika Romo Nathan adalah Romo kandungku. Kupandang langit-langit kamar Biung, mencoba sekuat tenaga menahan air mataku agar ndhak jatuh. Hanya seperti ini, aku sudah teramat bahagia.
"Jadi, bagaimana?" tanya Romo pada akhirnya.
Sekarang, kami telah berpindah. Dari kamar milik Romo, dan Biung. Kini duduk di meja makan. Sembari menunggu menu dihidangkan oleh beberapa abdi dalem, kami pun berbincang-bincang.
"Usiamu sudah cukup matang, apa kamu ndhak ingin mencari calon suami, Ndhuk?" tanya Romo yang tampak hati-hati.
Kulihat, mimik wajah Rianti sama sekali ndhak berubah. Begitu santai, dengan senyuaman hangatnya.
"Ndhak, Romo. Bukankah sudah menjadi aturannya kalau anak perempuan dari seorang Juragan pantang untuk memilih calon suami sendiri. Sebab, itu adalah kewajiban romonya untuk mencarikan calon suami. Biar, bisa tahu bibit, bebet, bobotnya."
"Tapi, Ndhuk. Romo jelas ndhak akan peduli dengan aturan itu. Siapa pun pilihanmu, asal orangnya baik, dari kalangan mana pun. Akan Romo dukung. Kecuali, jika pilihanmu adalah keliru, maka Romo adalah lelaki pertama yang akan menentangnya."
"Yang kedua Kangmasmu ini," sahutku. Romo Nathan tertawa.
"Ndhak usah sok hebat, Kangmas. Dari pada mengurusi urusan hatiku. Mbok ya dipikir dulu, toh, urusan asmaramu itu. Umurmu itu sudah kelewat matang, sudah lewat benar dari aturan Juragan harus menikah dulu untuk segera mendapatkan keturunan sebagai penerus. Tapi kamu, masih sendiri saja. Ndhak paham aku itu," ketus Rianti.
"Lho, kenapa ini? Tumben benar adik dan kangmas ini ndhak kompakan? Ada masalah?" tanya Biung. Aku hanya tersenyum hambar. Ndhak mau banyak cakap, takut-takut Rianti akan mengadu kepada Biung, dan Romo perkara Manis.
"Tapi benar juga, lho, Juna. Bagaimana ini, bagaimana dengan perempuan itu? Kapan kiranya kamu akan menikah, Le? Ini bukan perkara apa-apa, atau Biung terlalu mendesakmu. Hanya saja, Biung rasa usiamu itu sudah lebih dari matang, toh. Apa kamu ndhak mau seperti kawan-kawan sebayamu yang sudah berbahagia dengan istri, dan anak."
Aku diam, benar-benar diam. Aku sama sekali ndhak bisa berkata apa pun dengan ucapan Biung yang satu ini. Faktanya, aku pun hanya manusia biasa. Bahkan melihat Ningrum, rasanya ingin benar aku memiliki anak yang selucu dirinya.
"Benar kata Biung, Kangmas. Jadilah laki-laki yang bertanggung jawab. Masak ya, sudah ngeloni kok ndhak mau ngakui. Coba Kangmas bayangkan jika di posisi perempuan itu adalah aku. Bagaimana perasaan Kangmas—"
"Rianti, cukup!" bentakku.
Suasana menjadi hening, bahkan suara dari alat makan yang ditata oleh abdi dalem pun senyap.
"Aku bukan ndhak ingin tanggung jawab. Tapi, laki-laki itu memiliki hak untuk melindungi harga dirinya. Ndhak semua laki-laki seperti Romo Nathan, Ndhuk, yang bisa tidur dengan satu perempuan saja. Niatku berhubungan dengan perempuan mana pun pasti serius. Tapi kalau..." kataku terhenti. Aku langsung diam sambil membuang muka tatkala Bulik Sari, dan Manis datang.
"Kalau apa, Kangmas?" tanya Rianti lagi. Rupanya, dia sengaja memancingku untuk berkata jujur kepada orangtuaku.
"Biung, soal pendamping hidup. Aku serahkan semuanya kepadamu. Carikan, kiranya yang cocok akan kunikahi," kataku mantab.
Aku sudah ndhak peduli, jika saat aku mengatakan itu Manis akan mendengar.