Kulangkahkan kakiku lebar-lebar menuju ke kamar Biung. Aku ingin bertanya kepadanya, bagaimana bisa Biung dengan tega menjodohkanku dengan perempuan ndhak tahu diri seperti perempuan tadi itu? Apa Biung sudah ndhak sayang kepadaku, toh?
"Lho, sudah bali toh, Juna?" tanya Romo Nathan.
Aku berhenti, hendak mendekatinya. Tapi, ada beberapa pamong desa menemui Romo Nathan.
"Romo, di mana Biung?" tanyaku pada akhirnya.
"Oh, perempuan ayu itu? Dia sedang jalan-jalan ke kota. Mau kutemani ndhak mau. Katanya, ada urusan rahasia," jawab Romo.
Tumben benar Biung ndhak mau ditemani oleh Romo Nathan? Biasanya, mereka itu seperti surat, dan perangko. Ndhak sreg kalau ndhak kemana-mana berdua. Apa jangan-jangan, ini ada hubungannya dengan perempuan ndhak waras bernama Puri itu? Jika iya awas saja, ndhak akan pernah aku beri ampun perempuan jalang itu.
Aku langsung menuju ke ruang kerjaku, yang ada di sebelah ruang kerja Romo. Ukurannya lebih kecil, sebab aku ndhak begitu suka ruangan pribadiku besar. Selain susah untuk membersihkan, kurasa kurang praktis, begitu saja. Sama halnya jika nanti aku memiliki istri, aku ingin membangun sebuah rumah mungil yang sederhana, yang memiliki pelataran yang lebar. Di pelataran itu, istriku bisa menanam beberapa bunga-bunga cantik, dan aku bisa menghabiskan hari sore untuk bermain dengan anak-anakku di sana.
BRAK!!
Aku terjingkat tatkala terdengar suara pintu dibanting. Itu adalah pintu ruang kerjaku. Lantas siapa gerangan yang lancang berada di sini tanpa seizinku? Bukankah, para abdi dalem hanya berani ke sini ketika pagi, dan sore hari saja untuk membersihkan tempat ini?
"Ti, ada apa, toh? Aku sedang sibuk ini lho?"
Manis? Ada suara Manis di sini? Kukerutkan keningku, kemudian aku menepi. Kulihat ada Rianti, dan Manis berdiri tepat di depan pintu. Ada apa gerangan mereka berdua masuk ke dalam ruang kerjaku? Ndhak lihatkah mereka jika ada aku di sini?
"Ada apa, ada apa. Kamu ini ndhak sadar jika telah melakukan kesalahan besar, Manis? Dan kamu masih bilang ada apa? Kamu ini punya otak apa endhak, toh!" kata Rianti dengan nada jengkel, dan sedikit sentakan.
Padahal kurasa, mereka sedang baik-baik saja. Sebab melihat betapa ketusnya Rianti kepadaku beberapa waktu lalu. Aku segera mengambil posisi menyamping, agar keduanya ndhak melihatku. Bukan karena ingin menguping, hanya saja aku yakin, keduanya pasti akan teramat canggung, jika obrolannya ternyata diketahui olehku. Lebih baik aku sembunyi, dan pura-pura ndhak ada di sini.
"Kamu itu...," kata adik kesayanganku lagi, mengibaskan rambutnya yang tergerai setengah basah, kemudian duduk di kursi yang berada ndhak jauh dari pintu sana. "Aku baru tahu ada perempuan yang ndhak tahu malu sepertimu, lho, Manis. Dulu, kamu begitu berharap jika Kangmasku memberikan kepastian atas apa yang kamu harapkan. Setelah semuanya pasti, setelah Kangmasku serius denganmu, lantas kamu menolaknya mentah-mentah seolah tanpa dosa. Kemudian, setelah kamu menyakitinya, dengan ndhak tahu malu sampai detik ini kamu masih menemuinya? Oh Gusti, ndhak punya urat malukah kamu sebagai seorang perempuan? Apa karena kamu telah ndhak perawan lantas kamu sudah ndhak punya harga diri untuk sekadar menghormati perasaan laki-laki atau bahkan perasaanmu sendiri, Manis?"
"Rianti--"
"Aku belum selesai berbicara. Kamu hanya abdi dalam, ndhak usah lancang memotong ucapan seorang Ndoro Putri, paham!" marah Rianti lagi.
Jujur, melihat Rianti begitu menggebu-gebu membelaku seperti ini membuatku besar kepala. Bahkan ingin rasanya kupeluk dia sekarang juga. Namun begitu, aku ndhak ingin mempermalukan Manis. Jika sekarang aku muncul di antara mereka, pasti Manis akan malu bukan main. Meski dia telah menyakitiku di bagian yang bahkan aku sendiri ndhak mampu untuk mengobati, seendhaknya aku ndhak mau memperlakukannya sama. Karena biar bagaimana pun, rasa cintaku padanya masih utuh. Meski dia ndhak menghargai itu sama sekali.
"Hanya karena alasan Simbahmu yang ndhak tahu diri itu, yang ndhak punya hati itu telah menghina Kangmasku, yang ndhak berpendidikan itu, lantas kamu seperti hewan peliharaan yang nurut saja disuruh apa pun? Ini negara dekmokrasi, Manis. Kamu berhak mengutarakan pendapatmu, keinginanmu! Kamu itu bukan budak dari siapa pun, kamu juga bukan tawanan dari siapa pun, yang kebebasan, impian, dan kebahagiaanmu bisa kamu gadaikan kepada seseorang! Meski itu Simbahmu sendiri!"
"Kamu ndhak pernah bisa mengerti aku, Rianti. Kamu anak orang kaya, kamu anak Juragan terpandang, kamu ndhak akan paham akan aku," keras kepala Manis. Merasa jika di dunia ini dialah satu-satunya orang yang paling menderita, dan teraniaya. Dan merasa sok mampu memikul semua beban dunianya sendiri. Ya, itu Manis. Dan kebiasaannya itu yang membuatku kadang-kadang sebal karenanya.
"Bagian mana darimu yang aku ndhak paham? Aku paham semuanya!" bentak Rianti, sepertinya adikku sudah putus asa, untuk memberitahu kawannya barang sedikit saja. Percuma, Rianti, bercakap dengan orang keras kepala, sekeras apa pun kamu berusaha maka hasilnya akan sia-sia belaka.
"Kamu ndhak akan paham kalau aku hanyalah anak hasil hubungan gelap Emak, dan ditanggung jawab oleh Bapak yang emaknya kini telah merawatku dari kecil! Kamu ndhak pernah tahu rasanya bagaimana hidup menjadi beban orang lain! Kamu ndhak akan pernah tahu rasanya bagaimana orang yang merawatmu hanya setengah hati menyayangimu sebab kamu dianggap sebagai aib, kamu bukan darah dagingnya! Dan kamu harus membalas budi dari semua kebaikan yang telah ia lakukan untukmu sampai saat ini!" teriak Manis dengan isakannya.
Aku terdiam, pun dengan Rianti. Bahkan, dia memandang Manis yang kini telah menangis dengan wajah terkejutnya. Sungguh, aku ndhak pernah tahu jika kebenarannya adalah seperti itu. Sebab yang kutahu adalah, Simbah Manis adalah Emak dari Emaknya. Tapi kenyataannya, bukan seperti itu.
"Berkali-kali, Rianti... berkali-kali. Aku mencoba untuk egois, aku mencoba untuk mengatakan tentang perasaanku kepada Simbah. Namun apa yang terjadi? Simbah malah murka. Bahkan, Simbah malah mengungkit yang endhak-endhak. Kamu tahu, untuk menjadi egois aku bahkan harus merendahkan diriku sendiri. Seendhaknya, aku bisa bersama dengan Arjuna meski itu hanya untuk sementara. Hanya untuk menjadi egois, aku telah memberikan hak suamiku kepadanya. Aku mencintainya, Rianti... ndhak perlu kamu ragukan itu. Tapi bagaimana pun, aku ndhak bisa berbuat apa pun untuk itu. Simbah sudah tua, Simbah hidup sendiri. Kami sama-sama sebatang kara, kami sama-sama melengkapi untuk bertahan hidup. Bisa ndhak kamu paham dengan posisiku sekarang? Apa kamu tetap ndhak paham juga?"
"Biung, dan Romo bisa mengatasi ini semua," jawab Rianti yang berhasil membuatku semakin terkejut.
Jawaban macam apa itu? Bagaimana bisa urusan cinta harus menyangkut pautkan orangtua?
"Percuma, Ti. Dulu, Juragan Nathan dan Ndoro Larasati pernah bergurau dengan Simbah untuk menjodohkanku dengan Arjuna. Dan jawaban Simbah benar-benar sangat menyakitkan. Aku benar-benar ndhak sampai hati, jika sampai Ndoro Larasati disakiti dengan kata-kata Simbahku. Aku ndhak mau ada satu orang pun yang melukai kehormatan Ndoroku, Ti," kulihat Manis tampak menggenggam pundak Rianti. Dan Rianti pun masih berdiri membisu, ndhak mengatakan apa pun lagi. "Kamu perempuan, kamu jelas paham. Bagaimana perasaanku sekarang. Kurasa, ndhak ada perempuan di dunia ini yang mau menikah dengan laki-laki yang ndhak dia cintai. Bahkan rasanya, lebih baik mati dari pada hidup tapi bagaikan di neraka, Ti. Ndhak bisa terpikir olehku, dijamah oleh laki-laki seperti itu."
Manis tampak menangis. Tapi, dia buru-buru mengusap air matanya tatkala namanya dipanggil oleh suara dari luar yang kutebak adalah Bulik Sari. Kemudian, dia tersenyum sebentar ke arah Rianti, menutup pintu ruang kerjaku dari luar. Rianti langsung luruh saat itu juga, dia menangis sejadi-jadinya di sana. Aku hendak mendekat, tapi ndhak kuasa. Aku ndhak ingin, percakapan rahasia mereka bukan lagi menjadi rahasia karena kemunculanku. Dan yang bisa kulakukan sekarang adalah, sembunyi di sini, dengan dada bergejolak seolah-olah ingin memuntahkan semua luapan emosi yang ada.
*****
Pagi ini aku baru saja bertemu dengan Biung. Rupanya, dia tengah malam baru pulang ke rumah. Diantar oleh seseorang, dan tumben benar Romo ndhak kelabakan mencari pun bernisiatif untuk menjemput. Biasanya, setengah jam Biung ndhak di rumah tanpa kabar saja, Romo sudah kelabakan. Seperti anak-anak ayam yang bercicit mencari induknya yang hilang.
"Bi—"
Kataku terhenti, tatkala kulihat sosok Manis yang rupanya sepagi ini sudah berada di rumahku. Dia membawa sepotong kain, yang kutahu adalah kain kebaya yang teramat sangat cantik. Aku yakin, mungkin itu adalah kain kebaya untuk pernikahannya nanti dengan Minto. Alah, siapa peduli!
"Ndoro Larasati...," kata Manis penuh hati-hati. Aku yakin, dia sendiri lebih dari tahu jika saat ini kami sedang berada di ruang makan, yang artinya pantang bagi siapa pun untuk mengganggunya. Apalagi, sekadar menyela bercakap-cakap seperti ini. "Maaf jika saya mengganggu, namun saya hendak mengatakan sesuatu kepada Ndoro,"
"Apa itu, Ndhuk? Sini, ikut sarapan dengan kami. Kamu pasti belum sarapan, toh?" tawar Biung. Tapi, Manis menggeleng.
Iya, ndhak usah mau. Seendhaknya hargai perasaanku. Aku ndhak akan pernah merasa nyaman jika harus makan satu meja denganmu. Aku masih belum bisa menata hatiku, aku masih belum bisa bagaimana caranya berlakon dengan baik di depanmu. Aku ndhak bisa sepertimu, Manis, yang bisa berlakon dengan sangat sesempurna itu.
"Sini lho, Manis. Duduk sama aku, makan bareng seperti dulu. Ndhak usah sungkan-sungkan begitu!" paksa Rianti, menarik tangan Manis untuk duduk di kursi sampingnya.
Manis masih dengan gaya sungkannya, kuperhatikan dia yang tampak kaku dengan wajah yang memerah. Sekali lagi kuingat ucapannya kemarin bersama dengan Rianti. Rasanya benar-benar ndhak enak sekali dada ini, mengingat Manis selama ini hidup dengan Simbah yang ndhak memiliki hubungan darah sedikit pun dengannya. Duh Gusti, malang benar nasib Manis ini.
"Ndoro Larasati, saya hanya ingin mengatakan perihal kain kebaya ini, toh. Kainnya...," kata Manis lagi terputus. "Terlalu kemahalan, Ndoro. Ndhak pantas untukku yang miskin, dan bukan siapa-siapa ini. Lebih baik Ndoro Larasati simpan lagi, barangkali bisa untuk digunakan Rianti kelak saat akan menikah,"
"Itu kebaya buat kamu lho, ndhak ada yang berlebihan dari itu, Ndhuk. Kurasa, Kangmas Nathan pun sependapat jika kamu pantas mendapatkannya. Iya, toh, Kangmas?" kini Biung seolah mencari sekutu, dengan meminta persetujuan dari Romo Nathan.
Sementara aku hanya bisa memerhatikan mereka yang kini sedang saling cakap sebelum beberapa hidangan tersaji di meja secara lengkap. Lalu, Rianti dia memilih ndhak peduli, dia sudah sibuk dengan buah binjei kesukaannya sambil mengabaikan percakapan mereka.
"Yang dikatakan istriku itu benar, Manis. Kamu sudah kami anggap seperti anak kami sendiri. Bahkan sebenarnya, kami ini berniat untuk menjodohkanmu dengan Arjuna jika kamu belum memiliki pilihan. Namun, bagaimana lagi, pilihanmu yang utama. Jadi ndhak salah toh jika Romo, dan Biungmu ini bahagia, dan ikut memberikan yang terbaik untuk putrinya yang hendak menikah?"
"Lho, kenapa ndhak jadi dijodohkan sama Kangmas Arjuna saja, Romo? Biar Manis jadi kakak perempuanku?" kini Rianti menyela.
Aku langsung melotot, tapi Rianti tampak ndhak peduli. Awas saja perempuan berbibir tipis itu, nanti ndhak kubelikan dia gelang biar kapok!
"Simbahnya telah memiliki calon sendiri yaitu Minto, dan Manis setuju. Lalu apa yang harus kami perbuat jika seperti itu? Masak ya kami memaksa, toh, Ndhuk? Biar bagaimana pun, kebahagiaan Manis itu yang utama."
"Lalu jika kebahagiaan Manis nyatanya dengan Kangmas Arjuna bagaimana, Romo?"
"Uhuk!" aku langsung terbatuk tatkala Rianti mengatakan itu.
Kini, mata Romo Nathan, dan Biung semua tertuju ke arahku. Mati aku! Ini semua gara-gara Rianti tukang ngadu itu!
"Ehm, keselek nyamuk, Romo," dustaku. Berharap jika Romo Nathan, dan Biung akan percaya.
"Untung ndhak keselek kingkong," sindir Rianti.
Kulempar saja dia buah salak yang ada di depanku, Romo Nathan kemudian melotot. Ini pelototan bukan karena Romo membela anak perempuannya yang super manja itu. Tapi pelototan karena aku telah melempar-lempar makanan. Kata Romo Nathan itu ndhak baik, kita harus menghargai apa pun jenis makanan itu. Sebab di luar sana banyak yang ingin makan seperti kami ini.
"Bicaramu itu, lho, Ndhuk, seperti dukun saja. Apa benar jika Manis ndhak bahagia dengan Minto?" kini Romo Nathan melempar pertanyaan itu kepada Manis.
Dapat kulihat dengan jelas, mata Manis terbuka lebar. Sepertinya, dia teramat kaget diberi pertanyaan seperti itu oleh Romo Nathan.
"Kangmas Minto orang baik, Juragan. Lagi pula dia adalah pilihan Simbah. Apa pun pilihan Simbah pastilah itu yang terbaik untukku,"
"Aku ndhak bertanya mana yang terbaik, dan mana yang ndhak terbaik, lho, Ndhuk. Jika dikata mana yang terbaik dari Minto, dan putraku Arjuna, ndhak usah ditanyakan lagi. Pasti putrakulah yang jauh lebih segalanya. Namun yang kutanyakan kepadamu, apa kamu benar ndhak bahagia dengan laki-laki bau tanah itu?" selidik Romo Nathan. Aku yakin, dia sudah mulai curiga sesuatu karena perkataan Rianti. Dan ini sudah benar-benar ndhak lucu.
Mata Manis tampak nanar. Dia ndhak bisa menjawab apa pun pertanyaan dari Romo Nathan. Aku yakin, jika Romo Nathan menekannya sedikit lagi, semuanya akan benar-benar terbongkar. Karena Manis tipikal orang yang paling ndhak bisa berbohong, terlebih itu kepada Romo, dan Biung.
"Biung, boleh aku bertanya?" kataku mencoba mengalihkan pembicaraan.
Tapi, tangan Biung diangkat, seolah melarangku mengatakan apa pun sekarang. Sepertinya, konstentrasi Biung pun tertuju kepada Manis. Sementara Rianti, dia menjulurkan lidahnya seolah sedang berbahagia di atas segalanya. Dasar, adik sialan dia itu!
"Perempuan... perempuan yang itu, maksudku, aku dengar dari Paklik Junet jika Biung hendak menjodohkanku, apa itu benar?" tanyaku yang masih ndhak mau kalah dari Rianti.
Kini Biung, dan Romo memandang ke arahku. Bisa kulihat dari ekor mataku, helaan lega napas Manis dan gesturnya yang mulai kembali tenang.
"Duh Gusti, Biung lupa lho memberitahumu, Juna...," katanya, dan itu berhasil membuat hatiku lega. "Sebenarnya kepergian Biung kemarin itu, adalah untuk bertemu dengan kawan lama Biung di Universitas dulu. Kebetulan, dia memiliki seorang putri yang masih lajang. Putrinya ayu benar, Juna. Dan, ya, Biung hanya sekadar menawarkan jikalau mau, kalian berkenalan. Selebihnya, Biung ndhak akan memaksa apa pun."
"Sebenarnya aku ndhak setuju dengan ide gila Biungmu ini...," kini Romo Nathan membuka suara. "Kamu tahu, Larasati, dijodohkan dengan orang yang ndhak kita cinta itu sakitnya luar biasa. Bagaimana bisa kamu sampai tega melakukannya kepada putra kita?"
"Setuju!" kataku menimpali ucapan Romo Nathan. Romo Nathan pun tersenyum, dan itu berhasil membuat Biung melotot.
"Jadi, menurut kalian Biung salah, iya? Menurut Kangmas aku salah?!" kata Biung yang kini mulai tersinggung.
"Oh, tentu saja endhak. Istriku yang paling ayu se-tata surya bagaimana bisa salah...," aku nyaris tertawa tatkala Romo Nathan mulai mengeluarkan jurus andalannya karena ndhak mau dimarahi Biung. Percayalah, Romo adalah satu-satunya suami yang paling takut jika istrinya marah, apalagi sampai mendiaminya. "Hanya saja sedikit kelewatan, masak kamu ndhak ingat toh, bagaimana nasibku dulu saat dijodohkan."
"Lha dulu Kangmas sendiri toh yang setuju dengan perjodohan itu? Karena Kangmas ndhak mau mengakui kalau Kangmas cinta mati sama aku," ketus Biung lagi.
Akhirnya aku, Rianti, dan Manis pun tertawa. Dan itu berhasil membuat Romo Nathan memijat pelipisnya.
"Siapa juga yang cinta mati sama perempuan sepertimu. Aku hanya kamu pelet saja, makanya seperti itu!" bantah Romo Nathan.
Kini Biung pun berdiri sambil berkacak pinggang, memandang Romo Nathan seolah-olah nanti malam Romo Nathan ndhak akan mendapatkan jatah.
"Siapa juga yang mau melet laki-laki ndhak jelas, yang mulutnya habis makan cabai sekarung sepertimu, Juragan Nathan!" kata Biung tampak emosi. Aku berdiri, mendekati Biung mencoba untuk menenangkannya, tapi Biung ndhak mau.
"Kamu ndhak sadar ya, kalau aku telah kamu pelet dengan semangka kembarmu yang besar itu?"
"Kangmas!!!"
"Romo! Ndhak sopan!" marahku. Sambil kuelus-elus punggung Biung.
"Lho, kenyataan, toh, Sayang. Coba kalau dadamu rata seperti Sari, dan Amah, mana mau aku melirikmu barang sebentar saja."
"Juragan!!!" kini Bulik Sari, dan Bulik Amah pun ikut memarahi Romo Nathan. Dan itu benar-benar lucu sekali.
Romo Nathan langsung berdiri, merangkul Biung yang tampak masih gemas dengannya. Dengan senyum lebar, dia pun berkata, "Tua-tua begini, Ndoro Larasati ini masih paling nomer satu di hati suaminya, lho. Ndhak ada yang lain lagi, ratu di hati pokoknya, toh."
"Preeeet!" seru kami kompak. Tapi, Romo malah tertawa.
"Kamu itu ndhak pantes buat sok romantis, Kangmas. Jadi berhentilah sebelum aku mual-mual," Biung pun kembali duduk, membantu menyiapkan piring, nasi, dan lauk kepada Romo.
"Malah bagus toh mual-mual, itu tandanya, Arjuna, dan Rianti akan memiliki adik lagi. Aku sudah bekerja keras tiap malam selama ini, masak kok ndhak jadi-jadi."
"Kangmas!"
Dan aku pun mengabaikan perdebatan ndhak jelas dari Romo, dan Biung. Kutatap Manis yang rupanya telah menatapku entah sejak kapan, sebelum ia menunduk, kutampilkan secuil untuknya. Entah dia akan memaknai apa senyumanku itu, yang jelas dengan semua ini, kupikir aku ndhak akan berpikir picik lagi dengannya, dan aku pun ndhak akan memaksa-maksa dia untuk bersamaku jika dia ndhak ingin. Biarkan dia menjadi apa yang ia mau asal dirinya yakin akan bahagia. Dan biarkan aku merebutnya jika nanti Minto tua bangka itu membuatnya terluka.
"Permisi...,"
Dan suara itu berhasil membuat seisi ruangan ini yang hendak makan menoleh. Lancang benar ada tamu yang kurang ajar masuk ke ruang makan saat kami sedang akan sarapan seperti ini?
"Bulik Larasati?" katanya lagi.
Aku menoleh, dan rupanya perempuan yang menghinaku kemarin sudah berdiri di ambang pintu. Dengan gaya sok santunnya, tersenyum begitu lebar ke arah Romo, dan Biungku.
"Lho... lho, Ndhuk Puri, toh? Sini... sini, Ndhuk! Kebetulan sekali kami baru mau sarapan, ayo... ayo, gabung, sini!" kata Biung. Mendekat ke arah perempuan bernama Puri itu, menuntunnya mendekat ke arahku.
Kudongakkan wajahnya memandangnya sekilas, kemudian langkah Puri terhenti. Mulutnya menganga, dan matanya melotot. Aku yakin, dia teramat kaget melihat keberadaanku di sini. Si pemuda yang kata dia teramat sangat miskin, gembel, dan lain sebagainya itu.
"Lho..."
"Kalian sudah kenal?" tanya Biung.
Aku hanya tersenyum miring, kemudian mengabaikan keberadaan sosok Puri yang kini dipaksa duduk di sampingku.
"Eh, itu... baru sekali bertemu, Bulik," jawab Puri tampak salah tingkah.
"Dia ini—"
"Perkenalkan, saya ini adalah abdi paling setia di keluarga ini. Seorang pemuda dari kalangan rakyat jelata, miskin, gembel, ndhak tahu diri, dan ndhak pantas berbicara dengan perempuan yang sangat kayaa sepertimu, Ndoro Puri," sindirku.
Biung tampak melotot. Seolah memperingatkanku untuk diam. Tapi, aku ndhak peduli. Aku langsung mengabaikannya, dan melanjutkan makan. Sementara Manis, tampak memandangku dengan tatapan aneh itu. Aku yakin dia penasaran, atau malah dia ndhak peduli? Entahlah, aku ndhak bisa menebak isi hatinya.
"Ndhak usah dengarkan ucapannya. Dia ini Arjuna, putra satu-satunya yang kupunya, Ndhuk," jelas Biung.
Dan lihatlah, ekspresi menjijikkan dari Puri. Setelah ia tampak gelagapan, kemudian dia memasang senyum teramat sangat ramah kepadaku. Mengulurkan tangannya kepadaku sambil tersenyum selebar itu.
"Oh, Kangmas Arjuna, toh, ini. Perkenalkan, aku Puri," katanya.
Kuabaikan uluran tangannya, dan memakan makananku yang sudah ada di meja. Biung kemudian menepuk bahuku, agar aku kembali memandang ke arahnya. Seolah memberi isyarat, untukku membalas uluran tangan dari Puri.
"Aku alergi menyentuh perempuan, Biung. Maaf...," kataku. "Lagi pula, Ndoro Puri ini ndhak akan mungkin mau, berjabat tangan dengan seorang miskin, dan menjijikkan sepertiku. Bahkan katanya, tubuh, dan pakaianku bau sampah," sindirku lagi. Kupandang sosoknya yang kini tampak menegang, dan itu membuatku semakin ingin terus memojokkannya. "Iya, toh, Ndoro Puri?"
Biung tampak semakin melotot. Dia hendak memarahiku, tapi Puri buru-buru melarang. Kemudian, dia mengambil posisi duduk, dan duduk manis tepat di sampingku. Aku tahu, jika sesekali ia mencuri pandang ke arahku. Dan aku ndhak tahu apa yang ada di otak kotornya itu. Apakah dia teramat kaget jika aku adalah seorang Juragan? Atau, yang lainnya, tapi siapa peduli.
Setelah selesai sarapan aku bergegas pergi, meski Biung ingin menahan tapi aku tolak saja. Pergi ke kebun sepagi mungkin, adalah hal terbaik yang bisa menyegarkan mata dari pada melihat wajah menyebalkan Puri yang ndhak tahu diri itu.